Audiobook
Lebih Kuat dari Mati
Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata
lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan
sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek
mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh
yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam
hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.
Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari
sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih
percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan
meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap
saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar
bisa tidak.”
”Bisa benar bisa tidak?”
”Ya, begitulah!”
Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini.
Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang
mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa
hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup
untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning,
martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.
Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari
mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu.
Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar.
Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku
tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu
yang membuat aku ingin menulis cerita ini.
II
Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa
hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh
tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan
hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis.
Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya
tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku
yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.
”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.
”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.
Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa
jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”
Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku
yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali.
Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu
rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman
sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:
”Kau harus kontrol, Nuk?”
”Kontrol?”
”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”
Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah
itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi.
Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah
pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan
ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa
yang peduli? Jiahh….”
Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan
untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3
bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi
aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa
yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling
cuma akan merumitkan masa depannya saja.
III
Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya
rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang
menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil
membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa
kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat
aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang
yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma
merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!
Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat.
Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan
drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan
pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun
setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana
kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi.
Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang
tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.
Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa
menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika
sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi.
Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan.
Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada
gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori
yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.
Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah
yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak
tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku)
yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika
ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah
telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu
jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.
Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor.
Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa
sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung
gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin
yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan
dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar
dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui
saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak
beraturan. Juga lurus lancip menukik.
Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan
keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika
adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut.
Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati,
aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup
lama aku tanggung. Aku tanggung!
IV
”Pak De, mau ke mana?”
”Ikut?”
”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”
Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang,
sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku
ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak
menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya.
Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan
kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.
Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat
jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak
tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan
buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi
berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas
pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!
”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”
V
Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan
kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri
sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit
(separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku
senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika
ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih
panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak
menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru,
selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet,
selalu kalah. Dan kalah!”
Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….
(Gresik, 2010)
Audiobook
Sepatu
Hujan pertama akhirnya jatuh juga. Selepas musim kemarau yang terlampau panjang, hujan
pertama selalu disambut di kampung kami dengan pesta.
Wa Sunta terlihat melintas di jalan desa menggiring dua ekor kerbau kurusnya. Ketiganya
berjalan gontai, tak terlihat tergesa, dipeluk petir dan hujan. Gambar mereka melamat ketika
menjauh. Hujan dan petir dengan akrab mengantar mereka hingga lenyap diterkam belokan.
Sejak masih gerimis, Anah, istriku, sudah membopong gentong-gentong air dari dapur, dengan
sigap membawanya keluar. Anah berpesta dengan caranya sendiri. Pada tiap hujan pertama, ia
selalu membersihkan gentong-gentong air kami yang kerontang selama kemarau, sambil
membiarkan dirinya sendiri berlama-lama dicumbu hujan. Lekuk tubuhnya segera terbentuk oleh
baju dasternya yang basah, membuatku tiba-tiba menginginkan malam segera datang.
Aku sendiri, pada setiap hujan pertama seperti ini tak pernah lepas dari ritual pesta yang
itu-itu juga. Duduk mencangkung di depan jendela depan. Membuka hidung lebar-lebar membaui
tanah pelataran yang terperawani tetes demi tetes air hujan pembukaan. Menghanyutkan diri
dalam aroma legit bau tanah tersiram air. Ah, sembilan bulan sudah kurindukan bau ini.
Datangnya musim penghujan membikin kampung kami siuman dari mati suri panjang. Sejak sungai
Cipamingkis ditambang batunya, digali pasirnya, dan akhirnya mati, sawah-sawah di kampung
kami kehilangan tempat menyusu di musim kering. Semua sawah menjadi tadah hujan saja.
Maka kemarau adalah bencana. Berita duka yang tak sudi kami dengar, tapi selalu saja tiba. Di
setiap kemarau sawah-sawah mengering, merekah, retak terbelah-belah. Ketika kemarau
berlarut-larut tak berujung, kampung kami kehilangan akal dan akhirnya hanya berpaling pada
sebaris harapan: Semoga hujan bergegas datang dan membunuh kemarau laknat itu segera.
Bagi guru sepertiku, musim penghujan sebetulnya tak punya terlalu banyak arti. Bahkan, selalu
saja ia menghadiahiku kerepotan-kerepotan baru. Setiap hari, pergi dari rumah ke SD Inpres
di seberang bukit itu, aku mesti menggulung celana panjangku tinggi-tinggi, tak membiarkan
lidah air berlumpur menjilat celanaku. Celana layak satu-satunya.
Kedua tanganku pun dibuat sibuk. Tangan kanan menjinjing tas. Tangan kiri, yang terbiasa
menganggur, punya pekerjaan baru: menjinjing sandal. Aku bak pemain sirkus, mesti menjaga
keseimbangan di sepanjang pematang, bersiasat untuk tak tergelincir tercebur ke sawah berair
berlumpur-lumpur.
Kerepotanku tak usai di situ. Sebelum ke kelas atau ruang guru, aku tentu saja mesti ke parit
di belakang gedung sekolah itu. Mencuci kaki. Menurunkan gulungan celana. Lalu menyematkan
sandal ke kedua kakiku yang kuyup. Betapa merepotkannya jika aku bersepatu.
Ketika sol sepatuku, sepatu terakhirku, jebol di tengah kemarau tahun lalu, aku sempat
meratapinya. Tapi, ketika musim penghujan seperti ini datang, segera kutahu bahwa barang
mewah semacam itu kadang kala tak punya guna. Di pasar kecamatan, sepatu termurah saja
harganya 20 ribu!
Bersepatu pergi pulang mengajar di musim penghujan seperti ini hanya membikin-bikin kerepotan
yang tak perlu. Semacam kesia-siaan. Bahkan penyiksaan diri.
Tentu cerita bisa berbeda jika saja ada sepeda. Pematang penuh jebakan lumpur itu bisa
kuhindari dengan sedikit memutar menyusuri jalan desa. Tapi sejak kutahu bahwa sepeda bekas
yang butut saja harganya lima puluh ribu perak, aku berhenti memikirkannya.
Untungnya, kepala sekolah tak mengharuskan guru honorer, guru bantu sepertiku bersepatu. Aku
pun bisa mengajak sandal lili-ku bertemu 47 murid kelas enam yang bertumpuk di kelas paling
ujung kiri itu. Setiap hari. Mereka benar-benar bertumpuk di ruang kelas darurat yang sempit
itu.
Tapi bagiku, pintu kelas itu adalah celah menuju kebahagiaan. Memasukinya membuatku bertemu
mata-mata yang haus dan berharap, tetapi juga kuyu dihantam kemiskinan. Aku selalu bahagia
setiap kali kekuyuan itu lenyap sesaat tertelan kegembiraan menemukan hal-hal baru dari
pelajaran kelas. Dari hari ke hari. Dari pukul 07.15 pagi hingga zuhur lepas pergi dan asar
hampir menjemput.
Selalu saja terbit rasa senang melihat mata-mata itu menjadi sedikit berkilat setiap kali
kukatakan, “Negara kita Indonesia, besok akan menjadi lebih baik jika kita warganya
bisa memelihara nurani kita. Begitu juga Sukamanah, desa kita.”
Kadang-kadang anak-anak itu merepotkanku dengan pertanyaan mereka. Mereka kudorong agar tak
berpuas diri sekadar lulus SD dan lanjut bersekolah ke SMP di kota kecamatan. Hardi, salah
seorang yang terpandai pun bertanya, mengutip kata-kata Ayahnya. “Untuk apa
melanjutkan sekolah dan meninggalkan sawah-sawah kami? Bukankah sekolah tinggi hanya akan
membikin kami membenci sawah tapi juga tak menyediakan pekerjaan lain, lalu membikin kita
hanya bisa luntang-lantung menyusahkan orangtua seperti anak-anak kepala dusun itu?”
Maka aku pun menjawabnya. “Bersekolah bukanlah untuk mencari pekerjaan, apalagi
membenci sawah. Kita bisa bersekolah tinggi sambil tetap mencintai kampung kita, sawah-sawah
kita. Bersekolah itu untuk membuat kita tak jadi orang-orang yang tak mengerti keindahan
walaupun memiliki mata, tak mendengarkan kebaikan walaupun memiliki telinga, tak membela
kebenaran walaupun memiliki hati, tak pernah terharu dan tak bersemangat.”
“Pak Sobarudin, bisa ke kantor saya sebentar?” Suara Pak Dudung, kepala sekolah,
tiba-tiba menyeruput telingaku dari arah punggung.
“Ada undangan penting dari kabupaten,” katanya lagi, sebelum sempat kukeluarkan
sepatah kata pun.
“O ya…” Aku membuntutinya.
“Ini undangan untuk Pak Sobar. Semua guru honorer sekecamatan dikumpulkan bertemu
Bupati minggu depan.”
Aku segera membukanya. Beberapa kata segera berpindah dari kertas itu ke kepalaku. Minggu. 15
November. Siang. Aula Kecamatan. Bupati. Realisasi Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.
Hari Minggu ini sebenarnya sama saja seperti hari-hari Minggu lainnya. Ia terasa berbeda
hanya lantaran inilah hari Minggu pertama di musim penghujan. Kampung kami menjadi lebih
sibuk. Hampir semua rumah memboyong seluruh isinya ke sawah, memulai upacara hidup yang
itu-itu juga. Bercocok tanam. Mengutang pupuk ke koperasi desa. Memimpikan panen, padahal
sawah baru saja mulai digarap. Menghitung kerugian yang pasti datang karena ongkos bersawah
selalu saja lebih tinggi dari harga jual padi. Menyisakan hasil panen untuk bertahan hidup
ala kadarnya selama kemarau yang belum-belum sudah mengintip mengendap hendak kembali.
Siang ini aku harus ke kecamatan, berjalan kaki tiga kilo ke arah barat daya. Sedari pagi
buta, ketika matahari masih terbungkus kabut, pasti sudah banyak orang mengepung kantor
kecamatan, untuk melihat wajah Pak Bupati yang katanya masih muda dan rajin membagi senyum
itu.
“Kang, jangan lupa mampir ke rumah Bi Mumun,” Anah mengingatkanku ketika setengah
badanku sudah tertelan pintu, hendak pergi.
“Ya.”
Sepulang dari kecamatan, aku memang harus mampir ke pabrik tempe istri almarhum pamanku itu.
Menjemput kulit kacang kedelai. Anah biasa mencampurnya dengan terigu, bawang putih, garam
dan sedikit merica, lalu menyulapnya menjadi makanan penganan bahkan kadang-kadang lauk-pauk
utama. Dan kami menyukainya. Apalagi jika tersedia juga cobek favorit kami. Cobek bohong.
Penampilannya memang seperti cobek, tapi sebetulnya bukan juga. Ia hanya kuah belaka, tanpa
jengkol atau ikan lele, atau apa pun. Di sana hanya ada cabe merah yang panjang
menjuntai-juntai mengundang gigitan. Orang- orang di kampung kami pun menyebutnya cobek
bohong. Menu semacam itu adalah kemewahan besar di rumah kami, apalagi di masa-masa darurat.
Tapi hidup kami selalu saja darurat. Selepas SPG, lima tahun lalu, tak ada pekerjaan
menjemputku. Semestinya aku jadi guru SD. Tapi itulah. Setiap tahun, selalu saja kemestian
itu terganjal ujian penerimaan guru. Aku tak pernah lulus. Bukan sulitnya soal ujian yang
sebenarnya menjadi masalahku, tapi selalu saja aku tak mampu menyediakan amplop, dengan isi
mesti di atas satu juta rupiah, untuk Kepala Kantor Departemen. Kalau saja amplop itu
tersedia, Pak Kakandep tentu akan segera mengurus kelulusanku. Tapi, dari mana kudapat uang
sebanyak itu? Melihatnya saja aku tak pernah.
Untungnya, tenagaku masih terpakai di kampung. Membantu Bi Mumun di pabrik tempe. Membantu
panen Kang Soleh dan tetangga-tetangga dekat lainnya. Membantu menjagal sapi menjelang Hari
Raya Kurban. Membantu mencukur rumput kuburan desa setiap menjelang bulan puasa. Mengambil
air dari sumur tua yang tak pernah kering di balik bukit untuk kepala dusun, tiap kali
kemarau menjadi-jadi. Mengecat dan membetulkan pagar masjid menjelang lebaran.
Tenagaku tak selalu dihargai dengan uang. Kadang-kadang diganjar hasil cocok-tanam, padi,
atau makanan. Tapi semuanya terasa sangat membantu. Adapun satu-satunya sumber penghasilan
tetapku adalah honor sebagai guru wiyata bakti itu, guru honorer, guru bantu, sebesar 75
ribu setiap bulan.
Uang itu jauh dari cukup dan selalu habis untuk melunasi utang-utang belanja dapur kami ke
warung Ceu Nenden di pertigaan jalan desa itu. Untungnya, jodohku adalah Anah yang tak
pernah menuntut. Sejak kunikahi empat tahun lalu, tak sekalipun Anah mengeluhkan keadaan
kami. Di tengah kesusahan yang terus menguntit kami, Anah selalu melayaniku dengan baik.
Siang dan malam hari.
Anah-lah yang justru mengajariku untuk selalu bersyukur atas apa pun yang kami peroleh.
Mengajari tetap bersyukur sekalipun sampai saat ini kami belum juga beroleh momongan. Kami
tak pernah membebani Tuhan dengan macam-macam tuntutan. Cukup sajalah kami tahu bahwa Tuhan
tak pernah tidur.
Pertemuan di aula kecamatan hari ini sebetulnya bukan yang pertama. Dua tahun lalu, semua
guru honorer juga pernah dikumpulkan. Di aula sama. Hanya saja, waktu itu kami tak
seberuntung sekarang. Dulu, yang yang datang bukan Bupati tetapi Kakandep dari kabupaten.
Selepas pertemuan itu, rasa syukurku bertambah-tambah. Sejumlah guru honorer tampaknya memang
lebih beruntung dariku. Mereka bisa menambah penghasilan dengan menarik ojek di pasar
kecamatan. Ada juga yang membuka warung atau kios koran, komik-komik agama dan teka-teki
silang. Tapi jauh lebih banyak yang bernasib lebih buruk. Pak Kosim dari desa di ujung utara
itu hanya digaji 25 ribu per bulan. Ibu Eti, guru sedesaku, tak punya gaji sama sekali. Ia
hanya bisa menunggu hadiah hasil panen dari wali murid di kelasnya. Padahal, panen sering
diganggu hama. Pak Komarudin, yang ternyata hanya terpisah tiga kampung denganku, digaji 25
ribu ditambah uang BP3 sebesar 1.500 rupiah dari murid-murid di kelasnya. Muridnya hanya ada
12 orang. Miskin semua. Mereka lebih sering menunggak ketimbang melunasinya.
Di pertemuan dua tahun lalu itu pula kukenal Pak Asep Saepudin yang kepandaian bicaranya
mengingatkanku pada Kiai Ishak, khatib masjid kecamatan. Ia guru di kota kecamatan. Pendiri
dan pemimpin Lembaga Swadaya Masyarakat Peduli Anak Bangsa (LSMPAB) yang katanya berusaha
mengurusi nasib guru-guru bantu seperti kami. Dari Pak Asep pula aku tahu betapa pemerintah
memang kekurangan guru SD dan membutuhkan kami. Propinsi kami saja, katanya, kekurangan
33.768 guru SD. Sebanyak 17.877 di antaranya adalah guru kelas. Maka, lagi-lagi menurut Pak
Asep, jika guru-guru honorer di seluruh Jawa Barat berhenti, hampir 18 ribu kelas akan
telantar.
“Kami para guru honorer bukanlah orang-orang yang disumbang pemerintah. Kamilah yang
membantu pemerintah menyelenggarakan pendidikan di tingkat dasar. Kalau tak ada kami,
pemerintah kerepotan. Jadi, bukan kami yang harus berterima kasih, tetapi pemerintahlah yang
semestinya berterima kasih dan memperbaiki nasib kami,” begitulah antara lain yang
dikatakan Pak Asep di pertemuan itu. Hadirin bersorak bertepuk tangan. Wajah Pak Kakandep
kulihat memerah delima.
Boleh jadi, suara Pak Asep sampai juga ke telinga Pak Bupati. Buktinya hari ini Pak Bupati
datang dan akan mengurus “Perbaikan Nasib Guru Wiyata Bakti.” Seperti tertulis
di undangan.
Benar saja. Kantor kecamatan seperti gula dikepung semut. Halaman luarnya disesaki
orang-orang. Mereka benar-benar ingin melihat wajah Pak Bupati yang murah senyum itu
rupanya.
Setelah kulipat-lipat badan, menyelusup di tengah orang-orang yang berkerumun, bertukar
keringat dengan mereka, akhirnya sampai juga aku di depan aula itu. Kuacungkan kertas
undangan memberi tahu bahwa aku guru honorer yang memang berhak masuk aula.
“Nah… ini ada satu lagi.” Seseorang yang berseragam coklat muda tiba-tiba
setengah menghardikku sambil menunjuk-nunjuk ke arah sandal dan kakiku, membuatku bingung
tak mengerti.
“Mari. Saudara harus duduk di ruang terpisah. Tidak di aula. Ini instruksi Bapak-Bapak
di kantor kabupaten. Yang masuk aula harus pakai sepatu. Untuk menghormati Pak
Bupati!”
Aku mulai mengerti. Semacam amarah beranak-pinak di dadaku. Tak boleh masuk aula hanya karena
tak bersepatu? Apa yang salah dengan sandal lili yang baru kucuci tadi pagi ini? Sepatu?
Menghormati Bupati?
Tapi mata tak bersahabat orang- orang berseragam coklat muda itu dengan cepat menggugurkan
anak- pinak kemarahanku. Aku pun membuntuti mereka. Masuk ke ruang di sebelah aula. Di sana
sudah ada beberapa puluh orang lainnya. Semuanya tak bersepatu. Moncong pengeras suara
mengintip dari jendela, memelototi kami. Aku tak sendiri. Kutemukan juga beberapa wajah tak
senang. Menahan marah.
Duh Anah…. Maafkan aku. Dari sini, aku tak bisa melihat wajah Pak Bupati. Aku tak bisa
menjaga janjiku untuk sepulang nanti bercerita apakah benar Pak Bupati muda itu memang
selalu tersenyum.
“Syukurlah Kang. Syukur.”
Hanya itu yang keluar dari mulut kecil Anah ketika kuceritakan apa yang kudengar dari Pak
Bupati di pertemuan itu. Pak Bupati berjanji memperbaiki nasib guru-guru honorer di
kecamatan kami yang ternyata jumlahnya makin banyak. Ratusan. Pak Bupati akan segera
melakukan sesuatu. Bertahap. Sesuai kemampuan kabupaten. Untuk memperbaiki kesejahteraan
guru- guru honorer. Dimulai dari yang penting.
Hampir setiap hari kampung kami diguyur hujan. Pematang sawah menuju sekolah itu pun makin
menuntut keterampilan-keterampilan sirkusku. Sudah kubatalkan pula rencana memperbaiki
sepatu jebolku ke pasar kecamatan. Sepasang sepatu, barang mewah yang tak berguna dan
merepotkan itu, kini tercampak bersama timbunan sampah di kebun belakang. Tali keduanya
saling terikat. Teronggok. Seperti sepasang anak kembar yang mati bunuh diri.
Dua minggu sudah pertemuan dengan Pak Bupati itu lewat. Hari ini, langit di atas kampung kami
bolong. Air pun jatuh tercurah deras. Petir dan angin besar mengecewakan anak-anak Kang
Soleh. Rengekan mereka untuk bermain bersama hujan, bertepuk sebelah tangan. Kulihat mereka
duduk-duduk di beranda, memandangi hujan dengan penuh hasrat.
Satu sosok muncul dari belokan jalan desa. Setengah berlari. Setangkai daun pisang memayungi
kepalanya-kurasa, dengan percuma. Ia tetap kuyup juga. Petir dan angin seperti
mendorong-dorongnya untuk bergegas. Badan kuyupnya dibungkukkan, sepertinya melindungi
sesuatu di dadanya. Sosok itu mendekat. Ia tak menyusuri jalan desa yang menikung ke kiri.
Tapi ke rumahku. Persis ke arahku.
Ternyata Mang Maman, penjaga SD Inpresku.
“Silakan masuk Mang. Aduh. Hujan besar begini kok memaksakan diri datang ke
sini.”
“Saya diminta Pak Dudung mengantar kiriman untuk Pak Sobar. Katanya penting. Dari Pak
Bupati. Ada juga suratnya.”
Kubiarkan Kang Maman berdiri di pintu. Badannya kuyup. Seperti kerupuk tercelup kuah sayur.
Kuambil kardus itu. Kubuka suratnya. Benar. Dari Pak Bupati. Pendek saja. Dari kertas,
kata-kata berat itu berpindah ke kepalaku. Wujud kepedulian pemerintah. Usaha nyata membantu
harkat guru honorer. Menaikkan citra, wibawa, dan martabat Guru Wiyata Bakti. Untuk masa
depan dunia pendidikan yang lebih baik.
Maka, kubuka kardus itu. Isinya: sepasang sepatu.
Columbus, 2004
Keterangan:
(1) Sandal lili adalah sandal terbuat dari plastik, bukan sandal jepit, dengan model yang
biasanya standar, dengan pilihan warna-warna-biru, merah, hijau, coklat, hitam-yang kusam.
(2) SPG adalah Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah untuk menghasilkan calon guru-guru sekolah
dasar ini sekarang sudah dilikuidasi pemerintah.
(3) Guru Wiyata Bakti adalah sebutan resmi yang dipakai pemerintah untuk para guru honorer
yang bukan pegawai negeri. Sebelum masa otonomi daerah, sebagian dari mereka memperoleh
honor ala kadarnya dari pemerintah pusat. Setelah otonomi daerah, mereka menjadi beban (yang
diabaikan) dari pemerintah daerah.
(4) Pernyataan bahwa sekolah adalah tempat mendidik anak murid untuk tak menjadi
“orang–orang yang tidak mengerti keindahan walaupun memiliki mata, tidak
mendengarkan irama musik walaupun memiliki telinga, tidak memiliki kebenaran walaupun
memiliki hati, tidak pernah terharu dan tidak bersemangat,” adalah kutipan pernyataan
Mr Kuroyanagi, pengajar Sekolah Tomoe dalam buku termasyhur Tetsuko Kuroyanagi, Toto-Chan:
Si Gadis Kecil di Tepi Jendela.
Audiobook
Kirimi Aku Makanan
Aku lupa, kapan aku kenal temanku yang satu ini. Namanya Roni. Dengan tiba-tiba aku sangat
akrab dengannya. Semula pada suatu sore dia datang, tanpa mengenalkan diri, dia mengucapkan
salam dengan menyebut nama panggilan akrabku: Mas Sudar. Dan kami langsung ngobrol
ngalor-ngidul tentang dunia gaib. Soal tuyul, genderuwo, jin, sampai segala macam pesugihan.
Seakan dia sudah tahu benar bahwa aku paling suka cerita-cerita begituan sampai paling getol
nonton televisi yang menayangkan tentang dunia hantu dan alam gaib.
Di kompleks rumah Mas Sudar ini ada yang pelihara tuyul lho,” katanya.
”Ah yang benar!” sahutku.
”Benar! Mas Sudar kerap kali kehilangan uang kan?”
Memang benar. Aku kerap dan bahkan sangat kerap kehilangan uang. Uang ”laki-laki”
yang aku simpan di tas kerjaku kerap berkurang. Tapi aku tak menyangka itu pekerjaan tuyul,
paling-paling kerjaan istriku yang tahu nomor kode kunci tas kerjaku. Karena dia pun suka
ngerjain kartu ATM saya.
”Kok tahu?” tanyaku tertawa.
Kemudian dengan serius dia mengatakan bahwa pekerjaannya adalah sebagai mediator untuk
orang-orang yang perlu bantuan untuk bisa memelihara tuyul, genderuwo atau jin.
”Di kota ini sudah banyak pengusaha toko sepeda motor, mobil, atau restoran yang
memerlukan penjaga usahanya dengan memelihara makhluk seperti itu berkat bantuan saya.
Bahkan beberapa pejabat negara pun minta dicarikan jin.”
Saya terdiam bengong.
”Betul kok Mas, saya biasa melihat siapa saja yang memelihara tuyul atau sebangsanya.
Kalau Mas Sudar mau bisa saya carikan.”
”Ah musyrik,” jawabku. ”Anda sendiri gimana. Berprofesi makelar tuyul, apa
tidak dosa?”
”Ah ya tidak. Wong saya hanya perantara. Meskipun saya mendapat bayaran untuk itu, aku
tidak mau dibayar dengan uang sesudah dapat tuyul. Harus dengan uang sebelumnya. Dan saya
sudah serahkan tanggung jawab kepada mereka, bahwa mereka akan selamanya sampai hari kiamat
menjadi budak setan.”
Beberapa hari kemudian, ada peristiwa aneh di rumahku. Kami sekeluarga sedang menghitung uang
belanja dan memisah-misahkan mana untuk belanja harian, mana untuk uang sekolah anak-anak,
dan lain-lain. Uang kami atur menurut nilainya, lima puluhan ribu ditumpuk jadi satu,
ratusan ribu dengan ratusan ribu. Dan baru sedetik istriku menaruh selembar ratusan ribu,
detik itu pula raib di depan mata kami. Kami bingung mencarinya.
”Diambil tuyul kali Yah!” kata anakku.
”Tuyul?… Tuyul kepala hitam!” jawabku. Istriku merengut, rupanya
tersinggung karena saya selalu menyebut diambil oleh tuyul kepala hitam, setiap uang di tas
kerjaku hilang. Lebih mengherankan lagi tak lama kemudian Roni datang.
”Betul kan Mas, ada tuyul di sekitar sini,” katanya. ”Mau tahu siapa yang
punya.”
Kemudian dia minta disediakan baskom berisi air. Dia minta memerhatikan air. Nanti akan
terlihat siapa orangnya. Tapi sampai mata saya hampir lepas tak kulihat siapa-siapa, kecuali
bayang-bayang wajahku sendiri.
”Lihat Mas. Itu orangnya. Perempuan berambut ikal. Nah itu nomor rumahnya
kelihatan.”
”Saya tidak melihat apa-apa,” jawabku.
”Ah memang, perlu tirakat dan ritus tertentu untuk bisa melihat penampakan….
Nanti kalau mau saya ajari. Tapi sekarang kalau Mas Sudar melihat seorang perempuan jalan
sore dengan kedua tangan di belakang, itu dia sedang menggendong tuyul. Coba nanti dari
belakang kita cibiri dia, maka dia akan menoleh karena tuyulnya memberi tahu bosnya.”
Ternyata betul dengan apa yang Roni katakan. Dan sekarang saya tidak pernah lagi kehilangan
uang. Mungkin tuyulnya malu karena sudah ketahuan.
Rupanya perkenalanku dengan alam gaib semakin jauh. Kami sekeluarga baru saja menikmati honor
cerpenku yang telah dimuat di sebuah majalah dengan makan-makan di warung lesehan, Roni
mengunjungi kami lagi di rumah.
”Cerpenmu bagus Mas,” katanya. ”Saya dengar mau bikin novel ya?”
Aku baru saja membuat cerita pendek dengan latar belakang peristiwa G30S, dengan mengumpulkan
referensi dan data dari para saksi mata dan pelaku yang masih hidup.
”Harusnya Mas Sudar melengkapinya dengan menambahkan dari narasumber yang menjadi
korban pembantaian!”
Ah gila. Mana mungkin, pikirku.
”Bisa lho Mas,” ujarnya. ”Mereka ini masih penasaran jadi arwah yang masih
gentayangan karena merasa tidak rela akan nasibnya. Kuburan massalnya ada di daerah
Luwengombo, Pandansimping, atau di Desa Tempuran. Dengan cara tertentu kita bisa menemui
mereka. Dan nanti akan membuat novel Mas benar-benar hebat.”
Benar-benar gila orang ini, pikirku.
”Benar-benar biasa lho Mas! Dengan ritual tertentu kita bisa berhadapan dengan mereka
di tempat mereka dibunuh. Cuma kita harus tabah dan siap mental karena mereka akan hadir
dengan bentuk keadaan terakhirnya. Saya sendiri kurang berani menghadapinya. Sungguh
mengerikan mereka menampakkan diri dengan kepala terbelah atau usus terburai atau tanpa
kepala.”
Bulu kudukku meremang.
”Tapi kalau Mas hanya ingin mengenal dunia alam gaib mereka, ini saya beri tahu
ritualnya.”
Dia menulis kelengkapan ritual dengan laku, rapal, dan amalan di atas sesobek kertas dan
diberikan kepadaku.
Ya Allah, ampunilah dosa hambamu ini…! Oleh kekuatan rasa ingin tahuku, tanpa setahu
istriku aku laksanakan ritual itu. Ah, ini pasti perbuatan iseng si Roni, pikirku.
Hingga pada suatu sore, sewaktu aku mengunjungi sahabat di sebuah pesantren di Desa Tempuran,
agak di luar kota. Ketika melintasi jembatan sungai berpagar tembok di ujung desa, terasa
bulu kudukku meremang. Di sepanjang pinggiran sungai penuh pohon pisang sehingga memberi
kesan gelap. Pulangnya sehabis magrib, menjelang melintasi jembatan, tiba-tiba saja ada
seorang lelaki tua melambaikan tangannya ke arahku. Aku tidak tahu dari arah mana dia
muncul. Kupinggirkan sepeda motorku di samping pagar jembatan.
”Monggo Pak,” sapaku. ”Kalau mau ke kota, saya boncengkan.”
”Tidak kok Nak Mas,” jawabnya lirih. ”Saya hanya mau minta tolong untuk
menyampaikan pesan saya kepada anak saya, supaya kerap mengirimi saya makanan.”
”Alamat anak Bapak di mana?”
Dia sebutkan sebuah nama dengan alamat jalan nomor rumah di luar kota.
”Lha, Bapak tinggal di mana?”
”Tidak jauh dari sini kok, Nak,” jawabnya sambil menunjuk searah dengan rumpun
pisang. Mungkin tinggal di desa seberang sawah sana, pikirku.
Saat kunyalakan sepeda motor dan berpamitan, dia mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.
Tapi… senyum itu… ya Allah, senyuman seperti orang menahan sakit itu, telah
membuatku tidak bisa tidur semalaman.
Paginya kusempatkan waktuku untuk mencari alamat anaknya. Ternyata tidak mudah. Setelah
bertanya kesana-kemari, kebanyakan orang mengatakan tidak tahu, bahkan ada yang kelihatan
enggan menjawab. Ataupun kalau menjawab pasti ditambah kata: oooh…, eks tapol Pulau
Buru itu? Akhirnya kutemukan juga. Seorang lelaki paruh baya, air mukanya nampak bagai orang
yang telah mengalami tempaan hidup yang keras, menyambut kedatanganku dengan pandangan penuh
curiga.
”Dari mana Bapak tahu alamat saya, dan tujuan Bapak mencari saya?” tanyanya
menyelidik. Kusampaikan kepadanya bahwa aku telah bertemu ayahnya yang tinggal di Desa
Tempuran, serta kusampaikan pula pesan ayahnya. Dia tertegun beberapa saat.
”Ayah saya? Seperti apa dia?”
”Rambut sudah beruban, alis tebal, berjanggut yang sudah sebagian memutih, berbaju
lurik dan memakai sarung pelekat hijau,” jawabku seingatnya.
Tiba-tiba dia benamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Katanya di sela sedu sedannya:
”Ya Allah, dalam pakaian itulah sewaktu ayah dibantai bersama orang-orang yang dianggap
melakukan gerakan makar. Ternyata benar kata orang mereka telah dikubur di bantaran sungai
yang kemudian ditanami pohon pisang di atasnya.”
Jantungku serasa berhenti berdetak!
(Belakangan aku sarankan kepadanya untuk mengirim doa kepada ayahnya setiap kali dia shalat.
Mungkin itu yang dipesankan ayahnya untuk dikirimi makanan. Dan selama ini aku tidak lagi
berjumpa dengan Roni, kabarnya dia telah menjadi salah satu penasihat spiritual pejabat
tinggi di Jakarta.)
Klaten 2004
Catatan:
Ngalor-ngidul: Utara Selatan, tak terarah
Laku: Melakukan ritual fisik, seperti puasa, tidak tidur malam, dsb.
Rapal: Mantra
Amalan: Bacaan Doa
Monggo: Mari, silakan
Audiobook
Di Balik Jendela
Hal yang paling kutakuti ialah sakit. Berulang-ulang istriku menganjurkan supaya aku
memeriksakan diri ke dokter. Rasa sehat bukan berarti tidak sakit, katanya. Nah, justru
itulah yang kukatakan kataku, kalau-kalau dokter mengetahui penyakitku. Lebih baik tidak
usah mengada-adalah! Pernah sekali aku pergi ke rumah sakit dan memeriksakan kepalaku yang
ada benjolan. Kurasa benjolan itu mengganggu, bukan karena sakit, tetapi karena kalau tidur,
benjolan itu sering pindah-pindah. Segera saja dokter menyuruh perawat menggunduli separuh
kepalaku dan kemudian menyuruhku berbaring di atas meja operasi. Sayatan di kulit kepala
membuat darah mengalir lewat tanganku menuju baskom di bawah meja. Gumpalan lemak sebesar
setengah gelas dikeluarkan dan menunjukkannya kepadaku. Ada rasa ngeri dalam diriku.
Mudah-mudahan itu bukan tumor ganas, kataku dalam hati. Sebulan kemudian aku diberitahu
bahwa lemak itu bukanlah tumor ganas.
Sejak itu, aku menjadi takut ke rumah sakit. Sampai akhirnya, suatu ketika aku terjatuh di
kamar mandi. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Setelah sadar, aku bangkit dengan pandangan
yang berkunang-kunang. Ada rasa nyeri yang menyayat-nyayat di usus. Terpaksa kuperiksakan ke
dokter, dan aku disuruh harus menginap di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku mengenal
jarum suntik yang membuatku ngeri. Perawat tanpa perasaan kurasa menancapkan jarum ke
pantatku. Setelah pulang dari rumah sakit, bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun aku tidak
pernah lagi ke dokter.
Dengan mobil VW Kodok putih aku berangkat subuh ke Ibu Kota untuk menghadiri rapat dinas
sekali sebulan. Biasanya aku tiba setengah delapan dan rapat di mulai pukul delapan,
berakhir pukul satu siang. Seperti biasa, kalau pulang, aku selalu mencari teman untuk
pulang. Supaya ada teman berbicara sepanjang jalan. Tetapi tidak ada yang kebetulan ke
Bandung. Sendiri aku kembali. Panas Ibu Kota ditambah debu dan gas yang beterbangan,
membuatku tidak betah. Rasanya udara dan kemacetan lalu lintas seperti mencekik leher.
Berbeda dengan udara di luar kota yang terasa segar dengan pemandangan pepohonan yang hijau.
Entah berapa jam aku menyaksikan pemandangan yang indah, aku tidak tahu. Ketika aku membuka
mata, orang yang berpakaian putih-putih kulihat mondar-mandir di kamar. Seorang perawat
memegang pergelangan tanganku. Sebuah botol infus meneteskan cairan yang dingin ke tubuhku.
Suster, di mana aku? tanyaku. Dengan tersenyum ia menjawab, Bapak perlu istirahat banyak.
Jangan terlalu banyak bergerak.
Aku sadar bahwa aku terbaring di rumah sakit. Kuraba kepalaku yang nyeri, ternyata dibalut
dengan perban. Ada rasa sakit di kaki dan tangan. Pasien sebelah kudengar merintih-rintih.
Menjelang tengah malam aku dinaikkan ke atas tempat tidur dorong. Dengan lift aku tahu
belakangan bahwa aku dibawa ke tingkat IV dan dibaringkan di atas tempat tidur yang rapat ke
dinding. Nyeri di kepala dan bagian kaki. Perlahan-lahan rasa sakit merambat ke seluruh
tubuh. Aku merintih-rintih. Seorang perawat datang dengan membawa obat dan alat suntik. Ia
mengatakan kepadaku bahwa tablet yang di dalam kantong plastik kecil itu harus kuminum
sesuai dengan petunjuk dokter. Kulihat perawat itu memasukkan kepala jarum ke tabung obat
dan kemudian menyingkapkan pakaianku bagian bawah. Persis di pantat, jarum itu menancap. Aku
mengaduh karena memang aku takut disuntik. Sejak lama aku menghindari suntikan, kalau boleh
dengan menelan obat saja. Bekas suntikan itu kemudian dilap dengan kapas basah. Entah berapa
lama aku tidur dengan lelap, rasa sakit tidak lagi terasa sampai pagi sudah tiba.
Dokter menerangkan bahwa cedera yang kualami tidaklah terlalu parah. Dibutuhkan waktu
beberapa hari untuk memulihkan luka di kepala dan bagian kaki. Tidak ada tulang yang patah,
hanya luka memar dan benturan di kepala. Aku bertanya kepada dokter apakah aku menderita
gegar kepala? Dokter menerangkan bahwa lukaku tidak begitu serius.
Beberapa kali aku disuntik, setiap kali hendak disuntik tubuhku menegang dan perawat
mengatakan kepadaku supaya santai saja agar tubuh jangan kejang. Beberapa kali ia menanamkan
jarum itu, tetapi tidak berhasil. Kucoba menguasai perasaanku dan memikirkan hal-hal yang
lain, sampai akhirnya perawat itu berhasil menyuntikkan obat yang membuatku tertidur
beberapa jam.
Petang hari kedua aku mendapat kawan sekamar yang ditempatkan di tempat tidur yang menghadap
jendela. Dengan menggeser kepala sedikit aku menoleh kepadanya. Kami saling menyapa. Rupanya
ia pasien pindahan dari rumah sakit lain. Kulihat kondisinya tidak begitu parah karena ia
masih dapat menggerakkan tubuhnya, menarik bantal ke bagian dinding dan menyandarkan tubuh
bertopang bantal itu. Ia lancar berbicara dan bercerita panjang lebar mengenai penyakitnya
bahwa ia menderita komplikasi yang mengakibatkan gagal ginjal. Setiap minggu ia harus
mendapat transfusi darah. Cerita berikutnya tidak bisa lagi kutangkap karena suaranya
bagaikan kata-kata yang samar-samar karena mungkin suntikan obat yang masuk ke dalam tubuhku
sudah mulai bekerja.
Ketika makan siang usai, kawan yang di sebelahku, yang berbaring dekat jendela menyapaku.
Kali ini kukira ia mengoceh lagi. Sambil menaruh dua bantal di belakang punggungnya yang
bersandar ke dinding ia bercerita dengan lancar.
Aku sangat beruntung tidur di kamar ini, dekat jendela pula. Udara segar dan pemandangan
sangat menyenangkan. Tadi malam, tengah malam, aku terbangun dan mengiraikan gorden jendela
dan aku melihat ke luar. Di luar pemandangan yang amat mengasyikkan. Ada bintang-bintang
yang bertebaran di langit. Aku melihat cahaya yang indah. Sepertinya aku bertemu dengan
anakku yang telah lebih dahulu pergi ke surga empat tahun yang lalu. Ia menyapaku dengan
lembut. Ia mengendarai selimut malam yang putih. Tangannya melambat memanggil-manggilku:
Ayah, ayah! Ke marilah! Di sini hidup tenang dan sejahtera, damai. Datanglah! Tiba-tiba
kulihat tubuhnya melesat ke udara, menuju bintang-bintang yang gemerlapan. Ia melayang jauh,
muncul lagi, dan kemudian lenyap di dalam selimut malam. Oh, indahnya. Sungguh sangat
menyenangkan tidur dekat jendela ini…
Mungkin maag-ku yang kumat sehingga cairan milanta kurang memadai untuk menenteramkan
lambungku dan suntikan itu sangat efektif untuk meneduhkan rasa perih yang menyayat-nyayat
ususku selain cedera yang menimpa kepalaku dan kakiku. Suara kawan di sebelah segera
bagaikan suara sayup-sayup di kejauhan yang kemudian lenyap di telan angin.
Petang harinya aku membuka mata. Kawan di sebelah tersenyum dan menyapaku seperti biasa.
Tidur dekat jendela ini amat nyaman, kawan. Segala derita berlalu, apalagi kalau silir malam
yang lembut mulai menyentuh tubuh dari celah-celah gorden. Seperti lembutnya belaian kasih
tangan malaikat menyentuh tubuh. Alangkah indahnya pertemuan dengan anakku itu. Dan belum
lama berselang, ketika Anda tertidur, seseorang menyapa aku. Melalui semilir angin yang
lembut ia berbisik kepadaku, Pak, tidak usah takut. Berjalanlah bersama kami, dengan sayap
kehidupan yang abadi kita menjelajahi angkasa dan tiba di sebuah tempat yang tiada lagi
derita. Kawan-kawanmu seperjuangan dahulu ada bersama kami, mereka rindu bertemu dengan
Anda. Lalu aku menyaksikan sebuah pertunjukkan, sebuah pesta yang meriah. Semua orang
berpakaian yang indah-indah. Semua tampan dan cantik jelita. Bidadari-bidadari dari kayangan
menari, ada suara menarik, ada suara musik yang mendayu-dayu dengan berbagai melodi yang
menggairahkan tubuh. Lentiknya tangan mereka, ayunannya yang menggoda, hidangan anggur merah
yang meriah, oh, nikmatnya.
Taman di sebelah ini memang dirancang untuk memberikan inspirasi tentang masa mendatang.
Sepanjang hari penghuni taman ini mengadakan pesta yang tidak ada putus-putusnya,
seolah-olah hidup ini hanya untuk pesta meriah saja. Para pelayan yang sopan, persediaan
yang tidak habis-habisnya, sungguh menyejukkan hati…
Aku tidak dapat memberi komentar karena sesekali rasa nyeri di lambungku mengentak-entak. Hal
itu terjadi mungkin sesudah pengaruh obat penenang itu hilang. Hanya kadang-kadang tebersit
dalam benakku, apakah pemandangan kawan sekamar ini benar-benar indah, ataukah itu hanya
bayang-bayang di dalam lubuk impian hatinya yang terdalam. Ketika suster menutupkan gorden
pembatas karena hendak menyuntikku kembali, aku bertanya, Suster, mengapa pasien sebelah
belum pulang? Kukira kesehatannya membaik karena ia lancar berbicara.
Suster itu tersenyum. Ia harus mendapat tambahan darah, tapi keluarganya belum berhasil
mendapatkannya. HB-nya sedang menurun.
Tengah malam aku terbangun mendengarkan beberapa kaki yang bergegas dan tempat tidur yang
didorong. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi pintu segera ditutup dan kembali senyap.
Paginya, saat matahari mulai menyusup dari celah gordenku aku menyapa suster yang membawa
obat untukku. Tadi malam seperti ada sesuatu yang terjadi di kamar ini.
Ah, tidak apa-apa. Hanya teman sekamar Bapak dipindahkan ke ruang penantian di bawah.
Ruang penantian? Apa itu?
Kamar paling akhir, jawab suster itu tenang. Mungkin peristiwa seperti itu sudah terlalu
sering dialaminya.
Maksud suster? tanyaku penasaran.
Ruang perjalanan akhir, katanya perlahan. Pak, minumlah obatnya! katanya sambil meninggalkan
ruangan.
Setelah minum obat aku menekan bel untuk memanggil dokter.
Bapak memanggil saya? tanyanya dengan terengah-engah. Rupanya ia sedang terburu-buru.
Ya. Bolehkah suster memindahkan tempat tidur saya ke dekat jendela itu?
Mengapa? Bapak kurang enak tidur di sini?
Ingin udara yang segar.
Baiklah, katanya sambil melangkah ke pintu, Saya akan minta bantuan kawan yang lain.
Mereka menggeser tempat tidur yang dekat jendela itu dan menarik tempat tidurku ke tempat
itu. Setelah suster pergi, aku mencoba menarik bantal dan menyandarkan tubuhku ke dinding,
disangga bantal. Kudorong daun jendela, membukanya lebar-lebar. Aku terkejut melihat
pemandangan di luar. Wou! Aku menjerit tak sengaja karena melihat di bawah pohon kamboja
yang meranggas, tersebarlah nisan di atas lahan kubur yang tua.
Buru-buru kutekan bel. Suster berdatangan ke ruanganku.
Ada apa, Pak?
Suster, tolong pindahkan aku dari ruangan ini! Tolong segera…
Kurasa lebih lima belas menit kemudian, aku dipindahkan ke ruang sebelah, di bangsal yang
lain.
Bandung, 19 Agustus 2005
Audiobook
Ia Ingin Mati di Bulan Ramadhan Ini
Betapa menyenangkan bila ia mati di bulan Ramadhan ini. Ia tak ingin kecewa lagi. Ramadhan
berlalu, tapi ia masih saja hidup. Rasanya seperti seorang anak yang kecewa karena ditolak
permintaannya saat lebaran. Ramadhan kali ini, ia berharap maut benar-benar akan datang.
Saat ia berbaring di ranjang, hingga ia bisa mati tenang…
Alangkah menenteramkan membayangkan kematian yang nyaman seperti itu. Tak ada darah membuncah
dari kepala pecah. Atau erang kesakitan leher digorok. Ia memejam, mengusir bayangan buruk
itu. Bayangan kematian penuh darah. Ah, ia bisa mencium bau amis darah itu, seperti lengket
di hidungnya!
Segera ia mandi, keramas. Menyisir rambut dan memotong kuku, sembari bersiul-siul kecil.
Rasanya segar mendapati suasana yang sudah serba bersih, rapi, dan wangi. Tak ada lagi
serakan puntung rokok atau tumpukan pakaian kotor mengonggok di pojok. Setiap menjelang
Ramadhan, ia selalu membersihkan kamar kontrakannya. Saat Ramadhan kemarin, ia malah
mengecat ulang dinding-dindingnya. Dan tadi, ia sudah menjemur kasur bantal yang lembab apak
berjamur. Melipat selimut. Merapikan pakaian. Menyemprotkan pewangi ruangan. Ia lakukan itu
setiap kali menyambut Ramadhan—seakan ia menyiapkan upacara kecil menyambut
kematian…
Ia berdiri di ambang pintu, memandang langit siang yang terang, sembari terus bersiul- siul
ringan.
Beberapa tetangga—yang tengah duduk menggerombol— memandang ke arah laki-laki
yang bersiul-siul itu, dan segera saling bisik. Anak-anak yang sedang bermain seketika
berhenti, mengerut menatap laki-laki itu. Langsung, seorang perempuan tergopoh menarik
anak-anak itu menjauh. Kemunculan laki-laki itu selalu menimbulkan ketidaknyamanan.
Ia jarang berada di kamarnya. Seperti selalu menghilang. Berhari-hari. Kadang berbulan-bulan.
Bila pulang, ia mendekam dalam kamarnya yang selalu tertutup. Sesekali, beberapa tetangga
melihatnya keluar tengah malam. Bergegas. Memakai jaket kulit hitam. Menenteng koper besar,
seperti kotak tempat menyimpan gitar. Ada yang bilang ia seorang pemusik yang main di sebuah
bar. Entahlah. Sebab, banyak yang sering melihatnya duduk-duduk menenggak tuak di pelacuran
bawah jembatan. Mungkin ia rampok. Lihat saja tampang seramnya. Tato di lengan kanan. Parut
luka seputar pundak, seperti bekas bacokan. Tapi ada yang pernah melihatnya jualan es cendol
saat ada demonstrasi menentang kenaikan harga BBM—matanya jelalatan, seperti
mengawasi. Mungkin intel. Dan seseorang yang sering ikut demonstrasi bayaran beberapa kali
melihat laki-laki itu ikut teriak-teriak menuntut pembebasan mantan menteri yang didakwa
korupsi. Tetangga yang jadi tukang ojek pernah secara tak sengaja berpapasan dengannya: rapi
berdasi mirip sales obat kuat. Para tetangga penasaran menyimpan dugaan. Sikapnya yang
dingin membuat para penghuni rumah petak tak pernah berani bertanya. Ia seperti tak mau
dikenali. Menutup diri. Misterius. Aneh.
Seperti kebiasaannya itu: berdiri membisu, memandang entah apa. Rutin yang ganjil. Menjelang
Ramadhan ia muncul. Beres-beres kamar. Pintu jendela yang biasanya tertutup dibuka lebar.
Sepanjang malam mondar-mandir dalam kamar. Mungkin sedang menyiapkan makanan buat sahur.
Tapi mereka tak yakin kalau laki-laki itu puasa. Sering, ia terlihat merokok siang hari. Tiap
sore ia keluar. Bukan ke masjid mendengarkan pengajian dan buka puasa bersama, tapi pergi ke
kuburan. Ini yang membuat kian penasaran. Sampai kemudian beberapa orang tahu: laki- laki
itu ternyata sudah membeli kapling kuburan buat dirinya! Juru kunci bercerita, betapa ia
sering melihat laki-laki itu mencabuti rumput, menyapu, atau berdiri termangu memandangi
kapling makam itu. Seperti seorang yang tengah menziarahi kubur sendiri. Dan orang-orang
merinding mendengarnya.
Para tetangga jadi gelisah. Barangkali ia dukun. Bisa-bisa ia mencabuli gadis di sini. Atau
ia lagi menyempurnakan ilmu hitam? Kuduk mereka meremang. Sering mereka mendengar erang
panjang dari kamar laki-laki itu…
Mayat-mayat yang melepuh gosong terbakar itu muncul dari liang kelam. Seperti iblis yang
marah karena diusir dari neraka, mereka mendengis bengis. Mengepungnya. Kulit wajah mayat-
mayat itu meleleh, seperti lilin panas mencair. Ia mengerang, mengenali beberapa wajah remuk
rusak itu. Wajah-wajah orang yang pernah dibunuhnya. Wajah mahasiswa yang ketakutan ketika
ia pelan-pelan mengerat ibu jarinya. Wajah pucat perempuan simpanan yang lehernya ia sayat.
Wajah tirus gadis kecil berpita merah yang seketika bersimbah darah ketika ia membantai
keluarganya. Wajah- wajah yang membuatnya mengerang panjang.
Ia tergeragap bangun. Mimpi terkutuk! Mimpi yang membuatnya ingin mati. Mati dengan tenang,
di bulan Ramadhan. Meski ia tahu, sebagai seorang pembunuh bayaran, ia bisa saja menghadapi
kematian yang paling buruk. Mungkin, seorang pembunuh bayaran lain pada suatu malam akan
menyergapnya—dan ia meronta melawan tapi tak berdaya. Ia terkapar, memandang pembunuh
itu berdiri menyeringai menikmati saat-saat paling mengasyikkan ketika seorang korban
mengejang mati pelan-pelan.
Ia pun suka menikmati saat- saat seperti itu. Itulah kenapa ia paling suka membunuh pakai
pisau belati. Membuatnya bisa lebih dekat dengan wajah sekarat orang yang mesti dihabisinya.
Ada kenikmatan yang membius setiap kali menyaksikan urat-urat di leher korban pelan-pelan
berubah menjadi lebih lembut kehijauan. Seperti menyaksikan kematian mengecup
pelan-pelan…
Sejak kecil ia suka menikmati saat-saat merasakan aroma maut seperti itu. Ia selalu ingin
berada sangat dekat, setiap kali kakeknya menyembelih ayam. Ia tak suka bila ibunya
bercerita putri-putri jelita dan para pangeran yang hanya sibuk berpesta. Ia lebih menyukai
dongeng makhluk-makhluk seram penghuni hutan. Kisah para raksasa penyantap manusia. Ia
senang membayangkan memenggal kepala para raksasa itu. Umur tujuh tahun, diam-diam ia
membunuh kucing pamannya. Saat SMP ia berkali-kali berkelahi, membuat lawan-lawannya bonyok
nyaris mati. Ia terkenal sebagai bocah tangguh jago kelahi. Kamu pantas jadi tentara, kata
teman-temannya. Dan ia membusung bangga.
Memang, ia suka membayangkan diri jadi tentara. Di kampungnya, orang yang jadi tentara sangat
ditakuti. Ia pernah melihat seorang tentara mengajar tukang parkir, saat ada keramaian pasar
malam di alun-alun kecamatan. Orang- orang mengerubung, tak ada yang berani menghentikan.
Alangkah hebatnya jadi tentara, bisa memukuli orang sepuasnya. Ia pun mendaftar jadi
tentara. Dikirim ke medan perang. Ia paling senang ketika harus menyiksa para pemberontak.
Ia melaksanakan penyiksaan dengan tenang, tertib, dan disiplin. Dan itu disukai komandannya.
”Kamu punya bakat bagus. Percuma kalo cuma jadi tentara. Paling mentok jadi
sersan,” kata komandannya. Lalu sepulang perang, ia diberinya pekerjaan. Pekerjaan
yang tak terlalu sulit: cuma menghabisi istri seorang pejabat, karena pejabat itu pingin
kawin lagi. Lalu beberapa order ringan lainnya. Membunuh seorang pengusaha. Menghabisi
seorang wartawan. Seorang hakim. Ia menikmati bayaran yang lumayan. Benar kata komandannya.
Penghasilan pembunuh bayaran lebih baik ketimbang gaji sersan.
Rezekinya lancar sebagai pembunuh bayaran. Ia sudah membeli rumah buat hari tua. Tapi selama
ini ia lebih memilih tinggal di sepetak kamar kontrakan. Tempat menyembunyikan diri. Sumpek
bau comberan. Tapi membuatnya merasa aman. Lagi pula ia bisa mengatasi kecurigaan tetangga.
Ia akan tinggal di rumahnya, nanti bila sudah berhenti.
Selalu ia mengangankan usia tua yang tenang. Ia kenal beberapa mantan pembunuh bayaran yang
menderita di masa tuanya. Beberapa mati dalam penjara. Beberapa menderita sakit jiwa.
Sampai satu peristiwa membuat segalanya jadi tak seperti yang ia angankan.
Pesan itu singkat dan jelas: bunuh Kiai Karnawi. Dan ia mulai mengawasi. Beberapa kali ia
menguntit ketika kiai itu memberi pengajian. Ia amati raut tua Kiai Karnawi. Kulitnya yang
coklat resik. Rahang terkesan pipih, membuatnya makin terlihat tua dengan jenggot panjang
putih bersih. Sorot matanya tenang. Bicaranya santun. Ia heran, kenapa orang seperti itu
dianggap membahayakan negara dan mesti dilenyapkan? Dianggap memimpin para militan? Tapi itu
bukan urusannya. Tugasnya hanya membunuh. Tanpa jejak. Biar nanti bisa direkayasa: Kiai
Karnawi mati kecelakaan…
Ia menunggu Kiai Karnawi selesai memberi pengajian. Ia tak terlalu menyimak. Sepotong-
sepotong mendengar kiai itu bicara soal kemuliaan bulan Ramadhan. Beruntunglah orang yang
mati di bulan Ramadhan. Mati di bulan Ramadhan ialah mati yang mulia. Dan ia tersenyum.
Mencibir. Getir. Apakah seorang pembunuh bayaran juga akan mendapatkan kemuliaan bila mati
di bulan Ramadhan?
Semua sudah sesuai rencana. Ia berhasil menyamar sebagai sopir colt omprengan yang akan
membawa pulang Kiai Karnawi. Ia merasa segalanya akan berjalan lebih mudah ketika Kiai
Karnawi menolak tiga orang panitia pengajian yang hendak ikut mengantar Kiai Karnawi pulang.
Itu lebih menggampangkan rencananya: menyekap kiai itu di tengah jalan, lalu mendorong mobil
ke jurang.
Semua berjalan sebagaimana sudah ia perhitungkan. Sampai Kiai Karnawi kemudian bicara tenang,
”Aku tahu, kamu mau membunuhku. Aku ingin mempermudah pekerjaanmu. Karena itulah, aku
tadi tak mau ada orang lain yang ikut mengantar. Biar tak banyak korban. Kamu cukup
membunuhku, tak perlu repot-repot membunuh yang lain…”
Ia tak tahu, kenapa mobil perlahan berhenti. Ia tak mengeremnya!
”Mari kita turun,” ajak Kiai Karnawi. ”Kamu bisa membunuhku di sini. Tak
usah membuangku ke jurang dengan mobil itu. Sayang kan, itu mobil mahal. Nanti bisa dipakai
ngompreng bila sampeyan memang berniat pensiun jadi pembunuh bayaran.”
Baru kali ini ia gemetar. Kiai Karnawi minta izin untuk sholat terlebih dulu. ”Setelah
itu kamu bisa membunuhku. Tapi tolong, yang pelan. Jangan sampai aku kesakitan ya,
hehehe…” Kiai Karnawi terkekeh. Lalu menggelar sajadah. Ia meraba belati.
Gemetar tak yakin. Lalu meraba pistol yang ia siapkan sebagai cadangan. Ia bisa menembaknya.
Tapi sampai Kiai Karnawi selesai sholat, ia hanya berdiri gamang.
”Sekarang, lakukan tugasmu. Mungkin Allah memang memilihku mati di bulan Ramadhan.
Alhamdulillah. Kalau boleh memilih, aku sih inginnya mati dengan cara enak dan nyaman di
bulan Ramadhan. Enggak usah merepotkan sampeyan…,” lalu kembali Kiai Karnawi
tertawa ringan.
Ia merasa senja meremang. Yang terjadi kemudian lebih serupa bayang-bayang suram. Terdengar
letusan. Senyap. Kelebat bayang burung menyambar. Kemeresek daun jati jatuh. Pelan. Lengking
gagak di kejauhan. Dengung jutaan serangga mengepung. Singup. Seperti ada jutaan pasang mata
yang mengawasinya dari balik rembang petang. Jutaan pasang mata yang sejak itu terus
mengintainya. Berpasang-pasang mata yang mengingatkan pada orang-orang yang telah
dibunuhnya, dan kini memburu kematiannya.
Ia mulai diusik gelisah. Ia jadi suka membayangkan kematiannya sendiri. Membuatnya mulai
menginginkan kematian yang tenang. Kematian di bulan Ramadhan. Rasanya tak ada yang lebih
membahagiakan, kecuali mati di bulan Ramadhan. Ia pun kemudian selalu berharap,
diperkenankan mati di bulan Ramadhan.
Dan semoga saja, ia benar-benar mati di bulan Ramadhan ini. Amin.
Yogyakarta, 2005
Audiobook
Indrakila
Pensiun dari pekerjaannya di perusahaan surat kabar, lelaki itu pindah ke desa di ketinggian
ke rumah yang dirancangnya sejak lama di antara gunung-gunung dan lembah. Didasari
pertimbangan yang dibuat tak kalah lamanya, ia bersama istri ingin melewatkan hari tua usai
pensiun di tempat yang tenang, mengonsumsi waktu sehari-hari dengan bebas merdeka. Pekerjaan
menulis konon tak mengenal kata pensiun. Sebagai penulis, dia malah membayangkan
produktivitasnya nanti, di tengah waktu yang dibayangkannya luas tak terhingga seperti
samudra.
Jajaran pohon bambu di belakang rumah hanya kelihatan pucuk-pucuknya dari ruang kerja yang
dibuat di lantai dua. Ini untuk melukiskan, bagaimana rumah mereka berada di atas tanah
dengan tekstur berbukit, di mana beberapa sisi kemudian terlihat sebagai pemandangan yang
letaknya di bawah. Di seberang sana, lembah dan gunung-gunung. Tempat tinggal mereka seolah
mengapung di udara—dan memang begitulah rancangan sahabatnya, lulusan sekolah
arsitektur terkemuka di Inggris. Sahabat itu sebelumnya sampai mendesak, ingin tahu lebih
tegas lagi segi-segi hubungan dia dengan sang istri (karena itu segi paling penting untuk
mengonfigurasi tempat tinggal katanya), kebiasaan serta irama keseharian mereka, sampai
impian bahkan impian yang boleh jadi berada di balik kehidupan yang nyata, fana.
”Kamu ini psikolog, pendeta, atau arsitek?” tanya si lelaki menjelang pensiun
waktu itu kepada sahabatnya tadi.
”Sudahlah, kamu jawab semua pertanyaanku. Jerussalem juga dibangun dengan gagasan
spiritual, bukan teknis,” tukas sang teman.
”Wah, aku lupa, pekerjaanmu urban planner. Setahuku kamu memang belum pernah membangun
rumah meski kamu arsitek, ha-ha-ha…,” sahutnya berseloroh.
Manusia menjelang pensiun malah menuliskan puisi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
sahabatnya itu. Sang sahabat garuk-garuk kepala. ”Baru kali ini aku disuruh membangun
rumah acuannya puisi,” ujarnya dengan tetap menggaruk-garuk kepala sehingga rambutnya
yang agak kemerahan menjadi kian berantakan. ”Aku memang belum pernah membangun rumah.
Kali ini aku mau, karena ini rumah wong edan…,” tambahnya getas.
Ketika hari pensiun tiba, teman-teman menyelenggarakan pesta perpisahan untuknya di kantor.
Istrinya yang puluhan tahun kawin dengannya tak pernah menginjak kantor diajaknya serta.
”Masih cantik ya…,” kata beberapa teman wanita di kantor mengomentari
istrinya—entah basa-basi atau sungguhan. Terus terang, ia terbiasa mendapati komentar
orang seperti itu.
Dia disuruh pidato, menyatakan kesan-kesannya selama 25 tahun bekerja di situ. Beberapa teman
ada yang mengusap air mata. Pimpinan perusahaan, orang sangat bijak yang telah membuatnya
betah kerja di tempat tersebut, mengingatkan agar dia tetap menganggap kantor ini sebagai
”rumah kedua”.
Begitulah, sejak hari itu irama kerjanya sebagai orang kantoran berhenti. Dia menjadi
navigator untuk dirinya sendiri, untuk seluruh waktu yang berada di bawah kekuasaannya
sendiri, terserah mau dia manfaatkan untuk kegiatan apa.
Kebiasaannya bangun siang menjadi-jadi. Terasalah, waktu tidak seluas dibayangkannya. Setelah
bangun tidur tengah hari—atau kadang lewat tengah hari—tak ada sesuatu yang
menggerakkannya untuk mengerjakan sesuatu. Dia duduk bermalas-malasan minum kopi atau entah
apa. Setelah itu sore tiba. Muncul alasan untuk memanjakan kemalasan yang lain, dengan
menikmati matahari turun di balik lekukan gunung-gunung.
”Kalau ingin menulis, ya mustinya bangun pagi,” komentar istrinya.
Dia cuma tertawa. ”Benar juga,” ujarnya dalam hati.
Pertama berat, tapi perlahan-lahan dia mulai bisa bangun pagi. Perkembangan berikut bahkan
mengagetkan sang istri. Ia mulai bangun saat subuh, sebelum matahari terbit.
”Kenapa bangun sepagi itu, Pa?” tanyanya. Dilihatnya sang suami juga tidak
melakukan sesuatu di atas keyboard komputernya. Yang dilakukan adalah mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah, bersih-bersih, merapikan barang-barang, dan lain-lain.
”Ooh, barangkali memang begitu kebiasaan semua pensiunan,” pikir sang istri.
Kebiasaan itu berkembang menjadi-jadi. Pagi-pagi dia sudah memegang gunting tanaman,
memangkas dan merapikan daun-daun bambu, menggunting cabang dan ranting-ranting tanaman
bunga-bungaan, sesekali merawat dengan memberinya pupuk, memindahkan dan menata ulang
tanam-tanaman, sampai-sampai, dia seolah seperti landscaper. Buku-buku filsafat politik
sastra contemporary studies ditinggalkannya. Dia lebih tertarik pada tanaman. Kepada semua
temannya ia hanya memesan buku yang berkisar soal tanaman, gardening, lanscaping, space
planning, dan semacamnya.
Dari silaturahmi dengan teman-teman lama yang masih terjaga, orang-orang di kantor hampir
semua tahu bahwa ia kini menjadi petani.
”Mas Daru kini jadi petani lho…,” celoteh orang di kantor.
”Ah masak?” yang lain menimpali tidak percaya. ”Apa dia bisa pegang
cangkul?”
”Hu… kalian tidak tahu. Coba tanya beberapa teman. Tanah di sebelah yang kosong
dia tanami singkong. Waktu saya ke sana, kebun singkongnya itu sudah seperti hutan. Katanya
dia sampai diprotes tetangga, takut kebun singkongnya untuk sembunyi maling….”
Begitulah kehidupan pensiunan ini. Dia menjadi petani. Soal menulis, jangan-jangan dia bahkan
sudah lupa….
Sampai suatu ketika berita mengejutkan tiba (hal seperti ini sebenarnya seperti pengulangan,
selalu terjadi pada para pensiunan. Hanya saja, ketika kejadian yang tampaknya bisa menimpa
siapa saja itu terjadi, kaget juga banyak orang). Apa yang terjadi di tempat tinggalnya di
desa menyebar: dia ditemukan pingsan di kebun singkong.
Ia dilarikan ke rumah sakit. Beberapa teman lama berbondong-bondong datang membesuk selama
dia dalam perawatan.
”Stroke ya?”
”Jantung ya? Bagaimana keadaannya?”
”Stres karena pensiun, kali….”
Beberapa orang menyimpulkan sendiri apa penyakitnya. Hanya istrinya—orang
terdekatnya—yang benar-benar tahu apa yang menimpanya. Sang istri percaya, tidak ada
sesuatu yang terlalu perlu dikhawatirkan. Selain sikap berserah kepada Yang Kuasa, dari
berbagai penjelasan dokter, si istri ini percaya suaminya akan segera pulih. Memang
kekurangan oksigen beberapa saat waktu itu sempat memengaruhi ingatan atau memorinya. Ada
beberapa hal menjadi tidak bisa diingat lagi oleh suaminya. Akan tetapi, ia percaya,
kemukjizatan akan mengembalikan segala-galanya kalau Yang Kuasa menghendaki.
Yang dijalani di rumah sekarang adalah proses pemulihan. Kegembiraan sang istri
berangsung-angsur timbul kembali, melihat kemajuan suaminya. Ia merasa benar dengan
feeling-nya. Sudah beberapa pagi dia melihat suaminya melakukan stretching di taman belakang
rumah di dekat kolam. Bukan hanya stretching, tetapi bahkan mulai gerakan-gerakan lembut
yang dia kenal sangat diakrabi suaminya. ”Liong bun…,” ucap sang istri
dalam hati sambil menarik napas gembira. ”Dia bisa mengingat rangkaian gerakan Pintu
Naga….”
Perkembangan berikutnya lagi, sang suami terlihat selalu nyenyak tidurnya, dan bangun dalam
waktu yang nyaris tetap sebelum matahari terbit. Ketika si istri keluar dari tempat tidur
beberapa waktu kemudian, dia sering menjumpai suaminya sudah dalam keadaan rapi, berada di
ruang kerja menghadap komputer. Dia baru menyadari, bahkan meja kerja itu pun sudah diubah
posisinya, langsung menghadap ruang terbuka menghadap arah gunung-gunung.
”Papa sudah sehat benar ya? Diam-diam sudah menulis lagi ya?” godanya.
Sang suami diam, duduk dengan punggung tegak dan mata menatap ke kejauhan.
Di balik gunung ada gunung, di balik cakrawala ada cakrawala….
Si istri kaget. Suaminya telah pulih kembali. Itu tadi ucapan suaminya, penggalan sajak
penyair besar teman mereka yang kini tinggal menyepi di Citayam.
Didekatinya suaminya dari belakang. Ia ingin menguji memori suaminya.
”Itu gunung apa Bib…,” tanyanya, dengan menggunakan nama panggilan
suaminya, semasa mereka pacaran puluhan tahun lalu.
”Indrakila!” jawabnya.
Sang istri memerhatikan suaminya dengan saksama. Ini main-main atau sungguhan? Di seberang
itu jelas Gunung Gede-Pangrango.
”Raja Dharmawangsa menuju kayangan dengan mendaki Gunung Indrakila. Semua saudaranya
tumbang di jalan. Hanya dia selamat sampai ke pintu kayangan, diiringi anjing kita,
Patman…,” suaminya melanjutkan kata-katanya.
Ah, realitas hidupnya yang berupa kenyataan sehari-hari dan fiksi telah menyatu kembali.
Wanita ini tersenyum. Itu Gunung Gede-Pangrango, bukan Gunung Indrakila. Sedangkan Patman
benar-benar jenis anjing rottwiller peliharaan mereka.
Sang istri kian penasaran.
”Kita sekarang berada di mana?”
”Mertasari!”
Tersenyum sang istri. Dia tahu, suaminya pasti sadar bahwa ini Banjarsari, bukan Mertasari.
”Ingat di mana kita mendapatkan pohon kemboja itu?” sang istri bicara sambil
jarinya menunjuk pohon kemboja dengan batangnya yang berbentuk arkaik, di pinggir kolam.
Si suami diam sesaat, sebelum berucap, ”Lihat bunga putih yang jatuh di air kolam. Dia
bicara mengenai riwayatnya sendiri, tentang asal-usulnya, tentang Banjar Suwung Kangin yang
mempertemukan kita….”
Terhenyaklah sang istri. Itu peristiwa puluhan tahun lalu, pertemuan mereka, episode-episode
manis yang pernah mereka lewati.
Mata sang istri menjadi berkaca-kaca. Dia peluk suaminya dari belakang.
”Bibib telah benar-benar sehat, siap menulis lagi…,” katanya tersedu
sambil makin mengencangkan pelukannya.
Langit semburat merah. Pagi benar-benar datang.
Ciawi Junction, 2005
Audiobook
Pisau
Rumah baru kami menghadap ke timur. Ketika pintu dibuka, setelah melewati pekarangan kecil
dan teras, cahaya matahari masih bisa menjalar ke lantai dalam rumah.
Suatu sore, seorang tak dikenal mendatangi saya. Tubuhnya padat, tinggi besar. Kulit hitam,
matanya memerah. Diam-diam saya perhatikan seluruh tangannya penuh tato. Tangan kiri tato
ular naga yang menggeliat ke arah pangkal lengan, sedangkan di tangan kanan bergambar
perempuan. Pipi kirinya, ada bekas luka sepanjang telunjuk, yang di pinggir-pinggirnya
direnda dengan tato menyerupai kelabang.
Saya amati tamu ini hati-hati. Berkumis tebal. Kancing baju bagian atasnya ternganga. Dadanya
bertato gunting menganga dan tengkorak kepala di tengahnya. Garis bibirnya yang tebal
melengkung ke bawah. Sangar sekali kesannya.
”Mau ketemu siapa?” tanya saya lunak, kurang nyaman.
”Baru pindah, ya!” terdengar suaranya berat, sedikit parau, tanpa ada senyum.
Dari mulutnya tercium bau alkohol.
”Iyya, ya saya baru pindah! Ada yang bisa saya bantu?”
”Di dapurmu ada berapa pisau?”
Pisau? Pertanyaan yang sangat tidak biasa. Saya merasa, ada sesuatu yang ganjil.
”Ada berapa, hei!” ia sedikit membentak karena melihat saya mengernyitkan kening
dan tidak segera menjawab.
”Ada dua. Pisau dapur biasa, Bang….”
”Kamu ingin pisau dapurmu bermanfaat bagi orang lain?” dengan kasar ia mengajukan
pertanyaan yang aneh dan bernada kasar. Rautnya bengis, garis bibir seperti menikam ke hulu
hati saya. Kami masih berdiri di teras, saling berhadapan. Di kepala saya mengira-ngira
seperti apa yang dimaksud ”pisau bermanfaat bagi orang lain” itu.
”Bagaimana?”
”Maksudnya?” saya ingin mencairkan keraguan saya.
”Bodoh! Mau atau tidak?” ia membentak. Saya kaget.
”Iyyya, iya. Mau?”
Setelah itu, saya, merasakan betapa sore ini hidup mulai tidak nyaman. Bagaimana seandainya
laki-laki sangar ini datang setiap sore, untuk pertanyaan yang sama.
”Mulai besok pagi, sekali setiap bulan pada tanggal yang sama, pisaumu letakkan di
dekat pintu pagar. Jangan lupa, masukkan dalam amplop uang Rp 10.000. Kalau tidak, berarti
kamu tidak ingin menjadikan pisaumu bermanfaat bagi orang lain…. Itu artinya cari
masalah!” katanya dengan raut muka yang tegang.
Saya menarik napas. Jantung saya bagai mengecil oleh remasan tatapan mata dan suaranya yang
berat. Saya tidak ingin banyak tanya soal meletakkan pisau dan uang dalam amplop besok pagi,
setiap bulan pada tanggal yang sama di dekat pintu pagar. Saya takut, pertanyaan yang salah
berakibat ”bencana” bagi saya dan keluarga.
”Saya bersedia, Bang!”
Ia menatap sembari mengangguk-angguk. Dengan sedikit terkekeh ia balik badan, pergi begitu
saja. Saya lepas ia dengan tatapan yang menyimpan rasa cemas. Tampaknya, ia orang paling
ditakuti di daerah kompleks kami ini.
Kemudian, di dalam saya mendapatkan istri sedang ketakutan di sudut kamar. Pucat membias di
wajahnya. Pasti tadi ia mengintip atau nguping dari dalam.
”Kita pindah saja. Salah-salah, orang itu bisa bunuh kita! Aku takut! Orang seperti dia
itu tidak takut polisi, tidak takut mati. Nekat!” Memelas suara istri saya. Saya
mencoba menenangkannya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu dengan kasar di luar. Saya dan istri terkejut. Si sangar
itu pasti.
Gedoran pintu terdengar makin kasar.
Ketika pintu saya buka, memang si sangar adanya. Dengan keramahan yang sangat berlebihan,
badan sedikit dibungkukkan, saya bertanya, ”Maaf, Bang, ada yang terlupa?”
”Istrimu, mana? Aku belum lihat!”
Oh! Pertanyaan yang mempertebal kecemasan saya.
”Lagi kurang sehat, Bang. Tiduran.”
”Suruh dia keluar!
”Tapi, Bang?”
”Panggil istrimu!” suaranya meninggi, membuat saya tergagap.
Dengan perut terasa mulas, saya masuk menemui istri di kamar. Tampaknya ia mendengar apa yang
diminta si sangar. Saya tatap istri yang mengerut saking cemasnya.
Akhirnya dengan menguatkan diri, saya tuntun istri menemui si sangar dalam keadaan pucat.
Tangan istri saya terasa dingin. Mungkin inilah hari paling mencekam dalam hidupnya. Di
hadapan si sangar, istri saya mencoba tersenyum. Bibirnya saya lihat seperti sedang beku.
”Ini istri saya, Bang….”
Si sangar tertawa terbahak-bahak.
”Cantik…, cantik juga istrimu,” katanya di sela sisa tawanya. Setelah
menatap istri saya beberapa jenak, ia terlihat cengengesan. Sebelum jauh melangkah dari
pagar, si sangar menoleh dan berkata, ”Istrimu cantik, tapi wajahnya pucat sekali,
ha-ha-ha….”
Matahari dari arah timur kembali mendatangi rumah saya. Saya meletakkan dua pisau dapur dan
sebuah amplop berisi uang Rp 10.000 di tempat yang ditunjukkan si sangar. Setelah itu, pintu
saya tutup. Diam-diam saya mengintip di balik gorden kamar depan yang sengaja tidak dibuka
lebar-lebar. Saya menunggu, kira-kira apa yang dilakukannya pada benda itu.
Akhirnya si sangar datang. Pintu pagar dibukanya, lalu masuk dan mengambil dua pisau serta
sebuah amplop. Pisau dimasukkannya ke dalam karung, amplop ke kantong celananya yang besar.
Saya amati, ternyata karung yang dibawanya itu terlihat berat sekali. Jangan-jangan itu semua
pisau beberapa warga kompleks?
Empat hari kemudian, pukul sebelas malam, pintu rumah terdengar digedor kasar. Pasti si
sangar itu. Istri saya yang sudah mulai terlayang tidur, terduduk dengan napas sesak.
”Jangan dibuka!” gemetar istri saya berkata.
”Nanti makin kasar!”
”Telepon polisi saja!”
”Biar kubuka saja!”
Saya setengah berlari ke ruang depan. Pintu dibukakan perlahan. Huffft! Ternyata si sangar
berdiri dengan seringaiannya yang tidak sedap dipandang. Saya lihat di tangannya ada dua
pisau, ya pisau kami. Tapi, pisau itu tampak mengilap di bawah sinar lampu teras. Mata pisau
pun terlihat lebih tajam. Pisau itu kini terlihat berada di masing-masing tangannya.
”Ada apa, Bang. Maaf, Bang, apa yang bisa saya bantu!”
”Pisau ini,” katanya sambil memperlihatkan kedua pisau di pegangannya.
”Sudah sangat tajam, kan? Berbeda dengan ketika kamu letakkan di dekat pagar empat
hari lalu. Kalau sebelum ke tanganku, pisau ini digorokkan ke leher kita, akan sangat
sakiiiit sekali. Pisau tumpul, dipakai menyembelih, termasuk menyembelih kambing atau ayam,
sama artinya sebuah penyiksaan,” ia berkata dengan sangat dingin.
Menyembelih! Kata-kata itu bermuara pada imajinasi paling buruk dalam kepala saya.
”Kalau setajam ini, rasa sakit disembelihnya tidak begitu menyiksa,
ha-ha-ha….”
Ia akan menyembelih. Siapa? Saya? Istri saya? Jangan. Jangan ya Tuhan. Lihatlah, pandangilah
saya saat ini, nyaris tidak mampu berdiri. Keringat dingin mengalir begitu deras dari
pori-pori saya yang melebar.
”Mmmaaf, Bang! Saya tidak tahu maksud, Abang….”
Ia terbahak. Kemudian, ”Kamu memang tidak perlu cepat mengerti,
ha-ha-ha-ha….”
Langit malam bertaburan bintang. Bermandikan cahaya. Rumah-rumah orang sudah tutup. Tak ada
suara siapa-siapa di kompleks ini kalau sudah lewat pukul 20.00. Sunyi.
”Pisau tajam ketika digunakan dengan baik, tidak menyakitkan! Termasuk, untuk melukai
kulit ini,” ia melayangkan segoresan garis dengan salah satu mata pisau di tangan
kanannya. Terlihat, darah meleleh kecil dari kulit bertato yang dilukainya sendiri.
”Darah manis, karena luka oleh mata pisau yang tajam, bagai dicubit
saja….”
Saya merasakan tenggorokkan ini menyempit. Tegang!
”Kamu mau mencoba betapa tajamnya pisau ini?”
Mungkin karena perasaan mencekam—yang saya bayangkan leher saya disembelih—saya
tiba-tiba terduduk. Kemudian seperti sujud di kaki si sangar, ”Bang, mohon Bang!
Jangan. Saya takut!”
Saya rasakan kuduk saya dipegangnya, dingin. Ya, Tuhan, ia akan menyembelih saya. Tapi, salah
saya apa? Sesaat kemudian, ia raba leher saya, kemudian dipegangnya lambat-lambat,
diangkatnya sehingga saya terduduk berhadapan dengannya.
”Berikan pisau ini ke istrimu,” ia menyerahkan dua pisau ke saya, kemudian
berdiri lalu balik badan dan pergi begitu saja.
Kami bangun agak kesiangan.
Saya membuka pintu depan, berharap matahari bisa menyemangati hati dan hari-hari kami. Semoga
semalam akhir dari kenyataan buruk.
Baru saja pintu dingangakan, di kursi teras terlihat si sangar duduk sambil merokok menghadap
ke jalan. Kaki kanannya menyilang di atas paha kiri. Santai sekali tampaknya.
Saya gelagapan.
Si sangar menyadari pintu terbuka, ia menoleh! Mata kami bersirobok pandang.
”Kesiangan, ya!” sapa si sangar, dengan seringaiannya.
”Eh, Abang. Apa kabar, Bang?”
”Duduklah sejenak!” Ia menunjuk kursi di sebelahnya, mempersilakan saya.
Sepertinya ia tuan rumah bagi saya di teras.
Saya pun duduk di kursi sebelahnya, berusaha tenang.
”Kamu tahu siapa saya?” tanyanya dengan suara datar.
Saya menggeleng.
”Saya baru setahun keluar penjara, membunuh orang. Kamu tahu bagaimana seorang mantan
pembunuh seperti saya ini hidup setelah menghirup udara bebas?”
Saya hanya diam.
”Dengan mengasah pisau!” terangnya.
Saya hanya melayani dengan tatapan mata. Sesekali mengangguk. Kalau dia tersenyum, saya ikuti
senyumnya. Kalau dia tertawa, saya cobakan tertawa sebisanya.
”Aku mahir mengasah pisau. Dan, dulu, musuh-musuhku kusayat sampai menjerit dengan
pisau yang tajam. Dan terakhir, kusembelih, mati. Dan aku pun dipenjara,” paparnya.
”Ketika dipenjara, aku berpikir tobat. Terbayang tanah keluarga yang luas, bisa kugarap
jadi ladang. Ternyata, oleh mereka, tanah dijual kemudian tahu-tahu aku hanya melihat
kompleks perumahan ini sudah ada. Karena keluarga dan saudara-saudaraku ingin aku baik,
sebidang tanah dan rumah kecil dibangunkan untukku dan keluarga. Karena ingin hidup normal,
aku perlu uang untuk kebutuhan hari-hari. Uang dari keringat sendiri. Aku tidak punya
keterampilan kecuali mengasah pisau, golok atau merampok dan membunuh,” suaranya agak
lunak.
”Aku ingin anak dan istriku hidup tenang. Karena itulah, setiap rumah di kompleks ini,
yang jumlahnya lebih seratus rumah, harus mengasah pisaunya sekali sebulan denganku.
Bayarannya Rp 10.000. Kalau tidak mau, orang itu sama artinya menyuruhku ke penjara
lagi….”
Saya mencoba belajar memahaminya. Saya mulai tahu caranya yang aneh dan kasar karena tuntutan
hidup. Kalau seratus rumah wajib mengasahkan pisau kepadanya berarti ia bergaji minimal Rp
1.000.000 sebulan. Tapi, apakah ia tahu, bahwa harga pisau dapur kadang tidak sampai Rp
10.000. Lagi pula bukankah ini pemaksaan. Jangan-jangan ini teori marketing si sangar.
”Pisau tajam itu penting kita miliki. Istrimu, sebagai ibu rumah tangga, misalnya.
Memotong sayur, kalau pisaunya tajam, tentu sayur tidak merasa sakit ketika dipotong atau
disayat-sayat. Kacang panjang, buncis, kangkung, wortel, ketimun, ketika dipotong
menggunakan pisau tajam, ia mungkin akan tersenyum. Karena tidak menyakitkan baginya. Begitu
juga kentang, bawang, dan sebagainya. Dalam hal ini, kasih sayang perlu dimiliki oleh pisau.
Bentuknya dengan menyiapkan mata pisau yang tajam. Iya, toh?”
Saya cepat mengangguk.
”Begitu juga memperlakukan ikan, menyembelih ayam, kalau dengan pisau yang tajam, akan
lebih baik. Terasa lebih penyayang. Kita yang menggunakannya, juga enak. Paham, kan?”
Ia menerangkan alasan-alasan yang mendukung pekerjaannya. Mengasah pisau? Pekerjaan yang
aneh. Jika orang kompleks tidak ada yang menantang, yah barangkali saja Rp 10.000 per bulan
tidak terlalu memberatkan jika dibanding teror yang nanti diakibatkan penolakan kesediaan
mengasah pisau.
”Terima kasih. Kamu telah mendengarkan aku. Percayalah, tidak ada yang berani
mengganggumu. Jika ada orang yang mengganggumu, katakan padaku. Dan anak buahku, atau bisa
jadi pisaumulah yang akan kupakai menyelesaikannya,” kata si sangar sambil
melintangkan telunjuknya di tengah lehernya.
Dia berdiri, saya pun ikut berdiri. Menjelang sampai di pintu pagar, ia merangkul bahu saya
dengan hangat. Saya mulai merasakan ia mencoba ramah dan bersahabat. Ia seakan mulai
menganggap saya pelanggan bulanannya yang harus dijaga.
”Kamu telah membantu saya. Saya terima uangmu tidak dengan berpangku tangan, tetapi
menjual jasa keterampilan mengasah pisau. Itu artinya, kamu bersama warga kompleks ini
bersama-sama menutup pintu kejahatan bagiku. Iya, kan?”
Saya mengangguk, ”Benar, Bang!”
”Itu artinya, kalau kamu tidak lagi berminat mengasahkan pisau kepadaku,” ia
berhenti sejenak, mempererat rangkulannya. Saya rasakan ketiaknya melekat di bahu, dan
lipatan sikunya mengetat di leher saya. Kemudian ia lanjut kalimatnya dengan suara yang
berat dan perlahan, ”Itu artinya kamu siap saya sembelih….”
Saya yang sedikit mulai nyaman oleh rangkulan awalnya, kembali mengalami gaduh yang tak
terlukiskan cemasnya di dalam hati. Ia kemudian melepaskan rangkulannya, melangkah dengan
lebih dulu menoleh ke saya di balik pagar, sembari berkata, ”Ingat, rezekiku ada pada
pisaumu. Juga nyawamu!”
Sejak saat itu, saya sering berkhayal membunuhnya!
Padang, 20 Juni 2004
Audiobook
Ajaran Kehidupan Seorang Nenek
Jauh-jauh aku datang, dimulai hari pertama aku sudah mendapat kekecewaan.
Ibu tidur di kamar Puspa, tapi tidak boleh menggendong dia,” kata anak sulungku.
“Kalau dia terbangun dan menangis?”
“Biarkan saja! Anakku tidak kubiasakan digendong.”
Seolah-olah dia tidak yakin bahwa aku mengerti kata-katanya, anakku mengulangi, nada suaranya
terkesan mengancam,
“Betul lho, Bu! Jangan sampai begitu Ibu pulang, aku direpoti anak manja dan terlalu
minta diperhatikan!”
Barangkali karena kaget, aku terdiam. Bayangkan! Hanya ibuku yang seharusnya berhak berbicara
dalam nada seperti itu kepadaku. Aku tersinggung. Semakin umur bertambah, sakit hati semakin
sering kualami.
Aku direktris suatu rantai usaha swadaya yang boleh dikatakan sukses. Semua karyawan di
tempatku hormat kepada, berbicara nyaris kuanggap berlebihan terlalu sopan bagiku. Di
saat-saat mengunjungi perusahaan atau kantor lain, orang-orang menerimaku dengan sikap dan
pandang ering 1) yang acapkali membuat aku merasa risi sendiri. Meskipun aku tahu pasti
bahwa kelakuan mereka itu didasari pengakuan terhadap kenyataan yang tidak bisa dibantah.
Karena selain disebabkan oleh kedudukanku, upayaku pengembanan usaha kami ke lain daerah
yang berhasil, lebih-lebih sebagai perempuan aku mampu mengendalikan serta mempertahankan
kesuksesan wiraswasta yang ditinggalkan ayahku. Walaupun benar itu “hanya”
berupa warisan. Tapi, itu jatuh ke tanganku tidak secara otomatis, dengan cuma-cuma. Aku
harus melewati tes di antara empat saudara kandungku.
Dalam sebuah dongeng diceritakan bahwa raja di suatu negeri tidak dapat memutuskan kepada
siapa pun dia akan menyerahkan takhtanya. Dia mempunyai empat anak, putra dan putri.
Masing-masing berpenampilan cakap, dan sepintas lalu kelihatan berperilaku baik. Namun, sang
raja tidak yakin bahwa putra sulungnya yang suka berpesta akan memerintah secara adil
sehingga rakyat akan bahagia. Begitu pula dengan putra keduanya. Walaupun pandai berulah
senjata, namun kebiasaannya mabuk-mabukan dan berjudi merupakan ancaman besar bagi
kelangsungan pemerintahan yang harus didasari kejernihan pikiran dan hati tenang. Anak yang
ketiga dan keempat adalah perempuan. Paras cantik, kelakuan lembut, mumpuni dalam mengatur
urusan rumah tangga ataupun penerimaan tamu. Keduanya juga sudah diajari dasar-dasar
mempergunakan senjata seperlunya sehingga jika bahaya datang, mereka tahu mempertahankan
diri atau keraton bahkan kerajaan.
Pendek kata, sang raja kebingungan memilih satu di antara empat anak tersebut. Maka agar
tidak menimbulkan kecemburuan, ayah itu menyuruh anak-anaknya mengembara selama kurun waktu
tertentu. Selain mereka harus mendapatkan pasangan masing-masing, juga harus pulang membawa
tambahan pengetahuan yang bisa digunakan untuk masyarakatnya.
Ayah kami bukan seorang raja, ibuku bukan keturunan bangsawan. Tapi mereka telah membangun
satu usaha kecil dari cucuran keringatnya. Sebagai modal, ayahku tidak berutang atau
meminjam, melainkan menjual sepedanya. Dari memotong, menjahit dan menjual sendiri
sandal-sandal hasil buatannya dari pintu ke pintu calon pembeli, sampai kemudian mempunyai
toko. Lalu ibuku menambahkan membikin tas-tas bagor dan aneka anyaman dari bahan alami yang
dikeringkan. Selang beberapa waktu, kombinasi dibuat untuk memanfaatkan limbah kulit asli
atau sintetis.
Ketika akan menambah karyawan, aku baru lulus sekolah menengah atas. Kukatakan, mengapa tidak
mempekerjakan orang-orang sekampung saja di rumah mereka masing-masing. Mereka diberi bahan
sebagai pinjaman. Jika hasilnya bagus, kami beli. Setelah diperbaiki atau disempurnakan guna
menjaga mutu dan nama baik, kami jual di toko. Itulah asal mula mengapa di kawasan tempat
kami tinggal, sekarang terdapat begitu banyak pengrajin sandal, sepatu, dan tas yang terbuat
dari aneka bahan. Beberapa tetangga bahkan mencoba pula mendirikan toko. Tapi hingga
sekarang, hanya produk kami yang berhasil memiliki tingkat penjualan memadai, bahkan
melayani pesanan dari luar negeri.
Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku masih duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir.
Kuliahnya terhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua perempuan lebih berhasil
menjadi penjual makanan matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah selesai shalat asar,
setiap sore dia menyorong gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik
lagi sambil mengusung dadangan bersama istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak
mereka bersekolah di akademi akuntansi dan informatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA.
Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus SMP, bekerja di bengkel. Bisa dikatakan
hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang disewakan sebagai angkutan.
Kadang terdengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya. Tapi di depan keluarga, dia
tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya.
Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan
limbah apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan.
Ketika duduk di taman kanak-kanak, aku memberikan sebuah bantalan tempat mencocok jarum
berbentuk ikan kepada ibuku. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang, benda
tersebut masih digunakan, mendapat tempat di kotak jahitan ibu kami. Untuk seterusnya,
sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan kuliah dan menggondol gelar sarjana
ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan pencapaian gelarku tersebut. Apa
lagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian ijazah ataupun gelar.
Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru Tanah Air
untuk mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan ataupun kerja sama di bidang niaga
kerajinan. Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana
tujuan kami. Setiap hari Kamis harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari
kami yang dianggap paling berhasil akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir
pengrajinnya sekalian.
Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau
teman bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan
kakakku perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung berkata akan
ke Bandar Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya
diriku yang bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul. Bekas teman-teman
sekolah atau kuliah tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota, tidak
kuketahui di mana mereka lainnya menetap.
Setelah berpuasa dan berdoa menuruti ajaran orangtua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orangtuaku
hanya diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya.
Di waktu itu, pariwisata baru sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali
dibikin aneka kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya jika kami kirim pula
hasil dari Bantul. Siapa tahu dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra
sejajar yang bisa diajak bekerja sama dalam hal pemasaran produk kami.
Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian
bersama seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat mengirim ratusan mungkin ribuan benda
dagangan ke berbagai kios dan toko di Pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud.
Setelah masa tunangan beberapa bulan, aku dinikahi seorang anak pemilik sebuah restoran di
Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat menjadi anak oleh seorang pegawai rumah makan
itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan upacara Hindu Bali.
Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelombang dan
alun yang melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantakkan ketegaranku. Aku mensyukuri
“kebebasan” ibuku sebagai perempuan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian,
namun tidak membosankan. Yang dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak
terlalu mengekang atau menyita waktu.
Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku
hampir kehabisan napas karena kekurangan waktu ataupun ruang gerak. Semua serba upacara.
Semua serba penyiapan sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serba-neka
ajaran menganyam serta mendekor sesaji. Tapi, aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk
melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebih-lebih datang dari mertuaku perempuan. Dia
menginginkan aku mengganti kedudukannya kelak sebagai tetua wanita dalam keluarga. Padahal
ada dua menantu perempuan lain. Semua impitan keharusan untuk melaksanakan upacara itu
membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu bongkahan yang
mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang di ambang
stres. Lalu kuputuskan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan keutuhan kepribadianku
sendiri.
Aku purik 2). Satu anak perempuan yang sudah sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi
kubawa. Satu bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang ke rumah tanggaku.
Akhirnya, suami menjemput dan berkata bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku untuk kurang
berperan sebagai penyelenggara aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan bahwa tidak
ada gunanya sekolahku bertahun-tahun jika akhirnya harus hanya mengurusi upacara-upacara
yang sebenarnya dapat diserahkan kepada orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual
tersebut! Waktuku memang untuk keluarga, namun aku juga mempunyai tanggung jawab perusahaan
yang di masa itu sudah diserahkan total kepadaku oleh orangtua dan kakak-kakakku. Setiap
akhir tahun, mereka tinggal menerima bagian keuntungannya saja.
Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika didengar. Tapi bagi yang menjalani, merupakan
tahun-tahun penuh tekanan. Sebab, yang disebut upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari
setiap saat. Sedangkan perempuan adalah tiang utama bagi pelaksanaan tradisi karena
merekalah yang menyiapkan serba uborampe 2)-nya.
Kini di usia yang mendekati enam puluh tahun, aku mendapat ajaran lain, yaitu bagaimana
mengendalikan perasaan sebagai seorang nenek. Aku tidak dihadapkan kepada cucuku, melainkan
kepada ibu si cucu itu. Anak terkejut. Mentalku tidak siap untuk itu. Di sekolah dan
perguruan tinggi aku tidak pernah mendapat pelajaran bagaimana menjadi seorang nenek.
Anak sulungku yang biasanya tidak membantah atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya, kini
setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela
jari tanganku. Sewaktu dia melahirkan, aku diminta datang untuk menemani di klinik, lalu
mendampingi sebagai ibu baru di rumahnya. Karena suaminya orang Jawa, selamatan yang
kujalankan adalah brokohan. Secara sederhana, kami mengirim nasi beserta sayuran bumbu urap
3) dengan kerupuk dan gereh 4) layur ke lingkungan tetangga maupun teman dekat.
Selama selapan 5) bisa dikatakan beberapa kali aku mondar-mandir memantau keadaan anakku dan
bayinya. Tak tersirat gejala-gejala kepemilikannya yang ekstrem mengenai anaknya. Tiga bulan
kemudian mereka berangkat ke Australia di mana si suami akan meneruskan belajar. Di waktu
itu pun, belum terlihat tanda-tanda “kebengisan” anak sulungku terhadapku.
Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama tidak
menggendong atau menimang bahkan memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya.
Apalagi cucuku sendiri, manusia mungil yang keluar dari rongga perut anakku perempuan yang
dulu pada waktunya juga keluar dari badanku.
Keesokan hari dari kedatanganku, setelah mendapat berbagai indoktrinasi mengenai aturan dalam
rumahnya, aku mendapat teguran lagi,
“Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu, Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah
memandikan! Biar sekarang kutangani….” dengan gerakan setengah merebut, anakku
mendesakku ke samping.
Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi barang-barang, ke kamar mandi akan membuang air
dari wadah.
“Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu tidak tahu tempat
benda-benda…!” dari jauh anakku berseru menggangguku dengan
“perintah”-nya.
Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut kain
handuk dari tanganku, aku setengah memaksa mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi usia
delapan bulan sudah diberi makanan agak ketat. Tidak seperti ibunya yang dulu kuberi makan
pisang dicampur nasi lembek, cucuku diberi makanan spesial untuk bayi yang dijual di
toko-toko tertentu.
“Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan sembarangan menyuapinya! Nanti dia
tersedak!”
Nyaris kujawab: aku suda berpengalaman menyuap bayi-bayi lain, termasuk kamu. Tapi aku
berhasil mendinginkan kuping, berusaha mengabaikan si ibu sekaligus anak yang maunya sok
paling tahu itu. Selesai memberi makan, ketika ibunya mandi, kumanfaatkan waktu bersama
cucuku sebaik mungkin. Untuk mengeluarkan udara dari perutnya, dia kudekap ke arah bahu
dalam posisi tegak. Aku berjalan ke sana kemari, singgah ke depan jendela besar yang
memantulkan bayangan kami berdua di kacanya. Walaupun yang tampak hanya bayangan punggung si
bayi dan wajahku, aku puas melihat diriku memeluk cucu. Kuajak dia berbicara, kuayun-ayunkan
tubuhku. Dan sewaktu sendawa sudah keluar, kugendong dia dengan cara semestinya, melekat di
dada menghadap ke depan sambil kami berpandangan. Aku terus mengucapkan kata-kata apa saja
agar dia mendengar suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku ingin bersahabat dengan dia.
Karena menerima sambutan anakku yang tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat
kunjunganku. Di saat aku sedang menimbang-nimbang keputusanku, adikku menelepon memberi tahu
bahwa ibu kami masuk rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya selama sebulan ibu harus
diopname. Jadi aku akan segera pulang.
Barangkali memang harus demikian. Setiap orangtua menganggap dirinya yang paling tahu, yang
paling “kuasa” menentukan segalanya, padahal kenyataannya masih ada yang lebih
kuasa lagi, yaitu Tuhan. Jika sekarang anakku mengira dia berhak melarangku berbuat sesuatu
terhadap anaknya, cucuku, mungkin dia benar. Lingkungannya telah menempanya bersikap begitu.
Aku hanya seorang nenek, sedangkan dia adalah ibu bagi anaknya.
Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku
lainnya. Untuk kesekian kalinya kunyatakan bahwa belajar tidak ada batasan waktu dan usia.
Sendowo, Januari 2005
1) segan
2) istri pulang ke rumah orangtua, tidak mau kembali sebelum suami datang dan berunding
hingga mencapai satu kesepakatan.
3) pernik-pernik keperluan
4) ikan asing
5) 40 hari
Audiobook
Hari Baik
Pendeta itu ringkih dan renta, jalannya perlahan, terbungkuk-bungkuk, kadang beberapa langkah
ia berhenti mengatur napas, mempererat genggaman tongkatnya agar tumpuan lebih kuat, sebelum
tubuh sanggup berayun lagi ke depan. Sekujur kulitnya keriput, tapi matanya bercahaya,
wajahnya berwibawa. Jika ia datang di tempat upacara dan orang tergopoh-gopoh memapahnya, ia
selalu menolak dengan menggerak- gerakkan kepala sembari tersenyum. Orang-orang pun berhenti
terpaku mencakupkan kedua tangan di depan dada, kadang ada yang bersimpuh mencium lututnya,
menyerahkan hormat dengan takjub. Pendeta kemudian mengusap-usap kepala orang itu, begitu
sejuk menyiram ubun-ubun.
Saat ini pendeta akan merestui sepasang pengantin. Seperti biasa ia akan melantunkan mantra-
mantra, dengan api, dupa, tirta. Tangannya yang kurus akan menggoyang-goyang genta,
memberkati sepasang anak manusia agar hidup bahagia, segera beranak pinak, dilimpahi rezeki,
dijauhkan dari cekcok dan malapetaka. Dengan sisa- sisa tenaga renta, ia menaiki tangga
menuju pamiosan, bangunan bambu dengan balai- balai setinggi hampir dua meter, dibangun
khusus bagi pendeta yang siap memuja. Beberapa orang dari keluarga pengantin wanita cemas
menyaksikan pendeta itu tertatih-tatih mendaki tangga.
“Tidak adakah pendeta lebih muda di desa ini?” tanya seorang di antara mereka.
Tetapi bagi orang-orang di desa asal pengantin pria, itu pemandangan biasa. “Orang
merasa lebih mantap dan terhormat jika upacara dituntun pendeta ini. Kami selalu terkesan
oleh cahaya mata dan wibawanya,” sahut seorang keluarga pengantin pria.
Begitu pujian itu berakhir, suara berdebam terdengar dari pamiosan. Pendeta itu tergelincir
di tangga bambu, terjerembab. Tubuhnya meliuk ke kanan sebelum ia sempat menggapai tiang
bambu pamiosan. Bangunan itu bergetar. Atapnya yang terbuat dari alang-alang dengan secarik
kain kasa putih melambangkan kesucian jagat raya sempat oleng, bergoyang- goyang sesaat
menahan tubuh pendeta ringkih itu.
Sang pendeta terpelanting, terguling, disertai jeritan puluhan orang yang hadir hendak
menyaksikan upacara perkawinan di rumah itu. Ia terkapar, terlentang di atas rumput hijau
yang kemarin dipangkas rapi. Orang-orang panik merubungnya, memegangi tubuhnya yang terbujur
kaku. Mereka yang tadi ngobrol sembari tertawa- tawa berderai langsung terdiam bingung.
Mereka mengangkat tubuh pendeta itu, segera melarikannya ke rumah sakit. Rumah yang semula
memancarkan kemeriahan dan kebahagiaan itu sontak berubah keruh dirubung kekalutan.
Pengantin itu saling pandang. Wajah yang berseri mendadak linglung, merasakan peristiwa itu
seperti mimpi. Mereka termangu di antara hamparan sesaji suci dan meriah. Pakaian gemerlap
oleh warna emas prada yang mereka kenakan tak ada artinya ketika dua jam kemudian berita
duka dahsyat disampaikan: orang suci renta itu meninggal di rumah sakit. Apa guna menunggu?
Pernikahan itu memilukan, terancam batal. Suasana mencekam.
Ayah pengantin wanita mendatangi anaknya yang termenung lesu di bawah pohon belimbing,
menggamit tangannya. “Kita pulang saja, Nak!” rajuk lelaki itu. Tapi wanita itu
terpaku, terisak, memandang hampa calon suaminya yang nelangsa di bawah pohon jambu depan
dapur.
Dengan langkah gontai, ayah pengantin wanita mendatangi calon besannya. “Tak ada lagi
yang bisa kita lakukan. Anak akan saya bawa pulang.”
Si besan terkejut. “Mari kita bicarakan nasib ini dengan tenang. Permintaan saya,
jangan batalkan perkawinan.”
“Tak akan ada perkawinan tanpa pendeta.”
“Sedang kami usahakan mencari pendeta pengganti.”
“Siapa sudi jadi pendeta pengganti sore begini? Dua jam lagi malam.”
“Lalu, apa yang bisa kita lakukan?”
“Batalkan perkawinan hari ini. Kita mulai semua dari awal.”
Mulai dari awal artinya harus datang lagi ke rumah pendeta yang baru. Membawa sesaji lagi,
memohon hari baik lagi. Itu belum cukup. Harus dijelaskan dengan jujur mengapa upacara
perkawinan diulang. Tak ada gunanya berbohong, tidak karena sungguh terkutuk berdusta pada
orang suci, tapi siapa pun, semua pendeta, pasti tahu bencana di rumah itu. Ya, rumah sial,
tempat seorang pendeta ditimpa malapetaka.
Si besan termangu. Sesaji suci meriah dan sangat mahal itu, makanan-makanan enak untuk
tamu-tamu adat, harus dibuang. Alangkah besar biaya dibutuhkan untuk membuat sesaji baru,
harus melibatkan puluhan orang, berhari-hari. Dan ke mana harus disembunyikan muka ini dari
rasa malu dan sesal? Tiba-tiba ia merasa dirinya dicabik nasib dan dibanting-banting.
Ayah pengantin wanita susah payah menenangkan anaknya yang terus tersedu. Dia tuntun wanita
ayu itu melintasi halaman. Di bawah pohon jambu, calon pengantin laki merunduk, matanya
basah. Dengan telapak tangan, ia pukul berkali-kali jidatnya yang berpeluh. Tak ia lihat
sang kekasih melangkah gontai, berkali-kali menoleh sendu ke arahnya, memanggil dengan
lambaian terkulai.
Di pintu gerbang, ayah pengantin laki masih mencoba menahan keberangkatan itu. “Apa tak
sebaiknya kita rembukkan sekarang, mencari hari baik lain?”
“Hyang Widhi melarang kita bicara perkawinan hari ini, detik ini. Sebaiknya kita diam
saja!” ujar ayah pengantin wanita setengah menghardik. Diikuti sanak saudara, ia
bergegas meninggalkan gerbang, langsung masuk mobil, membanting pintu dengan sengit. Di
sebelahnya duduk calon mempelai wanita itu, merunduk pilu, berurai air mata.
Berminggu-minggu, berbulan-bulan, berbilang tahun, hari baik itu tak pernah disepakati. Dua
keluarga itu tak kunjung bersetuju. Di antara mereka kecocokan menjadi sangat mahal. Para
orang tua, sepuh, turun tangan, yang justru membuat masalah jadi semakin rumit berbelit.
Bagi mereka, sial itu terjadi karena kesalahan memilih hari baik.
“Bukankah hari baik itu telah direstui pendeta?” bela keluarga laki.
“Pendeta tak selamanya benar. Kita harus kritis pada siapa pun, termasuk pada orang
suci,” sergah keluarga wanita.
Dalam setiap pertemuan, dua keluarga itu selalu mengambinghitamkan hari. Karena itu, hari
baik menjadi mahapenting, menjadi tujuan, harus ditilik seteliti mungkin. Masing-masing
menunjukkan kebolehan, mengaku mahir tentang hari baik pernikahan, mengaku jago setelah
membaca berpuluh lontar. Tulisan-tulisan, cerita, dongeng, yang terukir di daun-daun lontar
itu dijadikan acuan. Mereka berdebat, bersilat lidah, mencoba sekuat tenaga menjatuhkan
pendapat lawan bicara. Tak seorang pun sudi menyerah, mengaku kalah. Aneh, tak ada yang
menggubris betapa sedih dan galau sepasang calon pengantin itu menunggu keputusan yang tak
kunjung datang.
“Sekarang sesungguhnya hari baik untuk melangsungkan upacara pernikahan. Ini sudah kami
sampaikan sebulan lalu dalam pertemuan kita yang ke delapan belas,” ujar seorang dari
keluarga laki-laki.
Hampir serentak keluarga perempuan geleng-geleng kepala. “Sekarang Sukra Kliwon
Watugunung, hari Jumat, bulan Agustus, sasih Karo, saat baik buat ngaben, hari baik membakar
jenazah, upacara untuk orang mati,” tangkis keluarga wanita. “Ada di antara kita
mau mati? Inilah saat paling pas. Pintu surga terbuka lebar bagi yang sudi mati hari
ini,” tambahnya dengan mencibir. “Aneh, hari baik untuk mati kok dijungkir balik
jadi hari baik untuk nikah.”
Keluarga laki-laki menghela napas, terhina. Satu per satu mereka meninggalkan pertemuan itu
tanpa pamit. Buntu. Berbarengan dengan kebuntuan itu, sepasang calon pengantin itu juga
sedang bertemu. Mereka menganggap itu pertemuan mahapenting, sebuah revolusi untuk
menyelesaikan kemelut. Mereka duduk di puncak tebing menghadap matahari yang sebentar lagi
tenggelam. Nun di bawah sana, hampir dua kali lima puluh meter, batu cadas terserak menjadi
tonjolan- tonjolan seperti bukit kecil. Biru laut semakin kelam, sebentar lagi berubah merah
membara. Dari atas tebing itu, buih gelombang tampak sangat ganas menghantam karang seperti
slow motion lambaian peri laut yang memanggil-manggil. Gerak abadi yang tak pernah
menjemukan. Sepasang kekasih yang dirundung sial itu tengah bersiap diri masuk ke pintu
gerak abadi itu.
“Dikau yakin ini hari baik untuk mati?” tanya si lelaki.
Wanita itu mengangguk. “Kutahu dari kakek yang sering mendongeng untukku. Kata kakek,
Sukra Kliwon Watugunung, sasih Karo, hari terindah untuk mati.”
Si lelaki terkekeh. “Dongeng kata dikau! Kita jangan mati demi dongeng,
sayang…!”
“Tapi hari baik untuk mati seperti ini hanya terulang sepuluh tahun sekali.”
“O ya?”
Si wanita melilitkan kain putih di pinggang kekasihnya. Kain panjang itu ia lilitkan jua ke
tubuhnya sehingga raga mereka menyatu. Tak ada lagi busana lain. Mereka menyatu telanjang
dalam balutan kain kasa. Mereka bisa saling merasakan detak jantung, kehangatan, juga
kesejukan. Ujung kain mereka genggam bersama.
“Ini penyatuan abadi, kekasihku,” ujar wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
“Ah, dikau sudah berjanji tidak akan menangis. Teringat yang akan dikau
tinggalkan?”
Wanita itu menggeleng. “Daku terharu, kita sangat bersetia. Kita tengah menuju gerbang
kebahagiaan sejati yang abadi.”
Si lelaki kembali terkekeh. “Daku suka dikau yang selalu gombal kalau lagi
bersedih.”
Sedikit lagi matahari tenggelam. Semak-semak akan menjadi onggokan-onggokan hitam. Bangunan
pura kecil di sebelah sepasang kekasih itu berdiri, segera kelam. Dulu, di abad ke-11, pura
itu tempat seorang maharesi dikucilkan karena menentang raja. Ia menyepi ke ujung karang
mendongak ke laut itu untuk bertapa. Ia moksa di sana, konon, tanpa meninggalkan jasad. Tapi
ada yang berkomentar, jangan- jangan maharesi itu terjun ke laut nun di bawah sana. Pura itu
kemudian menjadi simbol menentang kekuasaan dan kemapanan. Banyak mahasiswa yang hendak
berdemonstrasi sembahyang di tempat suci itu, mohon restu agar terhindar dari kekerasan.
Laki-laki itu mengelus-elus pinggul kekasihnya, merapatkan tubuhnya untuk menikmati tumbukan
kenyal payudara wanita itu.
“Peluk daku,” pinta si wanita.
“Ah, sejak tadi kupeluk dikau.”
“Lebih erat lagi. Ciummm…!”
Angin berembus kencang, sedikit lagi matahari tenggelam. Mereka menggerakkan kaki ke bibir
tebing, menatap nun di bawah sana buih ombak semakin kelam menghantam karang. Warna
permukaan laut kian membara oleh cahaya matahari senja. Kaki mereka bergeser terus,
pelan-pelan, bersama. Dua tubuh telanjang yang menjadi satu oleh belitan kain putih itu
semakin ke tepi tebing. Hening.
“Yakin kita tak meninggalkan jejak?” tanya si wanita.
“Tak ada sama sekali. Tak akan seorang pun tahu selamanya di mana kita berada. Pakaian,
tas, sudah kulempar ke laut.”
“Kalau begitu, mari…!”
“Ayo…!”
Mereka meloncat melewati bibir tebing, meluncur ke bawah, cuma butuh sekian detik menempuh
hampir dua kali lima puluh meter. Rambut wanita yang panjang itu berjurai-jurai ke atas,
beberapa helai menutup mata dan telinganya.
“Peluk terus daku, sayang! Jangan lepaskan!”
“Kita moksa, kekasihku,” bisik si lelaki.
“Ciummm…!”
Ujung kain kasa putih yang melilit mereka berkibar-kibar didera angin laut. Sepersekian detik
mereka mempererat pelukan, mengumpulkan kehangatan, melupakan semuanya. Hanya ada kekasih,
penyerahan, dan penyatuan. Jantung berdegup kencang, otot dan tulang berderak-derak. Semua
melayang terbang, seperti perjalanan ke ruang angkasa, menjelajah waktu luar biasa jauh,
tanpa batas.
Tiba-tiba dingin tak terkatakan. Detik itu matahari sepenuhnya tenggelam. Betapa indah langit
cerah bulan Agustus yang menyisakan semburat jingga di barat. Membuat siapa pun yang
menyaksikan pesona itu tak hendak beranjak sebelum berakhir.
Raga sepasang calon pengantin itu terempas deras di atas karang, tetap berciuman, sebelum
tangan ombak memeluk dan menggulung-gulungnya, membopong jasad itu ke tengah samudra. Tak
tampak sedikit pun bekasnya. Tidak tersisa. Moksa.
Jimbaran, Juli 2003
Audiobook
Gadis Kecil dan Perempuan yang Terluka
Aku terjaga lagi, Bunda, tubuhku terasa sangat dingin seperti patung marmer putih yang
senantiasa Bunda cuci dengan hati-hati. Lantai yang biasanya dingin, malah menjalarkan rasa
hangat. Aku menuju jendela besar, memandang keluar. Hanya tinggal satu lampu taman yang
menyala di halaman, itu pun mengerjap seperti napas orang yang hampir mati. Malam seperti
tersengal. Pepohonan di halaman dan gorden jendela seperti lelah. Rumput setinggi mata kaki
tampak bergelombang. Sepertinya ada tubuh dari langit yang turun malam ini, bergulung di
halaman itu. Lalu sebelum ia pergi, disempatkannya mengecup keningku, merayapkan dingin yang
membuatku terbangun.
Aku kembali menuju tempat tidur setelah menutup merapikan gorden tersingkap. memeriksa lagi
PR matematikku remang lampu halaman mengerjap lewat lubang ventilasi. Tidak berani
kunyalakan lampu. Gelap, menurut banyak anak adalah dunia hantu. Tapi bagiku, gelaplah
menyelamatkanku dari ketakutan. merasa nyaman dalam gelap. Aku seperti seekor cicak yang
selalu diburu kakakku dengan pistol mainannya dan masuk di sela-sela perabot. selamat. Cicak
itu dilindungi
Kenapa makhluk itu selalu mendatangiku ketika pagi harinya aku harus berhadapan dengan Bu
Berta, Bunda? Ketika aku harus menunduk dan takut menatap matanya yang tajam dari balik
kacamata bertangkai warna emas itu? Ketika aku kemudian tak bisa menjawab seluruh
pertanyaannya. Aku menyusul teman-temanku yang lebih dulu menangis tersedu. Dan jika aku
tidak bisa menjawabnya, maka aku pasti akan dibandingkan dengan kedua kakakku yang pernah
sekolah di sana.
Pasti aku akan tetap terjaga sampai kemudian kudengar Yu Senik mengucurkan keran dari dapur.
Sampai kemudian aku dengar seret langkahmu menuju ke kamarku, membukanya pelan, mencium
keningku sambil membisikkan ucapan selamat pagi dan memintaku untuk bangun, segera bersiap
ke sekolah. Aku pura-pura bangun dari tidur, mandi, sarapan bersama kedua kakakku yang riang
dan segar. Aku akan terus-menerus dirundung galau sampai ketika di dalam kelas kudengar
langkah sepatu tegas dari Bu Berta. Langkah yang membuat kami semua takut. Langkah yang
membuat banyak orang kemudian menangis. Langkah yang pada akhirnya tetap memaksaku ikut juga
menangis sekalipun telah banyak pertanyaan yang kujawab. Langkah yang jauh lebih menakutkan
dibanding ketika aku harus memimpin lagu untuk menaikkan upacara bendera di Senin pagi.
Kenapa makhluk itu tidak datang ketika malam minggu, Bunda? Ketika esoknya aku bisa berdandan
dengan pakaian dan pita rambut kesukaanku? Ketika aku dengan senyum girang belajar menyanyi
di sekolah Minggu pagi? Mengapa ia tidak datang di malam seperti itu? Biar kemudian aku bisa
menceritakannya kepada Bu Marta yang bersuara merdu itu, yang selalu sabar bertanya ketika
ada wajah sedih anak didiknya, dan lalu kami diajari untuk membuka al-Kitab untuk menemukan
ketenteraman di sana?
Siapakah makhluk yang selalu datang itu, Bunda? Apakah ia Ayah? Apakah ia bidadari di
televisi yang selalu menolong anak kecil jika sedih? Tapi kenapa jika ia Ayah, aku tidak
merasakan geli kumisnya, dan suaranya yang parau mengeluarkan bau rokok dari dalam mulutnya?
Kenapa jika ia bidadari tidak pernah berusaha menolongku dari kegalakan Bu Berta tapi malah
membuatku tidak bisa tidur?
Atau jangan-jangan ia hantu, Bunda? Tapi kalau hantu, seharusnya ia tidak mendatangiku.
Bukankah aku sudah melakukan semua kata Bu Marta? Aku sudah berdoa kepada Tuhan sebelum
tidur, seusai belajar. Bahkan aku selalu meletakkan rosario di samping kepalaku seperti yang
dilakukan oleh banyak orang di film-film. Apakah aku seorang anak yang tidak baik? Aku
mungkin agak jahat, Bunda… aku pernah berdoa agar Bu Berta suatu saat kecelakaan
sehingga tidak ada lagi yang membuatku takut untuk pergi ke sekolah. Tapi teman-temanku yang
lain berdoa lebih jahat pada Bu Berta, mereka banyak yang berdoa supaya Bu Berta lekas mati.
Aku hanya berdoa supaya Bu Berta kecelakaan dan itu pun jangan terlalu parah asalkan Bu
Berta bisa dipindah atau tidak mengajar di kelasku lagi.
Aku hanya berdoa jahat untuk satu orang. Perempuan yang membawa Ayah pergi. Hanya itu, Bunda.
Dan bukankah kedua kakakku juga berdoa hal yang sama, sekalipun Bunda selalu berpesan agar
kami tidak boleh membenci Ayah dan perempuan itu? Tapi kenapa hanya aku, Bunda? Kenapa?
Apakah ia tidak suka padaku? Kenapa ia tidak suka padaku?
Apakah makhluk itu tidak suka pada gadis kecil yang suka memberikan seluruh coklat dan
pudingnya ke teman-temannya? Apakah gadis kecil yang seperti itu berarti berkhianat pada
Bunda-nya sebab Bunda telah bersusah payah mempersiapkan bekal untukku? Tapi aku tidak
begitu suka puding dan coklat, Bunda. Lagi pula, aku memberikannya pada anak- anak yang
baik. Aku membagikannya selalu untuk Lita, Mona, dan Anton. Kasihan Lita, Bunda. Papa Lita
beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Mona juga kasihan, ia sering menangis karena tidak
bisa menjawab pertanyaan dan tidak bisa mengerjakan PR. Mona memang agak bodoh, Bunda, tapi
dia pintar menyanyi. Dia selalu di depan barisan dan ketika aku memimpin lagu mengiringi
bendera, selalu merasa lebih aman jika melihat wajah Mona di depan. Suaranya keras dan
merdu, membuat semua suara juga ikut merdu. Dan Anton, ia tidak pernah dapat uang saku dan
bekal dari ibunya, padahal Anton selalu terlihat lelah apalagi seusai berolahraga atau
selesai memimpin upacara bendera. Aku tidak pernah memberikan bekal itu kepada Mirna, Bulan,
dan Johan. Mereka kaya dan sombong.
Apakah Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak pernah mau memakan bekalku? Tapi Bu Marta
bilang, Tuhan sayang sama anak yang suka membagikan makanan dan mainannya.
Mungkin Tuhan mengirim makhluk itu karena aku tidak adil, Bunda. Tapi bekalku tidak cukup
untuk kubagikan pada semua teman sekelasku. Lagi pula, banyak di antara teman- temanku yang
bekalnya enak dan banyak. Apakah aku harus memberi mereka juga, sekalipun sedikit?
Jangan-jangan mereka malah tidak memakannya, sebab sering kulihat mereka membuang makanan
mereka sendiri di tempat sampah. Apakah aku juga harus membagikan bekalku untuk Mirna,
Bulan, dan Johan? Tapi mereka sombong, Bunda. Bukankah Tuhan tidak suka pada orang yang
sombong? Jangan-jangan kalau aku memberikan bekalku ke mereka, aku juga ikut-ikutan dibenci
Tuhan. Aku takut ada makhluk lain yang datang, Bunda. Makhluk yang semakin banyak dan
membuatku semakin tidak bisa tidur hanya gara-gara aku membagikan makananku pada anak-anak
yang kaya dan sombong.
Bunda, apakah jika Ayah tinggal di rumah ini, makhluk itu akan tetap berani datang?
Bunda, kenapa ada orang yang jahat seperti Bu Berta dan perempuan yang membawa pergi Ayah,
tapi juga ada orang yang baik seperti Bunda dan Bu Marta? Apakah perempuan yang membawa
pergi Ayah rajin ke gereja? Ah, tapi Bu Berta rajin ke gereja, Bunda. Malah ia sering duduk
paling depan dan aku sering mencuri pandang ke wajahnya ketika aku menyanyi di barisan depan
bersama regu koor. Bu Berta sering menangis ketika menyanyikan Madah Bakti. Jika aku melihat
seperti itu, aku berharap besoknya Bu Berta akan baik dan tidak lagi gampang marah. Tapi
ternyata Bu Berta tetap galak. Apakah galak itu termasuk jahat, Bunda? Apakah orang yang
galak juga dibenci Tuhan? Mmmm… galak itu dilarang di al-Kitab atau tidak, sih,
Bunda?
Kalau Ayah, disayang Tuhan atau dibenci Tuhan, Bunda? Ayah jahat karena meninggalkan kita,
dan pergi dengan perempuan lain. Tapi ayah juga baik karena ia selalu membawakan mainan dan
memberi uang. Mungkin kadang-kadang Tuhan sayang dan kadang-kadang Tuhan tidak sayang sama
Ayah.
Ah, Yu Senik sudah mengucurkan keran air. Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur. Tidak
lama lagi, Bunda pasti akan membangunkanku.
Entah mengapa, setiap kali aku melihat wajah-wajah anak Arman, aku selalu tidak bisa menepis
kebencian yang kadang menyergap. Kebencian yang berumur cukup tua, hampir setua pengalamanku
mengajar di sekolah ini. Di kelas-kelas yang lain, yang tidak ada wajah anak-anak Arman, aku
selalu menjadi guru yang baik dan disayang murid-muridku. Selalu saja kucari alasan untuk
marah dan membuat mereka, anak-anak Arman tersedu, menangis penuh ketakutan. Aku tahu itu
salah. Aku tahu itu tidak adil. Anak-anak itu tidak tahu kesalahan orangtua mereka.
Anak-anak itu juga pintar-pintar dan baik apalagi anak terkecil Arman. Tapi selalu saja aku
tidak bisa menghindari dari rasa marah yang kuat. Aku selalu menjadi siksaan bagi ketiga
anak Arman dan murid-murid sekelas mereka yang lain. Aku adalah kutukan bagi mereka.
Dila, anak terkecil Arman, sekarang duduk di kelas lima. Dulu, kakak-kakak mereka juga
sekolah di sini. Tapi di antara anak-anak Arman yang sekolah di sini, Dila-lah yang cukup
menyiksaku. Ia anak yang paling pintar dan baik. Ia selalu benar mengerjakan soal-soal yang
kuberikan dan menyelesaikan dengan baik pekerjaan rumahnya. Aku terpaksa membuat banyak anak
menangis lebih dahulu untuk Dila bisa menangis. Jika pekerjaan rumahku dikerjakan dengan
baik, aku akan memberikan soal-soal yang sulit. Tapi jika itu juga dikerjakan dengan baik,
aku akan memberikan yang lebih sulit lagi, sampai hampir semua anak tidak bisa
mengerjakannya, sampai Dila juga tidak bisa mengerjakannya. Pada saat itulah aku menumpahkan
sedikit kesal dan marahku pada Dila. Aku membanding-bandingkannya dengan kedua kakaknya,
yang sebetulnya juga dulu sering kumarahi.
Tapi setelah semua berakhir, ketika lonceng pergantian jam pelajaran maupun lonceng akhir
berbunyi, aku selalu merasa menyesal. Dila gadis kecil yang baik. Ia memimpin lagu untuk
upacara bendera dengan baik, ia menjadi anggota regu koor di gereja. Bahkan sering kali
kulihat dari jauh, dari kantorku, Dila membagi-bagikan makanannya untuk teman-temannya.
Tapi Arman dan ibunya Dila telah menghancurkan hidupku. Mereka berdua telah membuat
hari-hariku menjadi suram dan penuh siksaan. Mereka berdua telah menanam tunas kesengsaraan
yang terus tumbuh dan tidak pernah mati. Arman mengkhianati cinta suciku, dan lari menikah
dengan ibunya Dila. Dari mereka berdua, lahirlah tiga anak yang ikut menuai amarah yang
ditanam kedua orangtua mereka. Arman dan istrinya telah membuat seorang hamba Tuhan
sepertiku menjadi pendendam yang tak punya belas-kasihan.
Hidupku benar-benar mencekam apalagi jika esok harinya aku tahu, aku akan mengajar Dila.
Tidurku selalu tidak pernah nyenyak, dan di antara rasa tidur dan terjaga itu, aku merasa
memasuki pagar rumah Arman, menumpahkan seluruh rasa marah yang terpendam di halaman
rumahnya. Lalu dari gorden yang tersingkap, dari sebuah ruang yang agak remang, aku melihat
wajah Dila yang terlelap. Perlahan aku menghampirinya, membuka gorden agar wajah Dila
semakin jelas kulihat bantuan lampu taman yang mengerjab. Wajah damai yang bersinar lembut,
wajah yang aman dari rasa keji. Aku melihat buku yang tergeletak dan masih terbuka di meja
kecilnya. Ia telah mengerjakan pekerjaan rumah dariku dengan tekun dan keras. Aku melihat
rosario yang tergeletak di samping kepalanya. Ia tidak bisa menahan rasa haru. Aku mengecup
penuh sesal kening Dila. Begitu aku terjaga dari keadaan yang terjadi antara tidur dan
sadar, aku termangu. Air mataku keluar seperti air mata yang selalu keluar jika aku
menyanyikan Madah Bakti, sementara di depanku kulihat Dila menyanyikan lagu tersebut dengan
khusyuk dan ikhlas. Aku terjaga sampai pagi, sampai kemudian aku tetap tidak bisa menahan
marahku jika menemuinya di kelas. Rasa yang akan membuatnya selalu menangis lagi.
Tuhan, jauhkanlah aku dari dosa dan dendam yang terkutuk itu. Jauhkan aku dari rasa marah
yang keji itu. Setidaknya jauhkan aku dari rasa marah kepada Dila.
Bunda, hari ini aku merasakan Tuhan mulai memperlihatkan rasa sayang-Nya. Bu Berta hari ini
tidak marah. Ia sangat baik. Bahkan ia menitip salam untuk Bunda. Akhirnya Tuhan memberiku
yang terbaik. Tuhan memang tidak membuat Bu Berta kecelakaan, tapi Ia membuat Bu Berta
berubah. Benar kata Bu Marta, Tuhan selalu memberi yang terbaik jika kita rajin berdoa dan
percaya bahwa Tuhan mendengar doa kita. Aku tidak yakin Bu Berta akan baik lagi besok, tapi
aku akan semakin rajin berdoa dan yakin Tuhan akan mengabulkan doaku. Aku tidak akan berdoa
Bu Berta kecelakaan. Aku akan berdoa Bu Berta berubah menjadi baik seperti hari ini. Pasti
Tuhan suka dengan doa yang seperti ini, doaku yang tidak jahat.
Aku baru tahu dari temanku, ibunya Dila telah lama ditinggalkan suaminya. Arman lari dengan
perempuan lagi. Kali ini rasa sesal kembali menikam berlipat kali. Aku telah berdosa pada
anak-anak baik yang menderita. Tuhan. Maafkanlah aku. Dan hari ini, Aku cukup bahagia. Dila
tidak lagi menangis tersedu. Dendam itu telah lenyap tanpa bekas. Ah betapa hinanya aku
telah melukai anak Tuhan yang baik dan sedang menderita. Dila, maafkanlah aku.
Audiobook
Saya di Mata Sebagian Orang
Sebagian orang menganggap saya munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi
menganggap saya sok gagah. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi
menganggap saya murahan!
Padahal saya tidak pernah merasa munafik. Tidak pernah merasa membual. Tidak pernah merasa
sok gagah. Tidak pernah merasa sakit jiwa. Tidak pernah merasa murahan!
Dan apa yang saya rasa toh tidak membuat mereka berhenti berpikir kalau saya munafik.
Berhenti berpikir kalau saya pembual. Berhenti berpikir kalau saya sok gagah. Berhenti
berpikir kalau saya sakit jiwa. Berhenti berpikir kalau saya murahan!
Sementara saya sudah berusaha mati-matian menjelaskan kalau saya tidak munafik. Kalau saya
tidak membual. Kalau saya tidak sok gagah. Kalau saya tidak sakit jiwa. Kalau saya tidak
murahan!
Tapi penjelasan saya malah semakin membuat mereka yakin kalau saya munafik. Yakin kalau saya
pembual. Yakin kalau saya sok gagah. Yakin kalau saya sakit jiwa. Yakin kalau saya murahan!
Maka inilah saya, yang tidak munafik. Yang tidak membual. Yang tidak sok gagah. Yang tidak
sakit jiwa. Yang tidak murahan!
Walau sebagian orang tetap menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya
sok gagah. Menganggap saya sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Saya katakan ke banyak orang kalau saya tidak punya pacar. Saya tidak punya kemampuan untuk
mencintai seseorang. Tapi bukan berarti saya tidak punya teman. Saya punya banyak sekali
teman. Ada teman yang setiap pagi menyiapkan air hangat untuk mandi. Ada teman makan siang
ketika rehat kantor. Ada teman yang menjemput sepulang kantor. Ada teman yang menemani
nonton. Ada teman yang menemani clubbing. Mereka semua teman-teman yang baik. Mereka semua
teman-teman yang bisa diandalkan dalam segala hal dan saya yakin saya pun cukup bisa
diandalkan sebagai teman. Bukankah sudah sepatutnya begitu dalam hubungan pertemanan?
Buktinya tidak jarang sebenarnya saya malas makan siang. Tapi karena teman mengajak, saya
merasa tidak enak untuk menolak. Begitu juga halnya dengan nonton atau clubbing. Pulang
kantor saya sering kelelahan. Inginnya lekas pulang dan tidur. Tapi jika ada teman yang
mengajak nonton, rasanya saya tidak tega menolak apalagi ia sudah khusus jauh- jauh
menjemput ke kantor. Maka saya akan mengiyakan walaupun belum tentu saya suka dengan film
yang kami tonton. Pada saat kami nonton, tidak jarang pula ponsel saya berdering. Andaikan
tidak saya angkat karena tidak sopan menerima telepon di dalam bioskop, tetap saja mereka
bisa meninggalkan pesan SMS. Biasanya minta ditemani ke disko atau sekadar nongkrong di
kafe. Sungguh, tidak selalu saya ingin menerima ajakan mereka. Tapi bagi saya itulah
konsekuensi pertemanan. Apalagi, sekali lagi, mereka adalah teman-teman yang baik. Yang
setia menyiapkan air hangat untuk mandi setiap pagi. Yang setia menemani makan siang. Yang
setia menjemput pulang kantor. Yang setia menemani ke disko atau kafe. Yang setia memberikan
perhatian dan waktu kapan pun saya butuhkan, walaupun mungkin mereka tidak selalu ingin
mengiyakan, walaupun mungkin mereka sedang kelelahan, sama seperti apa yang sering saya
rasakan.
Kepada merekalah saya sering menumpahkan segenap perasaan. Kepada merekalah saya meminta
bantuan. Tidak hanya sebatas perhatian dan waktu, tapi juga dari segi finansial. Kalau saya
butuh uang, saya bilang. Kalau saya mau ganti ponsel model terbaru, saya beri tahu. Kalau
saya bosan mobil van dan ingin ganti sedan, saya pesan. Padahal karena akan selalu ada yang
menjemput dan mengantar, mobil jarang sekali saya gunakan. Kalau saya dapat undangan pesta
dan perlu gaun malam lengkap dengan perhiasan, saya utarakan. Kenapa harus sungkan? Toh saya
tidak memaksa. Toh mereka ikhlas. Dan yang paling penting adalah mereka memang mampu
mengabulkan apa yang saya minta. Saya tidak paksa mereka khusus menabung untuk saya apalagi
sampai suruh mereka merampok bank. Saya juga teman yang baik. Saya tidak mau mereka susah
hati karena tuntutan-tuntutan saya. Kalau sekali-sekali harus jebol tabungan atau terpaksa
mencairkan deposito bolehlah… yang penting dananya memang ada. Itu pun bukan masalah
yang harus saya besar-besarkan. Bukan sesuatu yang layak untuk membuat saya terharu. Apalagi
jatuh cinta?! Saya harus garis bawahi bahwa saya tidak memaksa. Apalagi saya sangat tahu,
sangat sadar kalau jumlah dana yang dikeluarkan hanya sepersekian persen dari keseluruhan
harta mereka. Coba bayangkan, kurang pengertian apa saya sebagai teman? Seperti yang sudah
saya utarakan sebelumnya, tidak jarang saya harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk
mereka. Mungkin lebih tepat jika saya menggunakan kata merelakan ketimbang mengorbankan.
Walaupun saya agak terganggu, tapi saya rela. Saya melakukannya karena saya mau, bukan
karena paksaan. Saya menikmati kebersamaan kami. Menikmati tiap detail manis yang kami
alami. Makan malam di bawah kucuran sinar rembulan dan keredap lilin di atas meja.
Percakapan yang mengasyikkan penuh canda dan tawa. Sentuhan halus di rambut saya. Kecupan
mesra di ke dua mata, hidung, pipi, dan bibir yang berlanjut dengan ciuman panas membara
lantas berakhir dengan rapat tubuh kami yang basah berkeringat di atas tempat tidur kamar
hotel, di dalam mobil, di taman hotel, di toilet umum, di dalam elevator, di atas meja
kantor, atau di dalam kamar karaoke. Saat-saat yang begitu melelahkan sekaligus
menyenangkan. Saat-saat yang selalu membuat jantung saya berdegup lebih kencang dari
biasanya. Saat-saat yang selalu membuat aliran darah saya menderas dan naik ke atas kepala.
Saat-saat yang selalu membuat saya pulas tertidur dan mendengkur. Saat-saat yang tidak
pantas untuk tidak membuat saya merasa bersyukur.
Namun dari sanalah segalanya berpangkal. Semua yang saya lakukan itu dianggap tidak benar.
Sebagian orang menganggap saya munafik karena tidak pernah mengakui kalau saya punya pacar.
Sebagian lagi menganggap saya pembual setiap kali saya bilang hubungan kami hanya sebatas
pertemanan. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah karena mereka berpikir saya tidak mau
mengakui kalau sebenarnya saya mencintai seseorang. Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa
karena berteman dengan begitu banyak orang. Sebagian lagi menganggap saya murahan karena
saya bisa ditiduri tanpa harus ada komitmen percintaan bahkan bisa dalam satu hari dengan
orang yang berlainan. Perbuatan yang saya jalani dengan penuh kewajaran tiba-tiba berubah
menjadi perdebatan. Semua orang merasa lebih tahu dibanding diri saya sendiri. Beberapa
bagian dari mereka itu sibuk dengan pendapatnya masing-masing dan lebih luar biasa lagi
mereka bisa membahas perihal saya ini berjam- jam, berhari-hari, berminggu- minggu,
berbulan-bulan, bertahun-tahun, sementara teman- teman saya semakin banyak, silih berganti
tanpa henti dan ini membuat mereka punya materi yang lebih dari cukup untuk terus
mempergunjingkan saya seolah tidak ada hal lain yang lebih pantas untuk diangkat sebagai
tema. Mereka bergunjing lewat telepon. Mereka saling bertukar pesan lewat SMS. Mereka saling
mengirim surat elektronik. Mereka saling bertukar pendapat di kafe-kafe. Di rumah. Di
kantor. Di pertokoan. Di restoran. Apalagi jika secara kebetulan kami bertemu dalam satu
kesempatan dengan membawa teman baru. Pembicaraan mendadak berhenti. Mereka
sembunyi-sembunyi bertukar senyum. Mereka sembunyi- sembunyi bermain mata. Mereka
sembunyi-sembunyi mengirim pesan SMS. Mereka saling berbisik dengan ekspresi wajah yang
sulit untuk diterjemahkan. Kadang ada satu dua kalimat yang terdengar dan sudah cukup bagi
saya untuk merangkumnya utuh menjadi satu bagian. Kebanyakan berkisar pada seberapa indah
dan seberapa tebal kantong teman yang saya bawa. Pandangan mereka menyapu bersih kami berdua
dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti serigala kelaparan. Menyeleksi mulai dari apakah
ada pernak-pernik baru yang saya pakai, kantong belanja, hingga jenis kartu kredit saat
membayar bon tagihan makan. Jika teman saya kelihatan indah, maka dikaitkannyalah dengan
seberapa dahsyat kehebatannya di atas ranjang. Jika teman saya kelihatan berkantong tebal,
maka dikaitkannyalah dengan seberapa besar saya menguras uang. Tapi jika ke dua sisi itu
tidak ada yang memenuhi standar pergunjingan, mulailah mereka dengan teori cinta-cintaan.
Dan karena saya tetap bilang kalau kami benar-benar berteman, perdebatan pun dimulai dan
mereka saling membuktikan pendapat siapa yang paling benar. Sebagian orang menganggap saya
munafik. Sebagian lagi menganggap saya pembual. Sebagian lagi menganggap saya sok gagah.
Sebagian lagi menganggap saya sakit jiwa. Sebagian lagi menganggap saya murahan!
Saya tidak bisa mungkiri banyak dari teman-teman yang akhirnya mempertanyakan. Banyak dari
teman-teman yang tidak ingin berbagi dan pada akhirnya hubungan kami harus terakhiri. Tapi
tidak satu pun dari mereka yang mendendam karena saya menjunjung tinggi keterbukaan. Saya
tidak pernah membohongi, saya tidak pernah akal-akalan. Sehingga jika dibilang hubungan kami
berakhir, sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Yang berubah hanyalah kami sudah tidak saling
melenguh dan mencabik di atas ranjang. Tapi kami masih saling berbagi cerita walaupun
jarang. Saling bertanya apakah sudah punya pasangan tetap, menikah, atau masih melajang.
Hal- hal seperti ini yang sering tidak saya temukan pada sebagian orang yang menanggap saya
munafik, pembual, sok gagah, sakit jiwa, atau murahan itu. Sebagian dari mereka malah sering
saya dapati tidak lagi bertegur sapa sama sekali dengan teman lamanya. Biasanya itu
disebabkan karena hubungan mereka yang sembunyi-sembunyi dengan si A ketahuan oleh si B.
Setelah putus dengan si B ternyata ketahuan pulalah si A berteman dengan perempuan lain.
Alangkah sayangnya sebuah hubungan yang menempuh berbagai aral rintangan itu akhirnya harus
kandas di tengah jalan. Tapi saya tetap menghargai sebuah pilihan. Saya hanya heran. Tapi
walaupun saya heran, saya tetap tidak berani menganggap mereka munafik, pembual, sakit jiwa,
sok gagah, atau murahan. Kadang saya juga mengalami kesulitan dalam satu hubungan. Beberapa
kali saya bertemu dengan tubuh-tubuh indah yang membuat mata silau. Membuat darah saya
berdesir dan mengisyaratkan satu kenikmatan. Malam-malam panjang. Kontraksi dahsyat di
tengah selangkangan. Yang nyatanya berakhir dengan rasa mual. Ereksi yang tidak lama kekal.
Reaksi yang membuat waktu berjalan bagai tak berujung pangkal. Dan saat itulah alarm dalam
tubuh saya mengisyaratkan segala rencana kencan lanjutan mutlak batal. Sebagian orang
menamakan kejadian-kejadian seperti itu sebagai cinta semalam. Sebagian orang merasa
kejadian-kejadian seperti itu bertentangan dengan moral. Sementara buat saya
kejadian-kejadian seperti itu hanyalah semata-mata proses pengenalan. Seleksi alam yang
akhirnya menjawab apakah kami akhirnya bisa tidak atau lanjut berteman. Tapi tetap orang
menganggap saya munafik. Menganggap saya pembual. Menganggap saya sok gagah. Menganggap saya
sakit jiwa. Menganggap saya murahan!
Mungkin jika bukan karena penyakit yang datang tanpa bisa saya larang tidak saya idap
sekarang, saya hampir percaya pada pendapat sebagian orang yang tiap bagiannya menyatu
menjadi satu pendapat utuh bahwa tindakan saya menyimpang. Mungkin jika bukan karena saya
tergeletak tak berdaya dan diperlakukan bagai anjing kusta saya hampir beralih dari apa yang
selama ini saya percayai dan nikmati dengan hati lapang. Karena, ketika saya positif
mengidap HIV ternyata saya masih punya banyak teman yang setia menyiapkan air hangat untuk
bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa
lucu di satu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, membayar ongkos perawatan,
ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik.
Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!
Jakarta, 20 Agustus 2003 11:35:54 PM
Audiobook
Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura
Sudahkah kau dengar kisah tentang sepasang kera yang berjalan kaki dari pura ke pura untuk
melaksanakan tugas akhir yang harus diemban menyucikan roh mereka berdua?
Perjalanan sepasang kera ini tiba-tiba menggemparkan orang kota, terutama kota yang
seharusnya dilewati keduanya namun batal terlaksana lantaran suratan yang menyatakan
demikian. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka berdua, kecuali bahwa mereka adalah
sepasang kera yang dengan rukunnya bagai sejoli berjalan dari Pura Batu di tepi pantai ke
pura di timur kota yang juga terletak di tepi pantai. Siapakah yang diwadahinya sehingga
mereka harus menanggung kisah yang menjadi bacaan orang-orang di pinggir jalan, kisah yang
juga diteruskan dari mulut ke mulut dengan bumbu penyedap berbagai rasa sehingga kisah pun
berkembang menjadi dongeng indah.
Tidak seorang pun tahu siapa mereka berdua dulunya, mungkin juga tak seorang pun mengingat
kisah masa lalu mereka yang mungkin sudah lewat puluhan tahun bahkan ratusan tahun dalam
sejarah yang tak seorang pun mencatatnya.
Perlukah kita mengungkap kisah sedih tentang sepasang kera yang berjalan dari pura di barat
kota menuju pura di timur kota, jarak keduanya sekitar delapan puluh kilometer, tak mungkin
ditempuh berjalan kaki dalam tempo satu hari.
Konon sepasang kera itu adalah sepasang suami istri yang bersumpah bersetia karenanya ketika
mereka menjelma kembali menjadi kera, maka mereka pun tetap bersama menanggung derita dan
menuai sukacita bersama. Katanya, mereka berdua sudah menjadi penghuni pura sejak mereka
dilahirkan oleh induk dan jantan kera yang berbeda. Kelahirannya di halaman pura yang memang
penuh berpenghuni kera itu konon adalah atas permintaan mereka berdua agar mereka diberi
kesempatan menyucikan hidup mereka sehingga mereka dapat kembali menjadi manusia, kemudian
hidup lagi menjadi makhluk utama dan kembali ke surga.
Dulunya, mereka berdua adalah suami istri yang sangat berbahagia, diam di sebuah rumah di
kota. Mereka hidup tenteram di masa tenteram. Saat mengandung anak yang kemudian lahir
sebagai anak perempuan, setiap hari istrinya menginginkan kijang guling, sebagaimana
orang-orang suka memasak babi guling dan kadang kambing guling. Selalu terbayang dalam tetes
liurnya kijang muda yang ditusuk besi beton dari mulut sampai ke dubur, lalu diputar pada
dua tonggak besi di atas bara yang menganga. Beberapa jam kijang yang perutnya sudah diisi
daun belimbing yang bercampur bumbu itu terus diputar agar matangnya rata.
Perempuan itu setiap saat membayangkan kijang yang diputar-putar di atas bara itu hingga air
liurnya tetes.
“Pergilah berburu kijang, Aji, sudah tak tahan mulutku diam lidahku kering membayangkan
kijang muda yang diguling, kulitnya cokelat tua dan renyah rasanya. Jangan tunda lagi,
suamiku.”
Lalu, dia pun pergi bersama seorang teman ke padang perburuan di Bali Barat, malam-malam yang
gelap, berdua tak bercakap bahkan seolah selalu menahan napas. Malam itu sepasang mata yang
menyala tiba-tiba diam tak bergerak seolah menunggu dengan waswas, jangan- jangan laras
senapan diarahkan ke kepalanya. Sepasang mata menyala itu diam bagaikan terpaku di batang
pohon, hanya nyala tanpa gerak.
Lalu, terdengar suara tembakan tunggal dan mata itu pun runtuh ke tanah bersama suara tubuh
yang tersungkur.
“Kena!” teriak lelaki itu. Temannya bergegas menuju tempat sepasang mata jatuh ke
tanah dengan senter di tangan menyala.
“Induk kijang!” teriak temannya.
Lelaki itu agak kecewa sebab dia berharap dapat menembak seekor kijang muda yang diidamkan
oleh istrinya. Rumput yang terinjak-injak kaki mereka dan semak yang terkuak, lalu temannya
berteriak:
“Dia tak sendirian!”
“Mana lagi?” tanyanya.
Lelaki temannya menghunus goloknya dan menyerahkan senternya untuk dipegangnya menerangi
tubuh yang rebah itu. Dengan cekatan dia membedah perut kijang itu dan sesaat mengeluarkan
bayi kijang yang menggeliat dari dalamnya.
“Syukur dia masih hidup,” katanya sambil membungkus bayi kijang itu dalam kain
sarung yang sejak tadi melilit lehernya.
Di rumah, mereka disambut bukan oleh sorak sorai atas keberhasilan mereka menembak seekor
kijang, tetapi oleh berita yang memacu jantungnya untuk berdegup keras.
“Ibu dibawa ke rumah sakit,” kata pembantunya.
Dan kisah selanjutnya kau pasti sudah tahu, tak perlu lagi dikisahkan tentang gadis kecil
yang bersahabat dengan kijangnya dan terbang ke langit mencari mamanya.
Tahun-tahun dilewati oleh lelaki itu dalam kesepian, terutama ketika anak gadisnya terbang ke
langit tanpa mengucap selamat tinggal. Telah dia relakan gadis kecil itu bersama kijangnya
mencari mamanya, dan kijang itu pasti rindu pada induknya yang tak pernah menyusuinya.
Mereka telah bertemu di taman bunga dengan hamparan rerumputan hijau bagai permadani persia,
di mana gadis kecil itu bebas berguling-guling memeluk kijangnya yang mengedip-kedipkan
matanya.
Bertahun-tahun lamanya mamanya menunggu lelaki yang duduk kesepian di kursi malas di kebun
rumahnya sampai pada suatu saat mereka dapat berkumpul kembali dan bersama hujan turun ke
bumi sebagai anak-anak kera yang lucu. Bertahun-tahun lamanya lelaki itu menyebut nama
Tuhannya dan memohon izin untuk membersihkan dirinya dari dosa, dan pembersihan diri itu
harus dilakukan kembali di atas bumi yang penuh kekotoran ini.
Dari tahun ke tahun kera itu hidup berpasangan, tanpa seorang anak pun sebab mereka bersumpah
untuk tidak bersatu tubuh hanya sukma yang layak terpadu walau mereka suami istri. Orang-
orang yang datang bersembahyang di pura itu sering memerhatikan mereka yang konon
berperilaku sebagai manusia. Mereka tidak pernah menyerang para pendoa, tidak pernah
merampas buah atau kue yang dibawa sebagai sesaji oleh umat yang bersembahyang.
Mereka selalu menunggu orang-orang selesai bersembahyang dan dengan sabar pula menunggu
mereka mengulurkan tangan dengan buah atau kue yang mereka terima dengan tangan pula.
Bilamana ada orang yang melempar kue atau buah kepada mereka sampai jatuh ke tanah, mereka
tidak mau memungutnya, dan membiarkan kera lain merebut kue itu dan lari dari arena.
Konon, mereka benar-benar berperilaku sebagai manusia, sebagai sepasang suami istri yang
mencari rezeki dari orang-orang yang bersembahyang di pura ini. Mereka akan menerima buah
yang bersih, yang belum digigit manusia. Pernah seseorang mencoba mengupas pisang dan
mencuil ujungnya dengan tangan lalu mengulurkan pisang setengah terkupas itu kepada mereka,
namun mereka diam saja tak hendak menerima pemberian itu walaupun tulus.
Di hari yang baik itu janji harus ditepati. Sepasang kera itu duduk berdua diam di depan pura
utama, memohon berkah Sang Hyang Maha Menentukan lalu si jantan mendengar bisik dan kemudian
mereka berdua berdiri, saling berbimbingan tangan menuruni tebing bukit menuju jalan raya.
Dengan hati yang mantap mereka menghadap ke arah timur dan melangkah dengan niat mencapai
pura di pinggir pantai yang terletak di timur kota, delapan puluh kilometer jauhnya.
Dari ladang ke ladang ke kebun mereka berayun, namun kadang berjalan kaki di tepi jalan
sebagaimana sepasang penduduk kampung yang hendak ke kota. Orang-orang yang melihat mereka
membiarkan mereka lewat, kadang menunggu dan mengulurkan dua buah pisang yang mereka terima
dengan membuka senyum.
“Lihatlah, anakku. Mereka benar-benar mirip manusia,” seorang perempuan bicara
dengan anak yang duduk di pangkuannya.
Pada malam hari mereka berhenti di dangau di ladang petani dan esoknya kalau merasa lapar,
mereka mendekati rumah penduduk yang mengerti dan memberi mereka makanan.
Namun, sayang, tidak semua orang tahu siapa sepasang kera itu, karena memang mereka tidak
pernah berjumpa dengan mereka dan tak pernah mendengar kisah mereka. Dan seorang anak muda
yang menenteng senapan angin berburu burung tiba-tiba melihat mereka di atas pohon, membidik
salah seorang darinya dan jatuhlah kera betina, mula-mula masih sempat bergelayut di ranting
pohon namun akhirnya jatuh terbanting ke atas tanah. Kera jantan memburu turun dan memeluk
tubuh yang mulai mengejang saat nyawa mulai merambat keluar darinya.
“Duh, istriku, kenapa hal ini harus terjadi lagi?” seolah dia merintihkan lagu
duka yang mengusung masa lalunya.
Siapakah yang memahami rintihnya kalau mereka tak merekam sejarah yang tak pernah tertulis?
Bagaimana orang tahu tentang peristiwa yang sudah berlalu?
Anak muda itu datang mendekat dan menodongkan laras senapannya, siap akan menembaknya dan
merobohkannya di atas tubuh istrinya. Sekilat dia ingin mati bersama istrinya, sebagaimana
apa yang mereka janjikan. Namun, dilihatnya cahaya yang menuntunnya untuk bergerak terus ke
arah timur.
“Tidak!” katanya. “Bukannya aku tak bersetia padamu, istriku, tetapi ada
tugas yang harus aku penuhi agar harkat kita kembali ke tempatnya semula. Aku harus sampai
di pura sebelah timur, menghaturkan sembah kepada Yang Maha Berkehendak sehingga kita tetap
bersatu sebagai manusia.”
Tembakan berdesis dan jantan kera itu melompat menghindar, memanjat pohon dan dari ketinggian
dia melihat pemuda itu membawa jasad istrinya pulang. Di rumah orang mengulitinya dan
memasak dagingnya, serta membagi gulai daging itu kepada para tetangga.
Esoknya desa gempar sebab orang- orang yang ikut memangsa daging kera itu semuanya menjadi
gagu, tak bisa bicara, sementara pemuda yang dengan gagah beraninya menembak kera itu
ditemukan terbujur tubuhnya di atas bale kamarnya, tak bangun lagi, dengan kulitnya yang
dingin dan dadanya yang tak lagi naik turun.
Berita itu dengan cepat tersebar ke seluruh wilayah dan orang-orang berbisik tentang sepasang
kera yang bertingkah laku sebagai manusia, yang tinggal di pura selama bertahun-tahun dan
tak pernah mengganggu manusia.
Kera itu dengan kepala menunduk melanjutkan perjalanannya yang belum usai, pada malam hari
sampai di pura di tepi pantai, dan tanpa beristirahat duduk menundukkan kepalanya di depan
tempat sembahyang utama, dengan sekuntum bunga kamboja terselip di telinganya.
Berhari-hari dan malam dia tinggal di pura itu mencoba meninggalkan rasa duka yang masih
menyesaki dadanya dengan besar hati.
“Aku harus menjalaninya, kisah hidup yang kujalin sendiri dari dedaunan karmaku, apakah
mampu membentuk kipas yang dapat menyejukkan tubuh di kala panas menyengat atau perangkat
sembahyang yang penuh dengan bunga. Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan selain
diri kita sendiri, dan aku harus menebus apa yang sudah kuperbuat, dan istriku harus
menjalani kembali kisah sedih yang sudah terjalin menyatu dengan masa lalu.
Lalu, ketika genap lewat tujuh hari, dia mulai melangkahkan kaki kembali menuju ke barat,
kembali ke pura batu di tepi pantai dan menjalani sisa hidupnya sendiri. Sisa? Berapa
harikah yang tersisa? Dia tak boleh mempersoalkannya. Hari- hari lewat dengan berdoa,
hari-hari di wilayah yang suci tempat manusia menyambung sukmanya dengan zat yang Mahasuci,
kenapa aku tak boleh menyambung sukmaku sebagaimana mereka?
Hari-hari berlalu dan dia berharap pada suatu saat tiba saatnya dia berkumpul kembali dengan
istrinya sebagai manusia, menapaki jalan yang lebih bersih agar tercapai moksa kembali
menjadi zat suci, bercampur udara yang berada pada lapisan paling atas paling dekat dengan
Zat Yang Mahazat.
Singaraja, 6 Agustus 2003
Audiobook
Juru Rias dan Seorang Pesolek
Malam beranjak larut, tapi Maharayi masih ingin menyelesaikan pekerjaannya. Ia selalu
berhasrat mendapatkan hasil yang sempurna. Setelah menggunting rapi alis lelaki gagah yang
terbaring dalam tidur abadi itu, ia akan merias wajah dinginnya agar terlihat segar.
Sumringah dalam setelan jas hitam yang masih tegas garis lipatan setrikanya dari jasa
laundry.
“Sekarang sudah malam. Boleh saya menyanyi?” bisik Maharayi di depan almarhum
Sugondo. Ya, nama lelaki itu Sugondo. Terhenti usianya di angka enam puluh satu tahun tiga
bulan empat belas hari. Mungkin ditambah beberapa jam. Serangan jantung. Kemarin tampak
tubuhnya sedikit membiru.
Lalu bibir Maharayi menyenandungkan sebuah lagu yang-kemungkinan besar, jika Sugondo masih
mampu mendengarnya-akan dikenalnya dengan baik. Lagu yang digubah oleh Ismail Marzuki. Lagu
yang pasti tidak populer bagi telinga anak muda sekarang. Maharayi memilih lagu itu karena
jenazah yang berbaring di depannya berusia enam puluh satu tahun. Bukan enam belas tahun.
Maharayi membuka tutup bedak. Terus bernyanyi seraya memulas wajah pucat itu dengan serbuk
lembut yang hanya sedikit menyiarkan aroma jasmin. Begitu hati-hati tangannya bergerak,
seperti khawatir membangunkan lelaki yang terpejam tenang itu.
“Bapak dulu tentu seorang yang dipuja banyak perempuan.” Maharayi tersenyum.
Barangkali, jika boleh jujur, ia juga tertarik dengan garis rahang yang kuat itu.
“Nama saya Maharayi. Siapa tahu, di tempat yang baru, ada yang bertanya mengenai perias
wajah Bapak.”
Maharayi tersenyum lagi. Di tengah sunyi malam, di tengah rumah duka yang lengang, ia biasa
bercakap-cakap sendiri. Seolah para jenazah itu sahabat yang dapat mendengar dan bahkan
menyahut sesekali dengan ucapan yang tulus. Ia merasa berbahagia memperlakukan seorang
almarhum atau almarhumah dengan ramah. Sering kali seperti terdapat senyum dari bibir
jenazah itu saat ia pamit meninggalkan ruangan yang dikelilingi harum hio terbakar.
“Akhirnya selesai juga. Semoga Bapak dapat melangkah dengan tenang ke rumah yang lebih
luas. Saya akan pulang.”
Maharayi memasukkan sisir, gunting kecil, bedak, pensil alis, dan beberapa peralatan rias
lainnya ke dalam beauty case berwarna coklat muda. Ia memandang sekali lagi wajah Sugondo
sebelum melangkah menjauh. Ia tak mungkin menciumnya karena bukan istri atau kerabatnya.
Bukan pula kekasih gelapnya. Ia hanya seorang perias jenazah.
Di depan pintu yang ditinggalkan, ia dijemput seorang petugas rumah duka yang kemudian
mengiringinya berjalan ke ruangan yang mereka sebut ruang tunggu. Ada seorang kerabat
almarhum yang segera menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih. Maharayi sedikit
terkesima memandang wajahnya. Seperti wajah seorang model yang kerap tampil di halaman
majalah. Wajah halus dengan bedak tipis dan, mungkin, celak di bawah mata serta selapis
pemerah bibir yang samar.
“Keluarga yang lain di mana?”
“Kebetulan sedang makan di luar sebentar. Apakah Ibu perlu saya antar pulang?”
“Oh, tidak,” Maharayi buru-buru menampik. “Saya membawa mobil.”
“Baiklah. Sekali lagi terima kasih.” Anak muda Tionghoa yang matanya tidak
terlalu sipit itu sedikit membungkukkan badan.
Mereka pasti orang terpelajar, pikir Maharayi. Anak atau cucu sulung Pak Sugondo? Keluarga
dengan bibit yang baik, gumamnya, sebelum meninggalkan rumah duka. Minibus yang
dikendarainya meluncur memasuki padat lalu lintas.
SEJAK suaminya berangkat berlayar empat bulan yang lalu, Maharayi mengemudikan mobil sendiri.
Membuatnya terlihat lebih lelah setiap tiba di rumah. Biasanya, begitu masuk ke dalam rumah,
dia akan memeriksa kamar kedua anaknya. Mula-mula Dito, kelas I SMP, yang meringkuk dalam
dengkur halus. Radio di dekat ranjangnya dinyalakan sepanjang malam. MTV Sky, 101,4 FM. Tapi
malam ini bukan Kemal yang siaran. Maharayi tersenyum sendiri karena ternyata mengenal suara
penyiar radio ABG itu. Ia membetulkan letak selimut di atas tubuh Dito, lalu mencium
pipinya.
Listy masih terjaga. Sedang memasang foto pada sebuah album. Hanya menoleh sebentar sewaktu
ibunya membuka pintu kamar.
“Besok tidak ada ulangan, Nak?”
“Sudah belajar,” sahut Listy tanpa memandang.
“Ibu mandi dulu ya,” Maharayi berbalik badan, namun ekor matanya sempat menangkap
sebuah potret yang tergeletak di atas meja belajar Listy. “Siapa?”
“Alessandro.”
“Pemain sepak bola?” Maharayi merasa karib dengan nama itu. Tapi sesuatu
berkelebat dalam ingatan. Wajah itu!
“Peragawan.”
“Kamu kenal?” Terdengar nada kagum.
“Hampir semua temanku kenal. Dia main sinetron juga.”
Maharayi menyadari jarang pulang pada jam tayang sinetron. Menyadari sejumlah letih menggayut
saat tiba di rumah. Tapi kini justru semakin jelas kelebat wajah dalam ingatannya.
“O, hebat! Kamu berteman dengan bintang televisi.”
Kepala Listy tengadah mendadak. Ada rona berang pada parasnya, menduga ibunya menyindir.
Namun, tak ditemukan gelagat itu pada muka ibunya yang sedikit berminyak.
“Ibu aneh.” Listy meneruskan pekerjaannya. “Dia model terkenal, karena itu
aku kenal.”
“Apakah menurutmu tidak tampak terlalu cantik sebagai laki-laki?”
“Zaman sekarang kan begitu? Yang bersolek tak hanya perempuan. Cantik juga menjadi hak
laki-laki, Bu.”
“Ya, sudah.” Maharayi meninggalkan kamar Listy. Pikirannya mencoba menangkap
kelebat wajah yang mengganggu. Rasanya baru saja memandangnya. Ah, Alessandro!
Anak atau cucu Bapak Sugondo? Ia ramah dan terpelajar. Tentu. Karena dia seorang peragawan
sekaligus bintang sinetron. Atau karena ramah dan terpelajar, maka Alessandro menjadi
bintang film?
Maharayi melangkah terburu kembali ke kamar Listy. Tapi pintunya terkunci dan dia urung
mengetuk. Ia hanya ingin bilang: “Tadi Ibu ketemu Alessandro di rumah duka.”
Sinar matahari mulai kendur ketika Maharayi tiba di rumah. Ia tak langsung memasukkan mobil,
melainkan turun di depan serambi dan mengunci pintu dengan remote yang meninggalkan bunyi
bip dua kali.
Langkah sepatunya mengetuk dengan gegas di ubin keramik teras rumahnya. Ia tak perlu mengetuk
pintu karena ternyata tidak dikunci.
“Dito!” Panggilnya seraya meletakkan tasnya di sisi meja televisi.
“Listy!”
Di ruang tengah Dito menatap ibunya. Memancar cemas dari wajahnya. Kecemasan yang tak biasa.
Dan Maharayi mengulang pertanyaannya.
“Kak Listy pergi.”
“Ke mana?” Mata Maharayi tak berkedip. Meminta jawaban.
“Apakah Ibu tahu kalau Alessandro meninggal karena kecelakaan?” Dito menatap
dengan raut cemas. Cemas yang tidak biasa.
“Ya Tuhan…” Maharayi menutup wajahnya. Ia tadi memang ditelepon keluarga
Sugondo, tapi tak terlalu jelas karena dihiasi isak tangis. Ia buru-buru pulang dari
kunjungan rutin ke rumah mertua oleh sebab berita yang tak terlalu meyakinkan itu. Mungkin
Listy belum mendengar, atau justru dapat menjelaskan?
Dito berlari ke dapur, mengambil segelas air putih untuk ibunya. Maharayi menerima dan segera
meminumnya. Duduk dan bersandar di sofa ruang tamu, menenangkan diri. Sekarang ia lebih
menduga Listy tahu kabar tentang musibah yang menimpa bintang favoritnya. Dapat dibayangkan,
tokoh pujaan yang fotonya disimpan secara khusus itu kini tak mungkin tampil lagi di depan
penggemarnya kecuali memutar ulang film-film yang dibintanginya sebagai memoar. Dapat
dibayangkan kesedihan macam apa yang kini sedang bergelimang di hati anaknya. Tapi…
ke mana sebenarnya Listy?
“Kalau begitu, Ibu mau melawat ke rumah…”
“Lihat, Bu! Beritanya masuk televisi.” Dito membesarkan volume suara. Maharayi
tertegun memandang liputan sore itu: proses pengangkatan mobil Alessandro dari sebuah jurang
sebelum kawasan Cianjur. Tampaknya tak banyak luka yang diderita, namun benturan di kepala
membuatnya langsung tewas. Potongan gambar berikutnya adalah suasana rumah sakit saat
jenazahnya turun dari ambulans.
Maharayi hampir menelepon ke rumah keluarga Sugondo, tapi urung. Apakah akan ada yang
menjawab? Ditatapnya Dito, sejenak ragu akan meninggalkan anak bungsunya sendiri di rumah.
Kemungkinan besar ia akan lama berada di rumah keluarga Alessandro seandainya sulit membujuk
Listy pulang. Aneh, kenapa telepon seluler Listy tidak diaktifkan?
“Ibu akan menunggu sampai sore. Jika Listy tak juga pulang, kita harus
mencarinya.” Itu keputusan Maharayi.
Sunyi memenuhi relung ruang tunggu krematorium itu. Ibu Alessandro menyambut kedatangan
Maharayi dengan sepasang mata sembab. Orang yang sama, yang memintanya beberapa hari lalu
untuk merias wajah Pak Sugondo.
“Saya tak tahu apa maksud Tuhan, tapi inilah yang terjadi.” Suaranya tersedu.
Maharayi menjabat tangan perempuan itu dengan takzim. Menyampaikan perasaan turut berduka.
“Dia masih muda. Cita-citanya masih panjang. Dia sedang menuju puncak.”
“Sayang sekali, memang. Kemarin dulu saya bertemu dengannya. Dia pemuda yang
baik.”
Ingin Maharayi meneruskan dengan kata-kata: “Anak saya sangat memujanya…”
tapi urung. Saat ini Listy, dengan cara yang lain, pasti juga merasa kehilangan.
“Saya minta Bu Rayi membuat Alessandro setampan pangeran.”
“Terima kasih atas kepercayaan Ibu.”
Seseorang mengantar Maharayi ke tempat jenazah Alessandro disemayamkan. Di depan pintu,
sebelum masuk ke ruang yang mulai dipenuhi harum setanggi Cina, Maharayi membuka tas yang
dibawanya. Ia terperanjat karena beauty case warna coklat muda tidak terdapat di dalamnya.
Apakah tertinggal di mobil? Sejak kapan terpisah dari tas besarnya? Atau justru tertinggal
di rumah? Tapi, ia tak pernah merasa membongkar tas itu sepanjang tiga hari ini.
“Kenapa?” tanya pengantar itu.
“Tidak apa-apa,” Maharayi menggeleng cepat. “Ayo, kita masuk.”
“Apakah boleh saya tinggal?”
“Ya. Biarkan saya sendiri.”
Maharayi menunggu sampai pintu tertutup. Sore ini di ruang itu hanya ada satu jenazah.
Alessandro! Sang peragawan yang menurutnya terlalu cantik untuk seorang laki-laki.
Langkahnya perlahan mendekat. Apa yang hendak dilakukannya tanpa alat rias? Maharayi belum
hendak memutuskan apa pun. Ia hanya ingin melihatnya dari dekat.
Tertegun ia memandang jenazah Alessandro. Begitu ranum. Kulitnya terlampau halus. Segar.
Seperti masih dijalari denyut kehidupan, tidak sepucat mayat yang selalu ditangani selama
ini. Diperhatikannya alis yang rapi, rambut yang terletak tepat pada tempatnya. Wajah yang
tak berminyak dengan pori-pori lembut. Pipi yang kemerahan…
“Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu, Alessandro?” bisik Maharayi
sendiri. “Rasanya engkau bisa bersolek sendiri.”
Tiba-tiba mata Maharayi terasa panas. Tak pernah ia merasa sesedih sore ini. Setiap jenazah
selalu meninggalkan aroma duka, tapi Alessandro membenamkan luka yang tak pernah
dibayangkan. Bagaimanapun ia dapat merasakan kehancuran hati Listy.
“Benar pertanyaan ibumu, Nak. Kita tak pernah tahu apa maksud Tuhan,” bibir
Maharayi gemetar. “Kamu masih muda, cita-citamu masih panjang. Dan kamu seorang yang
cantik. Apa lagi yang harus kutambahkan pada wajahmu?”
Pandangan Maharayi begitu mendalam pada paras pemuda itu. Ia seperti melihat pemuda itu
tersenyum. Oh, tidak! Bahkan ia melihat sepasang mata Alessandro membuka perlahan. Mata yang
kemudian tersenyum.
“Ibu tak perlu merias wajah saya. Listy, anak Ibu, telah melakukannya.” Maharayi
mendengar suara Alessandro. Tenang dan sopan. Ia ragu, apakah ia melihat gerakan bibir
pemuda itu? Tapi ia jelas mendengar suara itu. Suara yang menyapa dengan santun tiga hari
lalu, seusai merias jenazah Pak Sugondo.
Mata itu kembali menutup. Atau sesungguhnya tak pernah membuka? Maharayi gemetar, tertegun
dengan denyar darah tak beraturan. Kini rasa takut menjalar perlahan dan membuat sepasang
kakinya berangsur dingin.
Listy? Apakah kamu telah mengambil alat rias Ibu? Mata Maharayi basah. Ia bergeser mundur.
Baru sekali ini ia gemetar di depan jenazah. Sunyi merayap. Senyap mengertap. Tak ada suara
burung gereja yang biasanya bercericit di lubang angin. Tak ada suara angin yang biasanya
menggerakkan daunan pohon di sisi krematorium.
Tapi ia mendengar isak yang lain. Ia terus bergeser mundur dan tiba-tiba merasa membentur
lembut seseorang. Segera ia membalik tubuh dan mendapatkan Listy yang menggigil dengan wajah
basah air mata. Di tangannya tergenggam beauty case coklat muda miliknya.
“Maafkan aku, Ibu.”
Maharayi memeluk Listy. Seraya kembali mengingat: apakah benar Alessandro bicara padanya?
Apakah benar sang pesolek itu membuka mata dan memandangnya? Dadanya mulai basah oleh air
mata Listy.*
Jakarta, 15 Agustus 2004
Audiobook
Salawat untuk Pendakwah Kami
Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai
satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi
rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah
mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai
mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari
pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang
suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya
menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium
sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya
memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua
yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi.
Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat
tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang
tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini,
dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang
biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan
pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari
lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang
singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam
membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di
balik kelopak yang malas.
Kabar tentang kematian pedagang kopiah itu dengan cepat menular ke seluruh penjuru kota.
Tetapi, ini bukan kabar kematian orang sembarangan. Walau Haji Johansyah Kuala bukan seorang
penganjur agama yang berpengaruh dan disegani. Bahwa dia adalah juga seorang pendakwah
memang benar. Tetapi, sebagai penganjur dia punya cara sendiri. Bagaimana membuat umat,
terutama kaum kerabat, tertawa terbahak berkepanjangan, dan terbawa-bawa sampai menjelang
tidur, itulah kehendaknya, misinya, panggilannya sebagai seorang haji. Karena
lelucon-lelucon yang diciptakannya menjadi buah bibir dan bertahan lama di hati umat, maka
teringat akan namanya saja orang bisa mesem-mesem sendirian menahan tawa.
Haji Johansyah Kuala meninggal. Ah… siapa pula yang percaya. Ada semacam campuran
perasaan mengilik dan duka yang menyentak begitu kawan-kawan dekatnya mendengar kabar
kemalangan itu. Jangan-jangan ini hanya permainan Haji Johansyah Kuala lagi untuk
menggelitik warga kota, begitulah pikir mereka. Semua pasang kuda-kuda, jangan sampai ada
yang termakan permainan. Semua mengirim pembantu, atau malah anak sendiri, untuk mengintai
bahwa tokoh mereka itu tidak sedang melemparkan lelucon, dan bahwa dia memang benar-benar
telah tiada…
Haji Johansyah Kuala menemukan panggung yang tepat di kota kecil kami, yang dijepit dua
batang sungai yang besar, dan dua daerah rawa yang perawan sepanjang masa. Membuat kota jadi
pemukiman yang masif. Penduduk saling mengenal.
Tidak sebagaimana para pedagang Tionghoa yang semata-mata mengandalkan penghasilan dari
perdagangan yang berpusat di wilayah kedai panjang itu, orang-orang Melayu yang bertempat
tinggal dan berniaga di situ juga menguasai perkebunan kelapa yang luas. Boleh dikatakan
berdagang buat mereka adalah pekerjaan sambilan. Tak terkecuali Haji Johansyah Kuala.
Sehari-hari Pak Haji kita itu tidak begitu sibuk. Kopiahnya baru berjibun dikerumuni pembeli
pada hari-hari menjelang Idul Fitri atau hari raya haji. Karena itu dia punya banyak waktu.
Juga ilham. Garis keturunannya membuat dia seorang warga yang tak perlu diragukan
kata-katanya. Ayahnya, yang mewariskan toko kopiah itu, melaksanakan ibadah haji dengan
mengendarai sepeda. Dia menyeberang ke Semenanjung Malaya waktu itu, dan dari sana
mengembara dengan sepedanya sambil menuntut ilmu sepanjang perjalanan ke tanah suci.
Pulang-pulang dia membawa kemahiran yang membikin orang tercengang dan kagum: khatam Al
Quran. Dia juga jadi pawang yang andal. Kalau polisi kewalahan mengatasi harimau yang
mengganas dan memangsa penderes karet di wilayah sempadan, maka dialah yang dipanggil untuk
menjinakkan binatang buas itu. Dia menaklukkan binatang itu dengan mengibas-ngibaskan sorban
yang dia beli di Pakistan. Johansyah Kuala sendiri sudah melaksanakan ibadah haji ketika dia
masih remaja, dengan menumpang kapal laut. Sejarah keluarga dan sikapnya yang selalu
menunjukkan keinginan bersahabat, membuat dia jadi tumpuan orang yang sedang memerlukan
bantuan.
Adalah seorang laki-laki setengah baya yang mampir ke tokonya. Bukan untuk membeli kopiah,
tetapi meminta nasihat. Soalnya, dua gigi depannya rompal diterjang kelapa yang jatuh dia
kait. Orang yang malang itu terus-menerus menyembunyikan ompongnya dengan menutup mulut
dengan tapak tangan. Haji Johansyah Kuala menganjurkan orang itu berangkat ke Medan untuk
memasang gigi palsu. Diberikannya uang pembeli gigi palsu dan ongkos perjalanan secukupnya.
Dengan satu syarat: dia tak boleh menutup mulut menyembunyikan ompongnya sepanjang
perjalanan.
Mula-mula orang itu malu dan ragu-ragu mendengar tawaran tersebut. Tetapi, Haji Johansyah
Kuala memberi nasihat yang menarik, dan bisa dia terima. Begini. Sepanjang perjalanan ke
Medan, dengan menumpang kereta api, kalau ada yang bertanya dia mau ke mana, maka untuk
menyembunyikan ompongnya dia supaya mengatakan bahwa tujuannya bukan Medan, karena dengan
melafalkan nama kota itu, maka bibirnya akan terbuka dan akan mengangalah giginya yang
ompong.
“Kalau ada yang menyapa dan bertanya, jawablah bahwa kau mau ke Lubuk Pakam,”
ujar Haji Johansyah Kuala. Dengan mengucapkan nama kota itu, maka praktis mulutnya akan
tertutup. “Waktu pulang nanti, kau boleh bersorak. Kalau ada yang bertanya, jawab saja
sekenanya, bahwa kau mau ke Batangkuis. Ya, Batangkuis….” Itu artinya dengan
menyebutkan kota kecil itu, maka dia akan punya kesempatan untuk memamerkan gigi barunya.
Walhasil, begitulah jadinya. Dalam perjalanan ke Medan dia menyebutkan tujuannya adalah Lubuk
Pakam. Ompongnya pun tersembunyi. Dalam perjalanan pulang tujuannya adalah Batangkuis.
Dengan begitu gigi palsunya kelihatan berkilau, meskipun kota itu sudah tertinggal jauh di
belakang.
Di kota kecil kami tak ada yang serius. Hidup ini diperlakukan enteng-enteng saja. Orang bisa
mengobrol di kedai kopi sepanjang hari, bertukar kelakar, berdebat soal politik sambil
meninju-ninju meja, hanya ditemani secangkir kopi. Dan, jangankan gusar, pemilik kedai malah
ikut nimbrung. Kadang-kadang Haji Johansyah Kuala juga meluangkan waktu mampir ke situ,
sekadar hendak mengetahui apa yang jadi buah bibir. Di kedai kopi itu jugalah dia
menceritakan kisah perjalanan si ompong tadi. Dari kedai kopi itu kelakar tadi dengan cepat
menyebar ke seluruh pojok kota, membuat yang mendengarkan maupun yang menceritakannya
kembali cekikikan.
Kalau ada orang yang mampir ke tokonya, sekadar melihat-lihat, pasti kena. Rayuannya maut,
membikin orang kesengsem. Dia pandai mengumbang hati calon pembeli, membuat mereka bangga
dan dengan begitu gampang mengeluarkan uang untuk membeli. Tak ada yang lolos dari perangkap
kata-katanya yang membujuk.
“Ah,” katanya tersenyum seraya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri,
mematut-matut kopiah di kepala tamunya. “Aimak jang, macam Soekarno kau,
ah….” Dibandingkan dengan seorang presiden yang gagah, tentu hati orang itu pun
kontan luluh dibuatnya.
Suatu ketika, di depan tokonya mondar-mandirlah seseorang yang kelihatannya sedang berpikir
keras. Secepat kilat datanglah ilham menyambar Haji Johansyah Kuala. Dengan hangat dia ajak
orang itu masuk ke tokonya.
“Nampakku adik seperti kebingungan. Ada apa rupanya?” tanyanya dalam dialek
Melayu.
“Tak ada apa-apa.”
Tahu kalau orang itu datang dari luar kota, Haji Johansyah Kuala berkata: “Begini. Ini,
ada can [dari bahasa Inggris chance]. Bisa awak carikan lintah barang dua ember
besar?”
“Ah, bisalah, kenapa rupanya?”
“Itu,” katanya menunjuk ke arah apotek yang terletak tak jauh di persimpangan
jalan. “Sudah lama apotek itu mencari-cari lintah, bakal obat. Kalau mau, bawalah
barang beberapa ember. Jangan lagi awak tanya, bawa sajalah langsung ke situ….”
Percaya. Orang itu cepat-cepat pulang ke kampung. Pergilah dia ke rawa-rawa mencari sarang
lintah. Dicemplungkannya kaki sampai sebatas paha, menunggunya beberapa lama, maka
bergelayutanlah lintah di kakinya itu. Dia tinggal memungut. Tak sampai setengah hari
terkumpullah dua ember besar lintah. Dengan perasaan enteng orang itu menenteng lintah tadi
ke kota, dan membawanya ke apotek di persimpangan jalan tadi.
“Hah…?! Pak Haji Johan yang menyuruhku membawa kemari. Hah…?! Haji dia,
mana mungkin mambongak [berbohong]. Katanya, sudah lama Bapak mencari-cari lintah,”
tangkis orang itu ketika pemilik apotek terduduk karena terperanjat melihat dua ember penuh
lintah bergerak mengingsut-ingsut menjijikkan.
Begitu mendengar nama Haji Johansyah Kuala, wajah pemilik apotek cepat berubah dari kaget
menjadi senyum yang ditahan. “Kena aku…,” gerutunya dalam hati. Tanpa
banyak pikir langsung dia bayar. Orang dari kampung itu pulang dengan kantong yang padat.
Sementara si pemilik apotek harus mencari seseorang untuk menyingkirkan ribuan lintah tadi.
Satu yang tidak akan dikerjakan pemilik apotek itu, menceritakan pengalamannya kepada orang
lain. Tetapi, buat Haji Johansyah Kuala kejadian yang dia rancang itu harus selekas mungkin
disampaikan kepada seluruh warga kota. Sorenya, dia mampir ke kedai kopi. Dan seisi kota pun
terbahak-bahak dibuatnya.
Lelucon terkadang memakan tuannya. Kami, anak-anak di perguruan Gubahan Islam, suatu hari
datang menyampaikan keluhan kepadanya. Pasalnya, guru mengaji kami, Haji Saibun Keramat,
terlalu keras. Tangannya tak lepas dari cambuk. Keliru sedikit saja, salah melafalkan H
kecil menjadi H besar, misalnya, cambuk rotan itu menyambar lengan atau paha.
“Ah, mudah nya itu. Ambil kalian cambuknya itu, surukkan,” kata Haji Johansyah
Kuala enteng.
Kami pulang. Dengan nekat cambuk rotan yang selalu mengancam itu dicuri oleh seorang teman.
Teman yang pemberani itu pula yang menyuruk-nyuruk masuk ke toko Haji Johansyah Kuala dan
menyembunyikan cambuk di kolong mejanya. Tempat pengajian geger. Haji Saibun Keramat mogok.
Berhenti mengajar, tak apa-apa, toh bukan aku yang rugi, aku tak dibayar, katanya dalam
hati. Dia hanya mau mengajar lagi kalau cambuk itu dikembalikan. Kami, anak-anak, tak
kehilangan akal. Berangkatlah kami ke kedai kopi dan membocorkan kabar kalau cambuk itu
disembunyikan Haji Johansyah Kuala di kolong mejanya.
Kota kecil kami terkekeh-kekeh mendengar Haji Johansyah Kuala yang menyembunyikan cambuk
rotan Haji Saibun Keramat. Bagi kami, anak-anak di Gubahan Islam, lelucon ini membawa
berkah. Entah apa yang dikatakan pedagang kopiah satu-satunya itu. Nyatanya guru mengaji
kami sudah tidak mengamang- amangkan cambuknya lagi.
Ayahku juga pernah kena. Dan aku tahu mengapa Haji Johansyah Kuala memilihnya sebagai korban.
Ayah memang satu-satunya pedagang yang bisa bersaing dan paling maju, sekalipun di
sekelilingnya para pedagang Tionghoa. Tetapi, kedekutnya bukan main. Bergaul, mampir di
kedai kopi tak pernah mau. Suatu pagi, ketika aku membuka pintu hendak menyapu, di kaki lima
menimbun kangkung, membenteng seperti bukit. Sehingga orang tak bisa lewat. Tertegun
sebentar, aku pun tahu ini perbuatan siapa. Untuk pertama kali aku melihat hidung ayah, yang
besar seperti hidung Yahudi, memerah, kembang kempis, dengan tawa yang tertahan, membuat dia
jadi sosok yang ramah dan murah hati.
“Udahlah, kalau bukan ulah Si Haji Johan, siapa lagi,” katanya dan memerintahkan
aku menyingkirkan kangkung itu. Diperlukan enam becak untuk memindahkannya ke pasar. Sesaat,
dalam jarak sekitar lima puluh meter, dari balik tiang toko kopiah satu-satunya di kota
kami, menyembul separuh wajah. Aku tahu itu pasti Haji Johansyah Kuala yang sedang menikmati
skenario yang dia tulis. Dan sebentar lagi kedai kopi akan riuh- rendah dan seluruh kota
tertawa.
Seumur hidupnya hanya sekali dia ditimpa duka. Pada akhir tahun 1965 tentara datang
mengambilnya dan menahannya beberapa bulan. Tuduhannya: dia menyumbangkan kopiah untuk
pementasan teater guna meramaikan ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Dalam adegan teater
itu tampil Soekarno dan Hatta yang berkopiah, memproklamasikan Indonesia merdeka. Dicekam
ketakutan, bertahun-tahun kota kami murung. Diam-diam kami sadari betapa berharganya tawa,
hikmah hidup yang diturunkan Tuhan dan dijaga Haji Johansyah Kuala selama berpuluh-puluh
tahun dalam hidupnya. Sementara kekuasaan yang lalim membungkamnya.
Jasad Haji Johansyah Kuala dibaringkan di atas lantai kereta jenazah yang terbuat dari
sebilah papan lebar, dari batang pohon pilihan, yang ditebang di rimba Nantalu. Empat roda
sepeda menjadi alat peluncurnya. Di belakang, mengiringi para pembaca salawat, yaitu
orang-orang pilihan, teman-teman dekatnya, yang tahan tidak akan tersenyum, apalagi tertawa
sepanjang perjalanan menuju pekuburan. Suasana duka memang terasa menindih. Tetapi, ada
perasaan lain yang lebih mengimpit: kehilangan seorang penghibur dengan lelucon-lelucon yang
bisa menjadi bahan tertawaan berbulan-bulan lamanya.
Mereka yang pernah jadi korban dalam lelucon-leluconnya bergerombol di bagian tengah prosesi.
Di bagian iring-iringan ini suasana duka bercampur gelitik tawa amat terasa. Di antara
mereka kulihat bekas guru mengajiku. Juga ayahku, dengan hidungnya yang besar memerah, bibir
yang dikulum menahan senyum, supaya jangan sampai pecah menjadi tawa. Sebentar-sebentar
mereka saling berbisik, kemudian nyengir. Wajah memerah dikilik kenangan pada lelucon
almarhum.
Aku ingat, ribuan penduduk kota mengantar penganjur Islam paling berpengaruh, Haji Hubban
Haitami, ketika dia meninggal. Tetapi, untuk kehilangan yang satu ini, tidak hanya ribuan
pelayat, jantung kota pun ikut berhenti dibuatnya. Untuk pertama kali orang-orang Tionghoa
menutup rumahtoko mereka sebagai tanda duka atas kehilangan seorang haji, yang buat mereka
tidak hanya menenteramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan
permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah.*
Audiobook
Surat Undangan
Sekitar jam empat sore mereka mengetuk pintu. Istriku yang menyambutnya. Suara seorang
laki-laki aku dengar menanyakan apakah aku ada di rumah. Kudengar juga suara istriku
mengatakan, ya aku ada di rumah. Dan suara berikutnya, istriku menyilakan tamu tersebut
duduk, sementara istri memberitahukan kedatangannya kepadaku.
Aku pun keluar kamar. Orang yang tak kukenal sudah duduk dan melemparkan senyum kepadaku.
Ternyata ia ditemani oleh Pak Marjan, seorang ketua RT dari wilayah yang berbeda. Ketua RT
tersebut dikenal sebagai kepala keamanan di tingkat rukun warga. Pak Memet, ketua RT di
wilayahku, juga ikut. Tapi ia tidak berbicara.
”Saya mengantarkan karena takut keliru,” kata Pak Marjan.
”Pak Bagus, ini ada surat undangan.” Demikian tamu itu menyodorkan surat ukuran
setengah folio, stensilan. Aku membaca surat tersebut.
Aku sudah tahu roh surat itu. Tulisannya sudah tidak begitu penting bagiku sebab tulisan itu
bisa berbohong dan mengandung kebohongan yang merupakan watak dari pengundangnya. Aku sudah
cukup lama menelan pengalaman memaknai secara lahiriah bentuk dan bunyi huruf yang ternyata
sangat berlawanan dengan roh yang menghidupinya.
”Boleh membawa perlengkapan?” tanyaku tenang.
”Tidak usah. Cuma sebentar saja,” jawab tamu itu.
”Kalau begitu, saya ganti baju saja. Tidak sopan pakai pakaian begini.” Aku
memakai kaus oblong dan celana panjang yang lusuh, yang warnanya sudah pudar. Tanpa menunggu
jawabannya aku pun masuk kamar dan mengganti baju dengan baju tangan panjang, kaus singlet
diganti dengan kaus oblong, pakai kaus kaki, celana dalam baru, sapu tangan tidak lupa. Dan
semua isi dompet kutinggalkan, kecuali uang beberapa ribu saja. Kartu SIM kutinggalkan,
takut hilang di tengah jalan, atau di tempat tujuan.
”Surat ini dibawa?” tanyaku kepada penjemput sambil menunjukkan surat undangan
tersebut.
”Ya dibawa sebagai bukti,” jawabnya.
Aku pamitan kepada istri yang sedang menggendong anak kami yang baru berumur empat bulan.
Mukanya pucat dan matanya kosong. Aku mencium dahinya.
”Sabar Mam.”
Tamu itu, dan kedua pak RT, berpamitan bersamaan. Sesampai di halaman, ternyata ada tiga
orang lainnya. Seorang baru keluar dari mulut gang di tepi rumahku, seorang berada di depan
rumah, dan yang seorang lagi datang berlari-lari dari ujung jalan di depan rumah kami.
Rupanya ketiga orang lainnya itu memencar. Salah seorang kemudian menghidupkan mesin mobil
Kijang dan menyilakan aku duduk di bangku kedua, diapit oleh dua orang dari mereka.
”Ke mana kita Pak?” tanyaku sebab dalam surat undangan itu tidak ada alamatnya.
”Nanti juga tahu,” jawabnya singkat. Aku pun diam sambil mengenali jalan yang
sedang ditempuh.
Dengan jawaban itu, tersirat peradaban dan budaya yang dianutnya. Tersirat posisinya dan
posisiku, serta posisi perangkat masyarakat yang lainnya. Peradaban dan budaya seperti ini
sudah berlangsung puluhan tahun di negeri ini, yang perangkat pemerintahan dan masyarakatnya
lengkap. Ada kejaksaan. Ada Mahkamah Agung. Ada polisi. Ada lembaga-lembaga masyarakat yang
pretensius membela masyarakat. Ada tumpukan buku perundang-undangan yang nafasnya melindungi
masyarakat tetapi di dalam praktiknya memperdayakan masyarakat. Jawaban itu sudah cukup
bagiku.
Akhirnya sampailah aku di tujuan. Aku diantarkan ke sebuah ruangan kosong.
”Bagus, tunggu di situ,” kata salah seorang dari mereka yang mengantar.
Dengan sopan aku duduk di sebuah kursi di ruangan yang kosong. Ada tiga meja dan
masing-masing meja mempunyai dua kursi saling berhadapan yang dipisahkan oleh mejanya. Pukul
16.35. Jam di dinding juga menunjukkan waktu yang sama. Kudengar suara langkah orang di
ruang sebelah. Suara banyak sepatu melangkah. Tapi tidak terdengar suara manusia. Juga tidak
ada suara radio atau televisi. Suara mobil di jalanan sesekali terdengar. Suara mobil masuk
atau keluar halaman sesekali terdengar juga. Tiba-tiba suara orang tertawa memecah kesepian.
Suaranya agak jauh, yang jelas bukan dari kamar sebelah. Lampu yang bergayut dari
langit-langit ruangan belum menyala. Detik ke menit, menit ke jam, terus berjalan. Aku tetap
duduk. Tidak ada yang datang. Suara sepatu pun sudah tidak terdengar. Juga suara mobil. Juga
suara orang tertawa sirna. Kutempelkan sebelah tangan menutup kuping, jari-jari dipukul
suara detak jantung dan aku mendengarkannya, berdetak besar dan cepat.
Tak ada suara lain. Sepi mencekam.
Tetapi tidak lama kemudian terdengar suara ramai langkah sepatu. Disusul suara orang memberi
perintah mengatur barisan. Disambung suara memberi komando. Kemudian suara sepatu ramai. Aku
masih duduk sendiri di ruang kosong. Aku tidak mau melihat jam. Keringat membasahi tubuh.
Tidak ada AC juga tidak ada kipas angin yang hidup. Remang malam turun menambah senyap.
Sementara aku duduk sendirian, aku teringat dengan mahasiswa-mahasiswi di Flinders University
yang pernah berakrab-akrab dengan aku ketika mengunjungi Adelaide. Aku teringat teman-teman
yang menyambutku di Melbourne. Pada malam harinya diadakan pesta di taman. Daun kemerisik
kuinjak, bulan sepertinya membukakan kedua tangannya untuk menyambutku dengan pelukan
hangat. Langit biru dan angin segar musim gugur. Aku juga teringat dengan peneliti perempuan
yang menerimaku di Canberra, mengajakku menginap di rumahnya. Anak perempuannya suka
menggesek biola dan aku mendengarkannya dengan tekun. Seorang jurnalis perempuan yang pernah
gentayangan di Indonesia menyediakan tumpangan di rumahnya di Sydney. Ketika ia bekerja, aku
mengasuh anaknya yang diperoleh dari lelaki Vietnam. Muncul juga wajah-wajah gelap pekak
berdaki kaum Harijan, kasta paria tak tersentuh di Madras yang sempat aku ajari akupresur.
Aku teringat dengan petani tanpa tanah di Koita di selatan Dhaka, Banglades, yang kukunjungi
beberapa hari, untuk latihan teater dan membantu mengobati lututnya yang bengkak dengan
akupunktur. Aku teringat kawan dari Singapura yang meringkuk masuk tahanan sesudah pulang
dari Banglades, demikian juga seorang pemain teater dari Filipina, yang langsung dijemput di
bandara dan tak ketahuan rimbanya. Hidup kembali wajah-wajah teman sekelas yang berasal dari
berbagai negeri ketika berada di Berlin. Nonton musik klasik beramai-ramai dan juga ikut
merobohkan Tembok Berlin. Pohon-pohon ligir, bulan telanjang dan dingin tengah malam tidak
membuat aku kelelahan. Gigil segar menyemangati, yang tak pernah kurasakan di negeri ini.
Kebebasan. Terasa jengkelku bangkit kembali terhadap tingkah laku orang di Taiwan dan juga
di Hongkong. Aku tidak senang di kedua negeri itu. Aku teringat dengan pengarang tersohor
dari Malaysia yang sangat ramah, di Kuala Lumpur mendampingiku membahas bukuku yang tak bisa
terbit di tanah air. Tanpa kusadari muncul wajah kawan perempuan di Amsterdam yang
memboncengku dengan sepedanya pada malam gerimis untuk mengunjungi seorang temannya
”manusia perahu”. Terbayang etalase perempuan pekerja seks di Hamburg dan
Amsterdam, bibirnya senyum tapi mungkin hatinya perih. Banyak lagi yang hidup menyeruak di
dalam otakku selama aku menunggu di ruangan kosong yang lampunya belum menyala meskipun
remang-remang sudah menyelimuti alam. Mengapa mereka hidup kembali di dalam kesunyianku ini?
Mereka hadir menyaksikan, apa yang akan aku jalani di sini? Rasa haus kuobati dengan menelan
air liur.
Tiba-tiba seorang laki-laki masuk. Ia menyalakan lampu.
”Selamat malam Pak.” Aku mendahului.
Ia tidak menyahut. Ia menyeret kursi dan duduk di hadapanku. Ia merogoh sesuatu di pinggang
dari balik bajunya. Ia meletakkan pistol di atas meja.
”Kalau Pak Bagus mati di sini tak ada artinya,” suaranya tajam menukik bagai
bayonet ke jantungku.
Aku mengangguk.
”Di sini tidak ada Pancasila.” Suaranya menggelegar mengagetkan.
Aku mengangguk terlebih karena terkejut.
”Ini Blitz-krieg.” Suaranya lagi. Aku melihat ludahnya yang meleleh di tepi
bibirnya sudah berubah menjadi darah.
Aku mengangguk sambil mendoyongkan tubuh ke belakang.
”Apa yang bisa saya bantu?” tanyaku pelan dan sopan, sambil menahan napas. Aku
ingat bahasa Inggris, ”What can I do for you?”
”Kamu jangan mengajari aku.” Suaranya menyobek malam sekeras tangannya memukul
meja. Aku terperanjat tetapi tetap duduk tenang di kursi. Kupingku mendengar teriakannya
seperti gonggong anjing. Mataku yang memandangnya dengan ketakutan melihat tubuhnya yang
kekar dengan baju safari warna polos berubah menjadi herder. Giginya tampak memanjang dan
mulutnya menyerupai moncong. Aku mengusap mataku. Tapi apa yang kulihat tidak berubah.
Suaranya yang terus-menerus terdengar sudah berubah, bukan lagi suara manusia. Aku mengusap
kupingku, tetapi tetap yang kudengar gonggong anjing.
”Kenapa ia berubah?” aku bertanya sendiri
Tidak berapa lama terdengar suara langkah sepatu datang. Entah berapa orang, atau berapa
ekor, aku tidak tahu lagi.
Sejak malam itu, aku berada di kebun binatang tanpa kerangkeng. Ketika aku tidur, tikus
besar-besar berlarian di tubuhku. Terkadang sewaktu terlena ujung jariku digigitnya sehingga
tikus dapat mencicipi rasa darahku. Aku bermain silat mengusir nyamuk yang tidak tahu di
mana keberadaannya sebab gelap gulita. Kecoak lalu lalang juga di atas tubuhku. Terkadang di
tengah malam ada siluman berujud ular-ular mematukku sehingga aku menggeliat-geliat, membuat
sesak napas, tersengal-sengal dan batuk tak berkesudahan. Patukan ular itu menyengat dan
mengalirkan bisanya ke sekujur tubuhku sehingga aku menggeliat-geliat tanpa kendali. Pada
saat bersamaan dengan muncratnya raung dan gonggongan anjing, terasa darahku diisap lintah.
Aku tidak bisa lagi membedakan mana anjing, mana ular, mana kecoak, lintah, dan tikus.
Mereka muncul terkadang bersamaan, terkadang sendiri-sendiri, menggeledah seluruh organ
tubuhku, tulang-belulangku, tengkorak, pancaindraku, sampai ke rambut dan kukuku.
Alhasil, setelah hampir dua minggu, pintu keluar barak itu dibuka. Aku boleh pulang setelah
anjing-anjing, tikus dan kecoak, nyamuk, lintah dan semut menggerayangi tubuh, menciumi bau
keringatku, ingus, kencing ludah, bahkan mencicipi darahku untuk mencari jejak hantu yang
diduga telah menyelusup ke tubuhku, ke organ-organ tubuh dan mengalir di cairan darah,
sperma, getah bening, yang telah menjadi kekuatan yang memboyongku, menerbangkanku
berkeliling dunia. Perangai, tindak tanduk hantu itu telah melanggar semua tatanan keamanan,
dan menerobos lingkaran-lingkaran kawat berduri yang berlapis-lapis di nusantara. Mereka
mencari hantu komunis itu pada diriku, tetapi tidak menemukannya. Sebab cucu cicit hantu itu
sebagian bersemayam dan tertawa terkekeh-kekeh di dalam batok kepalanya sendiri, sedangkan
induknya bertelur terus di dalam sarangnya di Senayan.
Aku melangkah meninggalkan barak kecil itu, masuk dan mengembara di dalam barak yang lebih
luas, dengan kawat berduri berlapis-lapis, di tanah airku.
Audiobook
Tarian Terang Bulan
Tubuh Ratri bergetar turun dari taksi, mengenakan kruk di bawah ketiak tangan kanan.
Memandang sejenak bias purnama di atas gedung-gedung kota lama. Bimbang. Termangu.
Menggenggam tanganku. Ratri menyatu dengan cahaya bulan yang samar di antara kelelawar yang
terbang di atas atap-atap bangunan tanpa penghuni. Bangunan-bangunan tua, gelap, dan
tersia-siakan sepanjang musim membuatku terhenyak, terkesima.
Masih seperti sedia kala, kota lama yang ditinggalkan penghuninya diramaikan dengan cericit
kelelawar. Perempuan-perempuan berdandan seronok menggoda lelaki lewat. Pedagang berlampu
minyak redup di sudut-sudut gang menanti pembeli. Bau lumut lembab di dinding-dinding
bangunan tua yang mengelupas tajam menyengat. Aku tersekap ke masa silam yang tertimbun
berbagai kenangan. Di antara perempuan-perempuan yang turun dari mobil beraroma harum dengan
ketenangan yang memantul dari wajah mereka, Ratri tetaplah wanita yang menjadi pusat
perhatian karena kehalusan pancaran wajahnya. Ia serupa cermin yang menyimpan purnama.
Beribu-ribu purnama yang pernah singgah di kota lama terpendam dalam wajahnya.
“Mestinya aku menari mengiringi resital piano malam ini,” kata Ratri, yang
wajahnya memancarkan keteduhan bulan. Kulitnya bening, rambutnya lurus sebahu,
menyempurnakan kecantikan wajahnya-sebagai wanita yang lahir pada tengah malam purnama.
Aku kehilangan kesanggupan untuk menghiburnya.
“Lama aku mempersiapkan diri untuk bisa mencapai pentas hari ini,” kata Ratri,
“sampai datang malapetaka itu, pesawat yang kutumpangi tergelincir di bandara, kaki
kananku remuk dan mesti diamputasi.”
“Barangkali kau akan menemukan cara untuk tetap menjadi penari,” balasku.
Ratri menyembunyikan kegelisahan yang mahadahsyat di balik wajah lembutnya, wajah yang
memendam senyum bibir merah menyala. Rambutnya lurus sebahu, disusupi cahaya bulan.
Kami memasuki ruang pertunjukan. Cahaya serupa pancaran purnama menerangi piano di tengah
panggung. Sang pianis setengah baya yang sempurna ketampanannya berdiri, membungkuk hormat,
menanti tepuk tangan mereda. Panggung dalam kesunyian yang agung. Sang pianis tersenyum,
berlinang air mata. “Saudara-saudara sekalian, di malam terang bulan ini, mestinya
saya tak bermain piano sendiri di sini. Mestinya saya ditemani seorang penari kenamaan kita,
Ratri Purnamasidhi Dewi. Tapi sayang, sebuah kecelakaan pesawat terbang telah menyebabkan
kaki kanannya mesti diamputasi. Saya persembahkan resital piano ini padanya sebagai rasa
simpati yang mahadalam.”
Ratri berdiri, dengan kruk di bawah ketiak tangan kanannya, membungkuk hormat pada penonton,
yang memandanginya dalam sunyi, dalam kegagapan.
“Saya berharap, suatu saat, pada terang bulan macam ini, di gedung pertunjukan ini,
bisa bersamanya untuk menuntaskan harapan pentas yang urung malam ini!” Sang pianis
itu mengusap lelehan di sudut matanya. “Hadirin sekalian, terimalah persembahan saya
yang pertama!”
Cahaya yang menerangi gedung pertunjukan padam. Tinggal redup lampu yang terpusat di tengah
panggung, terpusat pada piano dan sang pianis. Dengan mata terpejam, pianis itu
memperdengarkan alunan musik yang menyihir hadirin di gedung pertunjukan kota lama. Ratri
menikmati alunan musik itu dengan tubuh yang tertahan. Lama-kelamaan, ia tampak menahan
penderitaan yang munculnya dari dalam dirinya. Aku menyaksikan kelembutan wajah yang
tersiksa.
DI luar gedung pertunjukan, usai semua penonton menyalami sang pianis, Ratri mengasingkan
diri, menyepi, dan menghindar bertegur sapa dengan banyak orang. Aku mengikutinya dan
berharap ia akan mengadukan kesedihan hatinya. Tapi ia berhenti melangkah.
“Biarkan aku sendirian. Aku ingin berjalan-jalan,” pinta Ratri.
“Apa kau memang tak lagi perlu teman?”
“Bahkan suami pun tak kuperlukan kehadirannya saat ini. Aku benar-benar ingin
sendiri.”
“Apa kau tak ingin menemaniku minum?”
Tersentak, dia mempertimbangkan permintaanku. Aku tahu, dia sulit menolak ajakanku. Apalagi
terang bulan begini, berbagi cerita di sebuah warung minum kesukaan kami, sambil
berbincang-bincang, dia bisa larut dan suntuk. Dan purnama baginya membawa kenangan masa
kecil ketika kami masih suka bermain petak umpet. Pada saat aku bersembunyi di balik semak
belukar tanpa sengaja melihat Ratri kencing persis di depanku. Tubuhku yang bersembunyi di
balik perdu bisa mengawasinya dengan sangat dekat. Bulan berkilauan di atas semak-semak dan
perdu saat itu. Mendengar aku tertawa tertahan, dia menyergapku dengan seruan marah,
“Kurang ajar! Kamu melihatku sedang pipis! Kelak kamu harus menjadi suamiku!”
Tapi dia sendiri, yang ketika tumbuh dewasa menjadi seorang penari cantik, memilih Andre
sebagai suaminya dan berpamitan padaku, “Aku tak mungkin menikah dengan lelaki lain,
kecuali dengan Andre.”
Saat dia memutuskan untuk menikah dengan Andre, kami duduk berhadapan di sebuah warung minum
kesukaan kami dalam lembut cahaya bulan purnama. Dia tampak sangat serius saat itu dan aku
menertawakannya. Tak tega aku mengungkit-ungkit janjinya di masa kecil, yang diucapkannya
dengan merengek hampir menangis.
Hati seseorang tak pernah tetap. Ratri tentu tak pernah memancangkan hatinya pada suatu janji
masa kecil, sementara keinginannya ketika dewasa mengalami perubahan. Juga saat ini, ketika
ia menolak permintaanku untuk bersantai di warung minum kesukaan kami, aku mesti
menghormatinya. Ia naik taksi yang tadi membawanya ke gedung pertunjukan kota lama ini.
Rembulan pudar saat tengah malam ketika gedung pertunjukan telah menjadi sepi dan kota lama
kembali pada kesunyiannya yang merapuh. Kelelawar-kelelawar makin banyak berseliweran di
atap-atap gedung tanpa penghuni. Perempuan-perempuan penghibur, dengan bedak tebal, dengan
langkah penuh godaan dan penantian yang letih, masih berlenggang di jalan-jalan kota lama.
Andre menghentikan mobilnya, menghampiriku. Wajahnya pucat berembun, menampakkan kecemasan.
“Kamu bertemu Ratri?”
“Dia sudah lama meninggalkan gedung pertunjukan,” balasku. Lampu gedung
pertunjukan di kota lama ini dipadamkan. Pintu gedung yang tinggi dan tebal ditutup. Dikunci
dari luar. Sama sekali tak menyisakan kesan baru saja digunakan sebagai tempat pertunjukan
resital piano yang mahadahsyat.
“Mestinya aku tak melepaskannya pergi sendiri. Dia sangat menderita kehilangan sebagian
kaki kanannya yang indah,” gumam Andre. Ditinggalkannya aku begitu saja dengan langkah
limbung, langkah pencarian yang sia-sia. Tampak dia sangat letih dan gusar.
Sebuah rumah tua, tak terawat, di sebuah desa di lereng pegunungan-milik almarhum kakek
Ratri-hampir-hampir tanpa cahaya. Hanya ada sebuah ruangan yang terang benderang meski hari
menjelang dini hari. Ada bayangan perempuan di dalamnya. Di depannya sebuah kanvas, di
tangan kanannya kuas, dan di tangan kirinya lempeng palet berisi cairan cat minyak. Ia terus
melukis. Aku tahu, pasti Ratri sedang melukis. Pada masa kecil dulu, dia paling senang
menari. Di mana pun ia selalu menggerakkan tangan, kaki, dan lehernya untuk menari. Dalam
sepi ia suka melukis, dan biasanya melukiskan wajahnya dalam kesedihan, gambar dirinya
sendiri, yang berperangai murung, marah, atau menangis. Apakah kali ini ia juga melukis
kesedihannya yang mengerak sampai ke dasar hati?
Aku tak tahu, apakah ia akan marah, menangis, atau mengusirku. Sunyi pelataran rumahnya
menggetarkan. Sunyi ketukan pintu mendebarkan. Tetap saja rapat setangkup pintu kusam tua di
hadapanku. Ratri tak berkenan membukakan pintu itu untukku. Berada di pelataran, aku
memandangi sebuah rumah tua yang tak terawat, kotor, kusam, dengan dinding mengelupas, dan
kerisik sayap kelelawar mencari tempat bergantung di bawah lajur kayu usuk, menyungkup
Ratri.
Dari jendela yang terbuka menjelang dini hari, ia seperti menyerahkan peristiwa dalam rumah
tua itu pada cahaya bulan dan alam. Aku mendekati jendela yang terbuka itu. Dia melenyapkan
diri dalam sapuan kuas dalam kanvasnya, seperti mencari dirinya sendiri di masa silam. Dia
melukis dirinya sendiri dalam kecantikan, kemolekan, pancaran gairah menari. Kakinya
ramping, singsat, kukuh, dan lincah.
Di depan jendela aku memandangi Ratri. Ia berada di sebuah ruang yang dipenuhi dengan
lukisan-lukisan dirinya, dalam kecantikan mahasempurna. Tanpa cela. Tanpa cacat. Ia
menjelma: bidadari, seorang dewi, atau seorang putri yang mengundang dambaan pangeran tampan
dermawan.
“Aku tak mengundangmu kemari,” kata Ratri, ketus.
“Aku pun tak ingin kemari. Aku hanya ingin memberitahukanmu, Andre mencarimu.”
Tak ada keinginan Ratri untuk mengundangku ke dalam rumahnya. Dia membiarkanku tetap berdiri
di bawah jendela, terpisah tembok tua dengannya. Aku memandanginya dari jendela yang aus
termakan rayap. Ia terus melukis dan tak mau kehilangan goresan kuasnya.
“Dia berpura-pura kehilanganku,” tukas Ratri, seperti ingin mengejek.
“Telah lama ia ingin menceraikanku. Telah lama ia ingin menyingkirkanku dari
kehidupannya. Kalau ia memang mencemaskan kepergianku, tentu akan menyusulku kemari. Aku
yakin, dia tak ke mana pun, kecuali berpura-pura mencariku. Pada akhirnya aku harus
merelakan Andre, seperti aku merelakan kaki kananku terpotong.”
Suara Ratri terluka, dalam, dan tak terselubung kerahasiaan. Dia kehilangan pandangan yang
merajuk seperti pada masa menjelang remaja dulu saat kami sering menghabiskan waktu untuk
bermain bersama di pelataran di balik semak belukar di kebun. Aku tak tega membiarkan Ratri
sendirian. Tapi aku mesti meninggalkannya. Bagaimanapun aku tak ingin dia terus-menerus
meradang dalam luka, mimpi, dan dendam masa lalunya. Aku melihat begitu banyak lukisan
seorang putri yang menari dalam cahaya bulan dengan kesempurnaan kaki yang lincah dan mulus.
Menjelang dini hari, rembulan pudar, udara merembeskan embun. Aku berpamitan pada Ratri,
tanpa menoleh lagi, dan mendengar isak tangis yang tertahan, tersengal-sengal. Aku tak ingin
berpaling, menoleh, apalagi kembali menghampirinya. Lain kali barangkali akan kukunjungi
Ratri ketika luka hatinya sudah sembuh dan penyerahannya pada dunia tak dilapisi dendam. Di
gedung pertunjukan kota lama, ia bisa memamerkan lukisan-lukisannya, pada saat terang
purnama bulan-bulan mendatang.
Sebelum aku benar-benar menjauhi jendela kamar yang terbentang menyambut purnama, kudengar
percakapan Ratri dengan seorang lelaki. Tanpa menoleh, aku tahu pasti, itu suara sang
pianis. Terdengar merajuk dan menenteramkan.*
Pandana Merdeka, Desember 2004
Audiobook
Sesuatu Telah Pecah di Senja Itu
Mendadak semuanya menjadi begitu penting. Caranya menyingkirkan dengan sabar duri-duri ikan
di piringku, suaranya ketika melantunkan doa, wajahnya ketika diam memikirkan sesuatu. Ah,
ia selalu seperti itu. Sama dalam hal berpikir atau marah: diam. Dengan arah mata ke bawah
tertuju pada pucuk hidungnya dan kedua tangannya bertemu di mulut, seperti tengah membungkam
suara. Suatu saat ketika aku tanya mengapa, jawabnya, “Keduanya sama, jangan
tergesa-gesa supaya tidak ada yang terluka.”
Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana. Ia menyetrika sendiri pakaiannya, ia juga sering
memasak makanan untuk kami: dirinya, aku, dan Ratri, anak kami yang masih bayi. Seingatku,
ia tidak pernah marah dan bahkan bersuara keras padaku. Ia selalu bisa menunda, dan
membicarakannya dengan nada sareh di lain waktu. Suatu saat ketika aku tanya mengapa,
jawabnya, “Kanjeng Nabi tidak pernah bersuara keras pada istrinya.”
Aku bisa mengingat dengan jelas bahkan, ketika kami berdua baru melangsungkan pernikahan yang
sederhana, waktu itu aku sedang haid. Sambil menunggu aku selesai dari rutinitas perempuan
itu, ia menemaniku dengan cara mutih, hanya makan nasi dan minum air putih. Hingga tiba saat
kami melakukan hubungan saresmi, laku seksual suami-istri, ia mengajakku menundukkan kepala,
berdoa. Ketika aku sudah mulai menampakkan tanda-tanda kehamilan, semenjak itu ia melakukan
puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak puasa, sampai Ratri lahir. Hampir sembilan bulan ia
melakukannya. Saat aku tanya mengapa, jawabnya, “Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai
seorang calon bapak.”
Tapi tidak tepat benar kalimat itu. Ketika aku nyidham, aku menginginkan ikan kali hasil
pancingannya. Waktu itu, malam menjelang pagi, ia dengan semangat berangkat berbekal senter,
golok, dan garan pancing. Pagi ketika aku bangun, ia sudah ada di dapur memasak ikan hasil
pancingannya, menghidangkannya untukku, dan sebagaimana biasa, menyisihkan duri-duri ikan di
piringku agar aku tidak kesulitan memakannya. Ketika kandunganku mulai membesar, ia sering
mengusap kandunganku sambil nembang lagu-lagu tentang kebajikan. Ketika aku tanya mengapa,
jawabnya, “Ia sudah bernyawa dan bisa merasa.”
Dan aku tidak akan melupakan peristiwa yang ini. Waktu itu kandunganku sudah sangat tua.
Soekarno datang ke daerah kami untuk kembali meneguhkan perlunya mengganyang Malaysia. Aku
dan suamiku yang merasa sebagai anak kandung revolusi datang juga. Sebagai seorang aktivis
politik yang disegani di wilayahku, seharusnya suamiku ada di jajaran kursi depan. Tapi ia
menolak. Kalau tidak karena aku hamil tua, tentu ia sudah memilih untuk berdiri di tanah
lapang bersama ribuan orang yang lain. Akhirnya kami duduk di kursi deretan belakang. Ketika
acara bubar, dan kami hendak beranjak pulang, seseorang menghampiri suamiku, ia bertanya
mengapa aku dan suamiku tidak meminta nama untuk calon bayiku pada Bung Karno? Dengan
pandangan mata berbinar ke arahku, suamiku menjawab, “Istriku yang lebih berhak
memberi nama anak kami. Ia yang merasakan penderitaan orang mengandung.”
Aku memberi nama anakku Wangi Ratri. Malam di saat aku melahirkan, dalam impitan pedih, dalam
samar-samar wajah suamiku yang mencoba ikut menguatkanku, aku mencium bau wangi. Sangat
wangi.
Aku hanya punya satu malam dalam hidupku. Malam penuh hujan di akhir tahun. Suamiku, dengan
linang air mata, memeluk erat. Ia tidak mampu mengatakan sepatah kata pun. Tapi gigil
tubuhnya dan kabar-kabar di luar memberiku isyarat kuat. Hujan turun di malam kepergian
suamiku. Dengan masih membopong Ratri aku menutup pintu. Hujan turun menderas di dadaku.
Tapi tidak di mataku. Tidak akan kubiarkan air mataku jatuh di wajah bayiku. Aku tidak ingin
menularkan kecengengan pada kuncup kehidupan.
Semenjak kepergian suamiku, hari-hariku adalah hari-hari penuh waswas dan ketakutan. Di
mana-mana aku mendengar kabar dan desas-desus yang membuat merinding. Rumah-rumah dibakar,
penculikan, pembunuhan yang dilakukan ramai-ramai. Pada pagi buta kuputuskan pergi pulang ke
rumah orangtuaku. Di sana kekhawatiran bukannya mereda. Semakin banyak orang yang mati dan
semakin banyak kudengar nama-nama orang yang kukenal mati. Aku masih menahan semuanya, dan
berharap tidak mendengar nama suamiku disebut dalam kabar-kabar buruk itu.
Hingga kemudian di pagi buta, aku dibangunkan oleh bapakku. Dengan segera kubopong Ratri
menuju ruang tamu. Aku berpikir, kalaupun toh aku harus mati, aku ingin mati di depan
bayiku. Kalaupun toh aku harus ’diambil’, aku ingin anakku bisa menyaksikan
dengan mata timurnya, aku, ibunya, tidak pergi dengan tetesan air mata.
Di ruang tengah aku hanya melihat ibuku, pamanku, dan seseorang yang datang adalah Pono,
teman dekat suamiku. Di depanku dan di depan orangtuaku, dengan suara pelan, Pono mengatakan
pesan suamiku. Melalui Pono, dapat kutangkap dengan gamblang pesan itu. Suamiku berpesan
supaya aku tidak berharap ia pulang, dan ia meminta agar aku bisa menyelamatkan hidupku dan
hidup anakku. Suamiku bahkan menyarankan agar aku menikah kembali dengan seorang sahabatnya
untuk bertahan dari situasi yang sangat sulit. Sebelum Pono pergi, aku masih sempat
menghentikan langkahnya di depan pintu, aku menanyakan kejujurannya tentang nasib suamiku,
apakah ia tidak akan selamat? Pono menggeleng kemudian bergegas pergi, menghilang. Aku
merasa hidupku ambruk saat itu, tapi air mataku tidak jatuh.
Aku dan suamiku adalah orang biasa. Bagian dari masyarakat yang saat itu dibakar oleh
semangat revolusi yang belum selesai. Suamiku hanya seorang guru yang sederhana dan dikenal
baik oleh masyarakat. Ia berteman dan bersahabat dengan banyak orang yang bahkan berbeda
pemikiran. Rumah kami, hampir tiap malam, menjadi tempat pertemuan baik untuk kepentingan
organisasi yang diikuti oleh suamiku, maupun untuk pertemuan dengan teman-temannya yang
lain. Di rumah kami yang sederhana, sering datang seorang mantri suntik yang sangat baik dan
seorang seniman yang juga sangat baik serta halus budi bahasanya. Mereka berdua adalah
orang-orang yang satu organisasi dengan suamiku. Pak Mawardi, mantri suntik itu, kudengar
mati dibakar massa di rumahnya, rumah yang sering dipakai untuk menolong orang sakit tanpa
pamrih. Sedangkan Sunardi, seniman yang pintar menari, yang wajahnya sangat ayu dengan
kebaikan dan kehalusan hatinya, konon ditemukan tanpa kepala di sebuah parit tidak jauh dari
rumah kami dulu.
Aku sungguh tidak tahu mengapa ada pembunuhan demi pembunuhan. Ketakutan ada di mana-mana.
Semua orang seperti punya taring, semua udara seperti bertelinga. Banyak orang hilang tanpa
sebab. Desas-desus terus membadai. Malam-malam semakin terasa mengeras. Aku mulai mendengar
desas-desus tentang kematian banyak perempuan. Aku mulai mendengar banyak perempuan yang
diambil menyusul suaminya. Cerita-cerita itu, duh….juga dilengkapi dengan
perlakuan-perlakuan keji. Bu Marni boleh mengirim makanan untuk suaminya setelah
’digilir’ para petugas. Seminggu kemudian suaminya mati karena kelaparan dan
siksaan di penjara. Mbak Rukmi menjual semua hartanya untuk ’membayar’ agar
suaminya keluar. Uang diterima petugas. Beberapa hari kemudian, ia baru tahu suaminya sudah
lenyap dari penjara itu.
Aku semakin waswas dengan keadaan diriku, terutama Ratri. Di masa-masa seperti itu, nyawa
begitu tidak berguna. Kehidupan sudah bukan lagi sesuatu yang patut dihormati dan dihayati.
Setiap orang bisa hilang dan mati kapan saja. Ia bisa mati hanya karena pernah datang di
suatu rapat. Ia bisa mati hanya karena pernah bergaul dengan orang yang dianggap berbahaya.
Ia bahkan bisa mati hanya karena sebuah suara dan telunjuk yang secara ngawur diarahkan
padanya, entah dari sudut gelap yang mana. Berbulan-bulan aku menanggungnya. Pada
malam-malam itu aku selalu menunggu dan berharap semoga malam itu bukan malam terakhirku.
Hingga kemudian Rahmat datang. Ia datang dengan wajah serba salah dan masygul. Rahmat adalah
sahabat suamiku dan sahabat Pono. Mereka bertiga berbeda organisasi politik, tetapi menjalin
persahabatan dengan baik. Rahmat anak seorang kiai yang cukup ternama di kecamatan lain.
Orangtuanya adalah kenalan baik suamiku dan teman baik bapakku.
Dengan ditemani kedua orangtuaku, aku menemui Rahmat. Dengan suara pelan, Rahmat menceritakan
pertemuannya dengan Pono beberapa bulan yang lalu. Pono membawa amanat dari mendiang suamiku
agar Rahmat bersedia menikahiku. “Saya tidak tahu harus bagaimana Mbakyu. Tapi apa pun
keputusan Mbakyu, saya manut.” Dan aku melihat air mata Rahmat menggenangi kedua
matanya. Mata sahabat suamiku yang santun dan saleh.
Sebelum itu semua terjadi, aku sudah memikirkannya. Mencoba memikirkan dengan jernih. Situasi
tidak kunjung membaik. Aku hidup tanpa suami dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Aku
butuh suatu pegangan, setidaknya lepas dari impitan ketakutan, rasa waswas, dan nasib yang
tidak menentu. Aku juga memikirkan Ratri.
Tetapi ketika aku hendak memutuskan, semuanya kembali sebagai sesuatu yang sangat sulit. Duh,
Gusti, mengapa pisau uji-Mu begitu landhep, begitu tajam memangkas dan memotong seluruh
kehidupanku. “Wuk Cah Ayu, kadang kala banyak jalan hidup yang tidak bisa kita pahami.
Hidup ini bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih. Ini bukan masalah senang dan tidak senang.
Tapi putuskanlah. Sebab hidup ini adalah sebuah keputusan. Juga mungkin yang berhubungan
dengan katresnan. Kamu tidak sedang berhadapan dengan kehidupan yang sewajarnya. Kamu
berhadapan dengan dunia binatang.” Bapakku dengan suara groyok, seperti menahan
tangis, mencoba memberi saran.
Aku mengangguk. Demi hidup ini sendiri. Demi Ratri.
Tahun-tahun awal pernikahanku dengan Rahmat adalah tahun-tahun yang paling sulit kupahami.
Semua serba canggung, di antara segala pernik kehidupan sehari-hari, dan kesedihan yang
sering menyelinap berkali-kali. Seluruh hal-hal kecil yang dulu kuanggap biasa tiba-tiba
menjadi penting. Satu kejadian kecil tiba-tiba seperti membuka kotak ingatanku. Langkah
kaki, suara orang bercakap-cakap, derit pintu, terutama jika hujan turun.
Bertahun-tahun aku hanya bisa diam dengan hati yang sering teriris hanya karena ada ikan kali
di meja makan. Rahmat bertindak dengan bijak, ia tidak pernah mengail ikan dan tidak pernah
makan ikan kali. Bertahun-tahun aku tidak bisa menyangkal suara-suara yang keluar dari mulut
Ratri, suara anak kecil yang renyah tiba-tiba bisa menggaungkan banyak kalimat yang
diucapkan oleh bekas suamiku. Dan bertahun-tahun itu pula, Rahmat tidak pernah menagih untuk
melakukan hubungan suami-istri. Ia sabar, banyak melayaniku, dan mungkin jauh di
perasaannya, aku tetap istri sahabat yang dihormatinya.
Berkali-kali pula aku meminta maaf pada Rahmat, mengaku berdosa sebab aku merasa sedang tidak
berbuat adil. Tapi ia tetap dengan kesabarannya yang khas, merasa sangat mengerti apa yang
aku rasakan. Menurutnya, lebih baik aku tidak berusaha melupakan semua itu. Aku harus
menerimanya, menerima seluruh hal termasuk kenangan-kenangan yang sulit dilupakan. Sebab
tanpa itu semua, aku tidak pernah sampai pada kehidupanku yang sekarang ini. Aku tumbuh
bersama seluruh peristiwa dan kenangan. Semua itu sah sebagai bagian dalam hidupku.
Dan aku mencoba menerimanya. Menerima keadaanku, menyadari bahwa semua itu pernah kulalui,
dan itu penting dalam hidupku. Aku mulai menerima bahwa mendiang suamiku sudah tidak ada
lagi. Aku harus menjalani kehidupanku selanjutnya. Dan aku tak hendak membuang seluruh
peristiwa bersama mendiang suamiku dari kenanganku. Tapi tentu aku tidak akan melupakan
mengapa peristiwa sedih itu menimpaku. Aku tidak tahu dosa dan kesalahanku, aku tidak tahu
dosa dan kesalahan mendiang suamiku. Seluruh peristiwa yang membuatnya pergi dariku tidak
akan kulupakan dan tidak akan kumaafkan. Aku bukan memendam dendam, aku hanya tidak
memaafkan.
Apa kesalahannya? Bukankah ia hanya seorang guru yang sederhana? Bukankah ia bermasyarakat
dengan baik? Ia tidak pernah melakukan kejahatan. Ia bukan pencuri, bukan perampok. Hampir
di seluruh hidupnya bahkan digunakan buat kebaikan dan memikirkan orang lain. Apa yang salah
dari mendiang suamiku, juga Mantri Mawardi, dan Sunardi?
Setiap kali rasa marah itu memuncak, Rahmat selalu berusaha menenangkanku. Ia mencoba
menuntunku untuk berdamai dengan masa lalu. “Percaya saja hukuman itu akan datang,
entah kapan dan datang dari mana. Tapi kalau kamu tidak mencoba berdamai dengan masa lalumu,
kamu akan rugi. Semua itu hanya akan membuat mereka terus berteriak menyoraki kehidupanmu.
Untuk yang seperti itu, aku tidak akan merelakannya.” Sambil berkata seperti itu,
Rahmat menatap tajam pada mataku. Saat itu. Untuk kali pertama, aku memeluknya, erat. Sangat
erat.
Pada akhirnya, aku bisa menerima itu semua. Bukan hanya tentang mendiang suamiku. Tapi aku
menerima Rahmat sebagai seseorang yang kupunyai dan kucintai. Jika hidup itu sendiri adalah
sebuah keputusan: diterima atau tidak, dilanjukan atau diakhiri. Cinta tidak lebih dari itu
semua. Mencintai pada akhirnya adalah sebuah keputusan. Dan karena sebuah keputusan, maka
berbagai pertimbangan sah menjadi landasannya. Pada akhirnya, toh cinta, sebagaimana banyak
hal yang lain: tidak turun dari langit yang gaib. Ia, cinta, hanya bisa diputuskan dan
dikerjakan.
Anak keduaku lahir. Seorang perempuan cantik, namanya Laila. Ia juga lahir di malam hari.
Kelahirannya membuatku semakin yakin dengan jalan hidup yang kutempuh. Kini ada semakin
banyak anak-anak harapan yang bisa kukerjakan. Kami bahagia.
Lalu datang senja itu. Beberapa hari sebelumnya, aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Aku
sering merasa tiba-tiba ada yang mengagetkanku. Aku merasa tiba-tiba ada mendiang suamiku di
dekatku. Aku merasa tiba-tiba sering kosong, mengerjakan sesuatu tanpa kesadaran.
Hingga benar-benar datang senja itu. Awalnya, Laila yang baru saja pulang dari sekolah sore,
memanggilku di dapur, katanya ada tamu. Aku bergegas ke depan, tapi aku tidak mendapati
apa-apa. Laila juga bingung. Aku nratab, deg-degan tak karuan, entah kenapa. Lalu aku
kembali masuk ke dalam, mencoba mempersiapkan masakan di meja makan dengan perasaan tidak
menentu. Laila lalu masuk lagi ke dapur untuk mengabarkan bahwa ada tamu, tamu yang tadi.
Dengan cepat aku keluar. Kali ini, aku benar-benar kaget.
Duh Gusti, Pono! Ia berdiri mematung di depan pintu. Sejenak menatapku, lalu menundukkan
kepala. Aku segera menggandengnya untuk masuk ke dalam. Aku membuatkannya teh hangat, tapi
perasaanku semakin tidak karuan. Sehabis mempersilakannya minum, pandangku kembali terhenti
di depan sosok yang sudah belasan tahun tidak hadir dalam hidupku. Ia jauh lebih tua dari
usia seharusnya. Tapi aku memakluminya. Hidup yang kejam tentu telah dilaluinya. Ia lebih
banyak diam. Setiap kali aku bertanya tentang kabarnya, ia hanya menjawab singkat dengan
kata-kata yang tidak jelas. Dan aku mencoba memakluminya. Hidup yang kejam membuatnya tidak
gampang mengeluarkan kata-kata. Ia lebih banyak melihat ruang tamu, perkakas yang ada di
sana, potret-potret di dinding. Ia seperti ingin menanyakan sesuatu, aku menangkapnya
sebagai pertanyaan terhadap Laila. “Ia anak keduaku dengan Rahmat. Namanya Laila.
Ratri, kakak Laila, sedang pergi dengan suamiku ke rumah neneknya. Tapi ia pasti pulang
malam ini. Kamu harus menunggu mereka.”
Pono diam. Tiba-tiba ia menggeleng cepat. “Tidak, aku harus cepat pulang.”
Aku agak terkejut dengan jawabannya. Aku merasa ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku.
Jangan-jangan…..Ah, tapi tidak. Mendiang suamiku sudah pergi. Semoga arwahnya tenang
di sisi Gusti Allah.
Pono bangkit. Dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya bisa mengantarnya sampai
pintu. Beberapa langkah dari pintu, Pono kembali menengok. Ia seperti ingin mengatakan
sesuatu. Tapi kemudian tetap urung. Ia kembali melangkah pergi. Tanpa kata-kata. Ketika
sampai di luar pagar rumah, Pono kembali menengok ke belakang, ke arahku. Benar. Aku sangat
yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Agak lama ia terdiam. Dan ia benar-benar
melangkah pergi. Senja membuatnya menjadi bayang-bayang, mengabur, lalu lenyap.
Sebuah kepastian menyergapku kuat. Mendiang suamiku belum meninggal dunia! Dalam ragu, dan
rasa tak tentu, aku melangkah keluar pintu rumah. Sampai di pelataran rumah, aku terhenti.
Ada sesuatu yang membuatku berhenti mengejar Pono. Aku seperti berada pada satu perbatasan.
Batas yang sangat rumit. Dadaku sesak. Senja menggelap di pelataran. Aku terguncang.
Tangisku pecah di pelataran. *
Audiobook
Warga Kota Kacang Goreng
Kota kami terletak di dataran tinggi di lereng Gunung Singgalang. Karena itu, hujan dan kabut
di sana seolah-olah turun sesukanya. Kadang-kadang pagi, siang, petang atau malam hari.
Adakalanya juga dari pagi sampai malam, ataupun sebaliknya-bahkan ketika kemarau mungkin
sedang meretak-retakkan tanah di kotamu.
Tetapi, karena sejak muncrat ke dunia sudah bergaul dengan cuaca serupa itu, warga kota tak
mengumpat ketika kabut mendadak turun dari bukit dan gunung, atau hujan tiba-tiba menderap
laksana suara kaki belasan ekor kuda. Paling-paling orang hanya bergumam, seperti menghadapi
anak yang nakal: “Ha, sudah turun pula si kaki seribu!” Lalu mereka kembangkan
payung, melenggang tenang-tenang di atas trotoar sambil bersiul, bercakap-cakap, atau makan
kacang goreng.
Betul. Berbagai pemandangan ganjil-lucu yang tidak bersua di tempat lain bisa kau temukan di
kota kami kalau Anda suatu ketika berkunjung ke sana. Meski cuaca cerah, orang-orang di
jalan-jalan kau lihat membawa payung atau mempertongkatnya, mirip dengan warga kota-kota
besar Eropa pada masa lalu. Dengan tongkat-payung itu pula mereka saling melambai dan
menyapa. “Hoi, apa kabar! Baik? Singgahlah dulu!”
Tetapi, jangan pula payung, sedang jas pun (yang dikukuhkan sebagai pakaian resmi sebab konon
menimbulkan kesan “lain” bagi yang memakai juga yang melihat), bukan suatu yang
istimewa di kota kami. Di mana-mana kau bisa saksikan kaum pria memakai jas. Tidak kecuali
para kusir bendi dan tukang kacang goreng yang duduk mencangkung di pojok-pojok jalan dalam
kabut, di belakang lampu semprong mereka yang temaram.
Dan, kalau kau tinggal lebih lama di kota kami, akan ahli pula kau menerka usia perkawinan
seseorang hanya dengan melihat jas yang dia pakai. Karena, walau kerap membungkus tubuh
mereka dengan jas, tapi jarang sekali pria kota kami membuat jas dua kali dalam hidupnya.
Kecuali, ya, kecuali lelaki-lelaki gatal atau yang punya istri lagi. Itu pula sebabnya anak-
anak muda kota kami lebih suka pakai jaket daripada jas, betapapun elok bahan dan potongan
jas itu-untuk menghindarkan salah tafsir.
Hal lain yang bakal membuatmu terheran-heran adalah tukang kacang goreng. Ya, di kota kami
hampir tak dikenal orang istilah pedagang, meski aktivitas seseorang berjualan, berniaga.
Tukang kerupuk tak selalu berarti orang yang membuat kerupuk, tetapi juga penjual kerupuk.
Begitupun tukang sate, tukang serabi, tukang serbat, tukang rokok, tukang emas, dan
seterusnya. Tidak jelas mengapa demikian. Aku juga tidak bermaksud membahasnya. Biarlah
masalah ini bagian ahli bahasa, juga sosiolog. Aku hanya ingin bercerita tentang mereka,
tukang kacang goreng dan penggemar makanan ringan itu.
Sekalipun kota kecil, tukang kacang goreng amat banyak di kota kami, seakan-akan sebagian
besar orang terpanggil lahir karena bakat itu. Mereka dapat ditemukan di mana-mana sejak
pukul lima petang hingga tengah malam, beberapa waktu setelah bubar bioskop. Mereka mangkal
di emper-emper toko, tikungan-tikungan jalan, muka perkantoran-perkantoran, depan asrama
tentara dan polisi, di muka rumah sakit, juga di depan gerbang-gerbang jalan menuju surau
dan masjid.
Tukang-tukang kacang goreng itu pakai jas, duduk berkelumun sarung atau melekat ke karung
goni kacang goreng mereka yang hangat. Lampu-lampu semprong mereka dari jauh mirip
bintang-bintang di langit, kedap kedip di balik tirai kabut dan gerimis. Empat atau lima
orang di antaranya juga mangkal di muka dua bioskop yang ada di kota kami. Berjajar agak
berjauh-jauhan di bawah papan reklame film, tidak saling tertawa layaknya pasangan suami
istri dilanda perang dingin.
Tentu ada hubungan erat antara tukang kacang goreng yang sangat banyak itu dan iklim kota
kami yang dingin, serta kegemaran orang memakan kacang goreng. Tetapi, apakah itu yang
menyebabkan warga kota kami subur-subur, perlu penelitian. Lagi pula, meski lazim satu
keluarga punya anak sembilan, sepuluh atau selusin, kota kami tidak pernah sesak karenanya.
Anak-anak muda segera berangkat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau bekerja
di kota lain dan wesel-wesel mereka berlayangan di awal-awal bulan memenuhi kantor pos. Pada
hari raya dan libur-libur panjang, pengirim-pengirim wesel yang rajin itu-yang sebagian di
antaranya tumbuh berkat uang kacang goreng-berlayangan ke kampung halaman menjumpai orangtua
dan sanak keluarga. Saat-saat itulah mereka tak lepas-lepas dari kacang goreng, tidak
ubahnya kekasih-kekasih yang melampiaskan rindu dendam setelah lama berpisah.
Alhasil, tukang kacang goreng tetap banyak di kota kami dan orang tak merasa rendah jadi
tukang kacang goreng. Malah bangga. Dalam KTP mereka pun tercantum: pekerjaan, tukang kacang
goreng. Dan, penggemar kacang goreng tidak pernah pula berkurang. Bahkan, sesudah lama
merantau pun kegemaran itu rupanya tidak hilang. Juga, meski sejumlah anak muda mengalami
pengalaman pahit akibat kacang goreng. Bertengkar, bahkan divonis putus oleh si gadis karena
kulit ari kacang goreng ikut menyelusup ketika bibir-bibir bertemu pada malam Minggu. Namun,
selera menyantap kacang goreng tak kunjung patah. Anak-anak muda itu seolah punya prinsip:
pacaran boleh putus, makan kacang goreng jalan terus.
“Habis, memang lain kacang goreng kota kita ini,” komentar para suami saat makan
kacang goreng di malam-malam dingin bergerimis. “Ini, lihatlah!” lanjutnya
melempar sebuah kacang goreng ke atas meja. Gemuk, panjang, sebesar jempol. “Di tempat
lain kecil-kecil kurus kulihat!”
“Memang,” sahut ibu-ibu di kota kami dengan sigap. “Tetapi, tetap belum ada
yang sanggup mengalahkan kacang goreng Mak Sanin!”
“Ah, kalau itu, jangan dikata lagi, tiada bandingan!”
“Ya, Mak Sanin adalah maestro kacang goreng!” jawab si istri bersemangat.
“Ibarat penyair, dia itu Chairil Anwar atau Amir Hamzah. Ibarat pelukis, dia Affandi.
Ibarat pencipta lagu dialah Gesang atau Ismail Marzuki. Ibarat… .
“… perempuan ia adalah engkau seorang!” potong sang suami buru-buru dan si
istri pun diam sambil tersenyum-senyum. Menyelusup manja ke pelukan suami.
Mak Sanin satu dari sekian banyak tukang kacang goreng di kota kami. Tokoh ini sangat populer
bahkan hingga kini, khususnya di kalangan kaum ibu. Selain karena kualitas kacang gorengnya
memang di atas rata-rata, perempuan kota kami menyukai lelaki itu karena dia tidak pernah
pakai jas baru. Sudah barang tentu jasnya pun telah lapuk, sebab dipakai setiap malam selama
bertahun-tahun, dan warnanya hampir tidak jelas lagi. Tetapi, istrinya pandai dan rajin
menyisik sehingga tak kentara benar tambal- tambalan pada jas yang dipakai Mak Sanin.
Agak berbeda dengan orang dewasa, terutama ibu dan kakak-kakak perempuan kami, kami anak-
anak justru takut pada Mak Sanin. Mungkin karena tubuhnya tinggi besar, mata rada sipit, dan
selalu merah menyala. Kumisnya pun lebat melintang. Juga karena dia “berisi”,
punya ilmu. Suatu kali kawan kami si Katan menghajar anaknya hingga babak belur. Anak itu
lari pulang menggerung-gerung dan telinga si Katan pun disentil Mak Sanin. Berhari-hari daun
telinga kawan kami itu gembung-bengkak kemerah-merahan. Orang juga mengatakan Mak Sanin
tidak lagi bermain silat dengan manusia melainkan dengan harimau, tanda ilmunya tinggi.
Kedua makhluk itu konon melakukannya malam-malam di pinggir kota usai Mak Sanin berjualan.
Mak Sanin adalah satu-satunya tukang kacang goreng yang tidak berpaut di pangkalan saat
berjualan. Jam dagangnya juga berbeda dengan tukang kacang goreng yang lain. Biasanya, dia
keluar sesudah magrib atau isya dan akan berakhir kira-kira pukul tiga dini hari atau saat
beduk subuh mulai berkumandang di seantero kota dari masjid dan surau.
Begitu keluar rumah di pangkal malam itu orang tidak akan menemukannya di tempat ramai
seperti di muka bioskop atau kawasan pasar. Dengan jas itu-itu juga, dan sarung dililit ikat
pinggang lebar, dia susuri jalan-jalan kota dengan karung goni berisi kacang goreng di atas
kepala. Seolah ringan saja karung goni itu baginya. Tenang- tenang saja dia melangkah,
mendatangi calon pembeli. Dialah penemu sistem jemput bola dalam berdagang kacang goreng di
kota kami.
Makin malam, kian gencar pula Mak Sanin mengembara menyusuri pelosok-pelosok kota. Juga ke
Lubuak Mato Kuciang, Cubadak Bungkuak, Bancah Laweh, dan Bak Aie yang merupakan pinggiran-
pinggiran kota kami. Suara serta bunyi tangkelek atau bakiaknya berirama memecah udara:
“Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang goreeeng…! Tak-tuk-tak, tak-tuk-tak, cang
goreeeng…!”
Pada larut malam yang dingin berkabut itu Mak Sanin benar-benar menjelma jadi pelayan tunggal
sekaligus penjaga kota kami. Pencuri-pencuri mengurungkan niat mereka yang buruk mendengar
suaranya. Orang-orang terbangun, ingin makan kacang goreng. Pasangan-pasangan yang tengah
bertengkar terhenti. “Hah, itu Mak Sanin!” ujar si suami. “Beli dulu
kacang gorengnya.” Anak-anak muda yang sedang begadang menyongsong kedatangannya
dengan girang: “Tiga liter, Mak Sanin!” Dan, sewaktu pesanan mereka ditakar
tangan mereka menyelusup ke karung goni, meraup kacang goreng bukan hanya sekali. Tetapi,
itu biasa. Semua pembeli melakukannya dan semua tukang kacang goreng membiarkan saja.
Dan, pengantin-pengantin baru, yang memang tak tidur-tidur di tengah malam buta itu,
berpandangan dan saling tersenyum mendengar suara Mak Sanin mendekati. Bergegas mereka
benahi diri, tegak menanti di ambang pintu. Rambut nyonya muda yang hitam subur tergerai
hingga pinggang, harum bercampur peluh, berkibar-kibar ditiup angin malam.
“Mak Sanin!”
“Hoooi!” Tukang kacang goreng itu menghampir ke makhluk elok itu. Dengan jas yang
itu-itu juga.
“Seliter saja ah, Mak Sanin.”
“Yo! Eh, cukup seliter?”
“Hi-hi-hi. Cukuplah. Hanya berdua.” Dan, tangan-tangan mungil itu menyusup pula
ke karung-goni yang hangat. Kemudian, sambil bercengkrama serta menikmati kacang goreng
berdua-dua di larut malam itu, pasangan-pasangan itu menyimak suara Mak Sanin dan bunyi
tangkelek-nya yang menjauh. Semakin jauh, lalu sayup-sayup diantarkan angin malam melalui
kisi- kisi jendela.
Tetapi, pada suatu malam, ketika ramai-ramai di tahun ’66, cuma sebagian warga kota
yang mendengar suara dan bunyi tangkelek itu. Warga yang lain tidak. Besoknya, seluruh warga
kota tidak mendengarnya. Padahal, sudah mereka tunggu-tunggu. Dan besoknya lagi, kota kami
gempar tak alang kepalang. “Masya Allah,” kata ayah bagai orang kedinginan.
“Padahal, tahu benar aku, mata si Sanin itu merah hanya karena menukar siang dengan
malam!”
Tukang kacang goreng itu ditemukan orang tergeletak di tepi kali. Ada sebelas bekas bacokan
merobek jas tua dan tubuhnya. Tujuh lubang peluru. Karung goninya entah di mana. Tetapi,
justru setelah ia tak ada lagi namanya terus jadi buah tutur warga kota kami, bahkan hingga
kini. Orang-orang akan mencela tukang kacang goreng bila kacangnya tidak enak atau dia
bertingkah. “Huh, tak serupa Mak Sanin!” ujar mereka.
Karena itu, Anda pun akan terheran-heran menemukan banyak tukang kacang goreng di kota kami
yang berkata kepadamu: “Ha, kacang enak ini! Tak sembarangan kuali dan pasir buat
merendangnya. Belilah. Cobalah. Tidak bakal menyesal. Delapan tahun saya belajar merendang
kacang pada Mak Sanin!” Anda melongo heran karena Anda toh tidak kenal siapa Mak
Sanin. Dan, mungkin juga tidak mau tahu.
Jakarta, Desember 2004
Audiobook
Kulihat Eyang Menangis
Sudah hampir seminggu Eyang Putri mengurung diri di kamar. Kecemasan pun tergambar pada wajah
bapak-ibu dan para cucu. Bubur yang disediakan Mbok Nah hanya sedikit yang dimakan. Dua-tiga
kali bubur itu hanya disisir bagian pinggir, kemudian dibiarkannya mencair. Eyang juga jauh
dari bantal dan guling. Kalau toh ia tertidur, itu bukan karena ia ingin. Mungkin hanya
karena terlalu lelah. Tapi tidur itu tak pernah panjang. Sangat sering ia mendadak terjaga
dan membangunkan Mbok Nah yang tidur di bawah samping ranjang.
“Gendut sudah datang?” ujarnya pelan.
Mbok Nah diam. Kantuk masih menggelayutinya. Pertanyaan serupa diulang, namun tetap tanpa
jawaban. Eyang Putri tak tega bertanya lagi, melihat wajah Mbok Nah yang tertidur lelap
dikeroyok kelelahan.
Mobil sedan putih mengilap menembus tirai hujan, memasuki pekarangan luas yang ditumbuhi
pohon sawo dan pohon melinjo. Pada siang yang murung itu, seorang laki-laki tambun keluar
dari perut mobil dan berlari menuju beranda rumah bergaya limasan. Bajunya yang merah maroon
dipahat rapat jarum-jarum hujan, hingga warna itu berubah tua. Kedatangan laki-laki itu
disambut seorang perempuan yang langsung menyodorkan handuk. Laki-laki itu menggosokkan
handuk di kepalanya, “Mana Eyang Putri?”
“Masih di kamar. Kami juga sudah menunggu lama. Bagaimana kabarmu, Ndut? Anak dan
istrimu sehat?” ujar perempuan itu.
“Ya, mereka sehat… Kapan Mbak Ambar datang?”
“Kemarin. Tapi sayang, Masmu Jito tidak ikut. Katanya sedang ada kunjungan ke Nias dan
Aceh…”
“Yang lain mana?”
“Di ruang tengah. Mereka sudah lama menunggumu.” Ambar membimbing Gendut masuk
ruang tengah.
“Ndut…” suara kakak-kakak Gendut kompak, seperti koor. Gendut langsung
memeluk mereka satu per satu: Kunthi, yang kini bekerja di Jakarta menjadi redaktur majalah
wanita, Swandaru yang anggota DPRD, dan Drajat yang pengusaha real estate. Gendut merasakan
kehangatan mengalir di tubuhnya, kehangatan yang sangat ia harapkan setelah hampir setahun
tidak bertemu dengan mereka, persisnya sejak Lebaran tahun lalu.
“Di mana Eyang Putri?” bisik Gendut di telinga Drajat.
“Di kamar. Sudah hampir satu jam kami menunggu…”
“Ada apa? Apa beliau sakit?”
“Tidak. Tapi, entahlah. Sebaiknya ditunggu saja…”
Gendut mengeluarkan rokok kreteknya, hendak menyulut, tapi dicegah Ambar.
“Eyang Putri tidak senang bau rokok..”
Gendut memasukkan rokok di sakunya.
Swandaru merangkul Gendut, “Ndut, coba kamu temui Eyang Putri. Kamu kan cucunya yang
paling disayangi.”
“Lho apa bedanya aku dengan Mas Ndaru, Mbak Kunti, Mbak Ambar, atau Mas Drajat?”
“Beda Ndut… beda… Sejak tadi Eyang Putri menyebut-nyebut namamu. Cepatlah
kamu ketuk pintu kamar.”
Gendut termangu. Empat pasang mata mengepung dirinya. Tatapan mata saudara-saudaranya seperti
bilah-bilah tombak yang mengungkit pantatnya untuk beranjak dan segera mengetuk pintu kamar
Eyang Putri. Setelah diam beberapa jenak, Gendut pun beranjak. Pintu kamar itu diketuknya,
perlahan.
“Siapa?” suara lirih dari dalam kamar.
“Saya Gendut, Eyang…”
“Gendut? Tunggu…”
Pintu pelan dibuka, namun hanya beberapa puluh senti. Gendut langsung menyelinap masuk. Semua
kakaknya saling memandang.
Aku tidak terlalu kaget ketika Bapak mengontak anak-anaknya untuk sowan Eyang Putri. Aku
menebak, pasti Eyang memanggil kami karena persoalan Mbak Ratri. Dalam minggu terakhir wajah
Mbak Ratri muncul di banyak koran dan televisi. Namanya dihapal jutaan orang dalam
pembicaraan yang dilumuri prasangka.
Ketika menonton televisi, mataku disergap gambar yang bikin jantungku berdebar. Mbak Ratri
tampak turun dari mobil dan langsung dirubung para wartawan. Ada satu dua polisi tampak
berjaga-jaga di situ. Seperti yang kami kenal, wajah Mbak Ratri tetap tegar meski dicecar
berbagai pertanyaan.
“Saya memang mengelola dana pembangunan rumah untuk masyarakat miskin itu. Perkara
pembangunan itu macet, ya bukan urusan saya. Kalian mesti tanya developernya.”
“Tapi kenapa Anda diperiksa? Ini terkait dengan dugaan penggelapan anggaran yang
katanya sampai 150 miliar?” desak wartawan.
“Itu insinuasi! Tuduhan itu sangat tak berdasar! Mengada-ada! You mesti lihat reputasi
saya, dong. Sudah puluhan ribu unit rumah rakyat yang saya tangani, semua beres. Nggak ada
komplain.”
“Tapi kenapa perumahan untuk para korban tsunami itu hingga kini macet?”
“Tanya itu developer. Tanya mereka…”
“Tapi developer itu sudah bikin statement, mereka juga belum dibayar lunas… Ini
bagaimana?”
“Ah… tanya saja penasihat hukum saya. Temui saja Pak Rambela!”
Aku pun merasa ikut terpojok oleh cecaran pertanyaan para wartawan itu. Aku ngomel sendiri,
mencoba membela Mbak Ratri sambil menuding-nuding layar televisi. Anak dan istriku tampak
cemas. Mereka menangis. Aku terus mengomel, hingga commercial break memotong tayangan berita
itu.
Ternyata kecemasan juga dirasakan kakak-kakakku. Mereka berulang kali menelponku
mengungkapkan galau hatinya. Berita di televisi itu bagi kami telah menjelma pisau karatan
yang menikam-nikam harga diri kami.
Kami mencoba menghubungi Mbak Ratri, tapi HP-nya off. Begitu juga ketika telpon rumahnya kami
hubungi. Ke mana anak-anak Mbak Ratri? Ke mana suaminya? Pasti mereka kini jadi lintang
pukang dihajar kabar yang sangat mengejutkan itu. Kami pun mencoba menemui Mbak Ratri di
rumah tahanan, tapi gagal.
Penahanan Mbak Ratri membuat bapak dan ibu terguncang. Mereka pun langsung masuk rumah sakit.
Kami sama sekali tidak menyangka, Mbak Ratri yang selama ini kami kenal sebagai pribadi yang
mengagumkan, yang gigih menentang setiap penyimpangan, berada dalam pusaran persoalan yang
bukan hanya membikin kami terpukul, malu, tapi juga sangat sedih. Aku pun sering membentak
kepada setiap teman sekantor yang sok tahu soal berita itu yang nada bicaranya setengah
memojokkan Mbak Ratri.
“Maaf-maaf kalau omongan saya menyinggung Pak Gendut. Tapi kami kan sekadar
menganalisis… eh menduga-duga. Jangan-jangan…” ujar Pak Nano.
“Jangan-jangan apa?! Kalian ini tahu apa sih? Sok analitis!”
DI kamar itu, Gendut belum berani bicara. Ia melihat, wajah Eyang Putri tampak pucat. Kerut
merut di wajahnya pun semakin tampak jelas, semakin tumpang-tindih, semakin bersilangan.
Gendut merasa tidak tega untuk mengajak bicara, takut menambah beban perasaan Eyang Putri.
Ia hanya mematung di samping ranjang.
Di antara para cucu, Mbak Ratrilah yang paling mewarisi sikap Eyang Putri yang berwatak
keras, jujur, dan berani. Watak dasar ini-ditambah kecerdasannya yang terpancar di matanya
yang berkilat-kilat saat berdebat-yang mengantarkan Mbak Ratri memegang jabatan penting di
sebuah departemen yang berurusan dengan program pengentasan kemiskinan masyarakat.
“Jangan sampai kamu mencurangi Ratri. Walau cuma serupiah, dia akan mengejarmu sampai
neraka,” pesan bapak belasan tahun lalu, dengan bangga. Sesungguhnya, bukan hanya
bapak dan ibu yang bangga, kami pun sangat bangga kepada kakak kami tertua itu. Namun,
ucapan bapak yang terngiang kembali itu seakan mencair ketika Mbak Ratri dalam posisi sulit.
Di layar televisi siang tadi, wajahnya tampak lelah. Ketika keluar dari ruang pemeriksaan
kantor kejaksaan, ia hanya berucap “no comment… no comment”
Setegar apa pun hati keluarga kami, toh akhirnya goyah juga. Berita penangkapan Mbak Ratri
itu kini menjelma menjadi bongkahan batu yang mengganjal di rongga dada kami. Makin lama
bongkahan batu itu makin membesar. Aku mencoba meyakinkan dan menghibur bapak-ibu bahwa Mbak
Ratri belum tentu menggelapkan uang. Tapi, kalimat-kalimatku seperti lumer dan menyatu dalam
butiran-butiran keringat dingin bapak-ibu yang kemudian pingsan.
Kami dan Mbak Ratri tumbuh dalam dekapan kasih sayang Eyang Putri. Meskipun usianya di atas
delapan puluh, Eyang Putri masih tampak seperti perempuan berusia 50-an. Tubuhnya masih
cukup tegap. Matanya masih bercahaya. Dan ingatannya masih tajam. Dengan runtut, ia mampu
bercerita tentang masa kanak-kanak kami. Bahkan juga masa kanak-kanak ayah kami. Eyang Putri
juga masih ingat berapa nomor telpon rumah kami. Juga nama cicit-cicitnya. Padahal jumlahnya
belasan.
Eyang Putri itulah sosok yang sesungguhnya mendidik kami. Kebetulan sejak kecil kami tinggal
di rumah Eyang Putri bersama bapak dan Ibu. Eyang Putri melarang kami pindah rumah.
“Untuk apa? Rumah ini masih terlalu besar untuk kita,” ujarnya.
Setelah Eyang Kakung meninggal, Eyang Putri tak mau hanya mengandalkan hidup dari uang
pensiun suaminya sebagai guru. Eyang Putri memanfaatkan keterampilannya membuat jamu. Setiap
pagi, Eyang Putri pergi ke pasar membeli rempah-rempah: kencur, jahe, dlingo bengle, adas
pula waras, cabe puyang, dan entah apa lagi. Rimpang-rimpang jahe, kencur, dan berbagai
dedaunan melimpah di atas balai-balai bambu di dapur. Dibantu Yu Jum dan Yu Gik, Eyang Putri
meracik dan memasak jamu itu. Rumah kami pun penuh aroma jamu. Harum tapi juga semegrak.
Jamu itu kemudian dijual di pasar. Banyak pembeli merasa cocok dengan jamu itu, hingga nama
Eyang Putri menjadi sangat terkenal.
Ketika kami kecil, Eyang Putri selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu saja ada kisah
yang diceritakan dalam setiap malam. Entah sudah berapa ratus cerita yang membawa kami ke
alam yang indah: rimbun hutan, sungai yang mengalir, sawah yang membentang, laut yang
bergelombang, gunung yang menjulang atau langit yang biru. Gaya bercerita Eyang Putri yang
mempesona, menjelma menjadi kereta kencana yang membawa kami ke dalam petualangan yang
menggairahkan. Kami bertemu dengan tokoh-tokoh cerita, dengan berbagai wataknya. Ada yang
culas, jujur, pemberani, licik, atau penjilat. Watak-watak tokoh rekaan itu menjelma seperti
wayang yang berkebat dalam benak. Kami pun merasa menjadi seperti tokoh pujaan kami: seorang
satria yang membela yang lemah, meskipun akhirnya tidak hidup bahagia.
“Nama baik dan kejujuran itu jauh lebih penting dari semua kekayaan,” pesan Eyang
Putri.
“Kalau saya ya pilih kaya,” ujar Mas Swandaru sambil bercanda.
“Ah kamu, yang dipikir cuma perut,” sergah Mbak Ratri.
Eyang Putri mengangguk-angguk sambil mengelus kepala Mbak Ratri.
“Kalau kamu bagaimana, Gendhut,” Eyang menatapku.
Aku kelimpungan. Bingung. Semua tertawa.
“Aku nggak tau Eyang…” jawabku sekenanya.
“Bicaralah. Ayo, nggak apa-apa…”
“Kalau aku ya pilih kaya… tapi juga punya nama baik.”
Semua tertawa.
“Pintar kamu, Ndhut…” Eyang Putri terkekeh.
“Eyang-eyang… gimana kalau Eyang sekarang ndongeng kancil?” ujar Mbak
Ambar.
Eyang Putri diam. Mendadak, ketakutan diam-diam merambat, mengurung kami.
“Eyang tidak suka kancil!” ujar Eyang tandas.
“Tapi dia itu pintar lho Eyang…” Mbak Ambar masih mengejar.
“Dia bukan pintar, tapi licik. Dia punya banyak akal, tapi hanya untuk mengakali.
Kalian ingat ketika kancil ditangkap dan hendak disembelih Pak Tani gara-gara mencuri
mentimun?”
Kami mengangguk. “Iya, tapi kancil akhirnya lolos setelah menipu anjing milik Pak Tani.
Dia bilang, dirinya akan dikawinkan dengan putri Pak Tani….” ujar Mbak Kunthi.
“Dan anjing yang celaka itu dirayu kancil untuk menggantikannya sebagai calon
mempelai,…”sahut Mas Swandaru.
“Akhirnya, dalam gelap malam, anjing itulah yang dipukul Pak Tani, hingga kepalanya
remuk…” kataku meramaikan suasana.
“Maka, kalau kalian besar nanti, jangan mau jadi kancil…” ujar Eyang.
Ratri menyahut, “Benar Eyang. Kita harus membunuh kancil!”
“Bukan… bukan begitu Ratri. Yang harus kita bunuh adalah sifatnya.”
Malam makin larut. Kantuk pun bergelayut. Satu per satu kami tertidur. Sayup-sayup kami
mendengar pembicaraan Eyang Putri dengan Mbak Ratri.
Kenangan itu masih basah melekat di benak Gendut. Juga saat ia terpaku di depan Eyang
Putrinya yang sejak tadi tetap diam. Hanya terdengar suara isak tangis yang tertahan.
“Eyang sakit?” Gendut mencoba membuka pembicaraan.
Eyang Putri menggeleng, lemah. Gendut kaget. Ternyata dari mata Eyang Putri tidak mengalir
air mata setetes pun. Mata tua itu tetap bening dan bercahaya. Ke mana air mata itu, Eyang,
pikir Gendut.
Di luar kamar, empat kakak Gandut masih menunggu. Urat-urat wajah mereka menegang. Jam
dinding berdetak terdengar sangat keras. Mereka hanya saling memandang.
Gendut berhasil membujuk Eyang Putri untuk keluar dari kamar. Perempuan renta itu berjalan
pelan, tapi masih tetap tegap. Para cucunya ramai-ramai menghambur dan mencoba memeluknya.
Tapi Eyang Putri tak begitu menanggapinya. “Biar aku duduk…,” ujarnya
pelan.
“Ndut, apa benar kini Ratri telah berubah menjadi kancil? Atau bahkan sudah jadi ular
piton yang kelaparan? Ahh… katanya dia mau membunuh kancil?” Ucapan itu terasa
sangat menyentak.
Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah cucu-cucunya. Tak satu pun dari mereka yang berani
menatapnya. Wajah mereka tertunduk. Dalam beberapa kejap, tak ada suara terucap.
Tapi Gendut memberanikan diri bicara, “Kita berdoa, semoga ia tetap Ratri seperti yang
kita kenal selama ini. Bukan kancil atau ular piton…”
“Bagaimana kamu tahu, Ndut? Bukankah kamu tak berada di sana? Di tempat yang gemerlap
dan bisa membuat siapa saja berubah?”
Gendut terdiam.
“Mestinya sejak dulu, Ratri membunuh kancil itu…” ujar Eyang Putri lirih,
merintih.
“Tapi maaf Eyang. Bukankah… Eyang sendiri yang dulu mencegah Ratri
untuk…,” ujar Gendut.
“Itu yang aku sesalkan. Mestinya kancil itu sejak dulu dibunuh dalam
pikirannya….”
“Tapi, kami percaya dan yakin, Mbak Ratri tidak mungkin menjadi kancil. Ya, meskipun
kami tidak punya bukti. Bukankah sudah hampir tiga tahun dia menutup diri?” Swandaru
melepaskan napasnya.
“Kalian berani menjamin keyakinan itu?”
“Maaf Eyang, kami hanya bisa percaya… hanya bisa berharap…”
“Terus bagaimana? Apakah aib yang telah tercoreng di wajah kita ini bisa hilang
sendiri? Mungkin saja dia bukan kancil yang suka nyolong timun. Mungkin…. Tapi kini
ia telah berada dalam kurungan. Itu masalahnya,” ujar Eyang setengah meradang.
“Kebenaran akan membersihkan namanya, akan mengembalikan martabatnya…,”
ujar Kunthi.
Eyang Putri mengedarkan pandangan ke wajah para cucunya. Mereka merasa dilucuti,
ditelanjangi. Tubuh mereka serasa berubah transparan. Berbagai borok dan lendir yang
tersimpan di balik tubuh mereka, seperti terbaca. Eyang Putri berkali-kali menarik napas,
sebelum akhirnya pingsan.
Di rumah itu, kami tak lagi menemukan aroma harum jamu, atau mencium semerbak kisah-kisah
kepahlawanan yang indah dan mendebarkan. Semua mendadak terasa terlepas. Kami justru mencium
bau keringat kami yang mengandung miliaran bakteri…. *
Bantul-Yogyakarta-Mendut 2004-2005
Audiobook
Kematian Gumortap (Ombak dan Belati Tanpa Sarung)
Sembilan belas hari sebelum kematian Gumortap.
”Tangkap!” teriak seorang kenek kapal Makmur yang melemparkan tali kapal ke arah
orang-orang yang berkerumum di tepi pelabuhan Onansait. Langit pagi sebagian masih memerah.
Angin bertiup ringan. Dua orang pemuda dengan agak berebutan menerima tali itu, dan salah
seorang yang berhasil menangkapnya segera mengikatkannya ke tiang tambatan kapal Penjelajah
yang sedang berlabuh.
Ikat yang kencang!” teriak si kenek ke arah si pemuda yang mengikatkan tali itu, seraya
menahan gerak kapal Makmur dengan menjolokkan galah bambu ke geladak kapal Penjelajah. Sisi
kedua kapal itu kemudian berendeng, dan kapal Makmur mendekati dermaga searah kapal
Penjelajah.
Kecuali melayani para penumpang borongan secara bebas, setiap pekan atau pasar mingguan
maupun ke pelabuhan pemberangkatan ke kota-kota besar, ada pembagian jadwal antara kapal
Makmur dan kapal Penjelajah dari kampung Onansait. Dan pagi itu adalah giliran kapal Makmur
dari kampung sebelah membawa penumpang ke pasar Pangru, ibu kota kecamatan di seberang
danau.
Dua kenek kapal Makmur lainnya menyusul turun ke dermaga, memastikan anjungan kapal Makmur
bersandar aman ke dinding dermaga. Meskipun mesin kapal sudah dinetralkan, sisa kecepatannya
tetap membuat kapal bergerak cukup kencang, hingga kedua kenek itu berusaha menahan dengan
pundak mereka. Mereka sempat juga terdorong mundur di antara orang-orang ramai di dermaga
itu, sebelum kapal sepenuhnya berhenti. (Masa itu tidak semua mesin kapal memiliki fasilitas
mundur. Sehingga yang bisa dilakukan kapal bermesin jenis ini saat berlabuh adalah mematikan
mesin atau menetralkannya agak jauh dari pantai, kemudian menahan sisa lajunya dengan
menjolok-jolokkan galah bambu, ke dasar danau atau ke geladak kapal lain yang sedang
berlabuh di kiri atau kanannya).
Kini orang-orang yang sejak pagi sudah memenuhi dermaga dan mau berangkat ke pekan pun
berebutan naik. Banyak dari mereka membawa peralatan belanja atau barang dagangan. Para
pedagang bawang harus berkali-kali turun-naik dibantu para kenek memundak bergoni-goni
bawang yang akan mereka jual, demikian juga para pedagang beras. Sementara para pemilik
warung dari atas bukit, seperti biasa mengangkati beberapa jeriken minyak tanah yang kini
masih kosong ke atas kapal. Sedangkan anak-anak selalu saja memandang semua itu dengan penuh
minat. Beberapa anak yang akan pergi ke pekan dengan orangtua mereka, sengaja memandang
tertawa ke arah teman-teman mereka yang hanya menatap iri dari dermaga.
”Ke mana?” orang-orang masih juga bertanya.
Semua sudah tahu jawabannya.
”Mau beli apa?”
Semua kembali mendengarkan apa yang mau dibeli.
Maka perbincangan yang sama pun berlanjut dan berulang dengan orang yang berlainan. Dan
selalu saja suasana mau berangkat ke pekan menjadi peristiwa yang jarang dilewatkan untuk
membahas apa saja di perkampungan tepi danau itu.
Onansait termasuk pelabuhan yang ramai dan pantainya landai berpasir putih. Pada saat itu, di
antara keramaian orang-orang di dermaga dan bias-bias cahaya matahari pagi yang dipantulkan
hamparan pasir putih—Horas, 13 tahun, si bungsu dari tiga bersaudara anak pemilik
kapal Penjelajah—melihat si pemuda Gumortap. Mungkin semuanya akan berlangsung biasa
saja dalam kehidupan Horas yang baru saja menyelesaikan pendidikan dasar
itu—seandainya ia tidak melihat ”tanpa sengaja” sebilah belati tanpa
sarung—yang terselip di pinggang Gumortap.
Kedua bola mata Horas terbelalak dan dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Orang-orang ramai
dan hamparan pasir putih kini mengabur dari pandangannya. Dalam kibasan kesan dan perasaan
gentarnya yang bergemuruh, sampai kapan pun ia akan dapat membayangkan wujud belati tajam
dari baja di balik kemeja Gumortap yang tersibak angin pagi, saat Gumortap melompat naik ke
kapal Makmur. Horas kini membuktikan sendiri bahwa Gumortap memang membawa-bawa belati tak
bersarung di pinggangnya.
Belum lama berselang, Gumortap adalah seorang montir dan juru mudi kapal Penjelajah. Gumortap
adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, yang keberaniannya membawa kapal Penjelajah
membelah danau penuh ombak suatu malam, menjadi perbincangan anak-anak di tepi danau itu.
Karena kisah keberanian Gumortap yang sudah didengarnya berkali-kali, Horas terkadang
membayangkan Gumortap adalah jelmaan ombak malam itu sendiri. Mungkin beberapa bulan lalu
atau barangkali setahun lalu, tak ada anak-anak yang tahu pasti kapan peristiwanya. Yang
jelas, keberanian Gumortap menyelamatkan kapal Penjelajah bersama penumpang dan barang yang
dibawanya mengarungi amukan ombak, telah menjadi buah bibir anak-anak di Onansait dan
kampung-kampung tepi danau itu.
Tiga belas hari sebelum kematian Gumortap
”Anak-anak burung itu tidak bodoh. Mereka memahami gerak-gerik kita.”
”Mereka belum bisa melihat penuh. Cuma asal terbang, makanya sering saling
tubruk.”
”Tapi, setiap kali aku mau menghalau, mereka sudah terbang duluan.”
Anggi dan Olan berbincang di tepi sawah mereka, ketika Horas meneruskan langkah menuju rumah
Gumortap.
”Heh, Horas? Mau ke mana?”
”Kau tidak belajar mesin?”
Horas menggeleng. Berlalu dari samping Anggi dan Olan.
Pematang sawah cukup untuk kaki-kaki mereka yang kecil berselisih jalan. Meskipun mereka
harus saling merapatkan badan agar tidak terjatuh ke sawah di kiri kanan mereka.
”Mau ke mana?” ulang Anggi.
”Ke rumah Gumortap,” kata Horas.
Ketiganya memandang beberapa rumah di pojok danau, di ujung persawahan luas yang sedang
menguning subur di sekitar mereka.
”Ada enggak?” tanya Horas.
”Mau apa?” tanya Olan.
”Paling-paling masih di sawahnya di bukit,” kata Anggi.
”Dia dipanggil ayahku,” kata Horas melihat sekilas ke arah Olan.
”Mau membawa kapal?” tanya Anggi.
”Mesinnya kan sedang rusak,” kata Horas.
”Coba dia membawa kapal sekarang. Nanti malam musim ombak besar. Dia bisa menunjukkan
lagi kemampuannya menaklukkan ombak,” kata Anggi.
”Tapi semua sudah tahu, Gumortap sekarang membenci ayahmu,” ungkap Olan.
”Bahkan dia membawa belati ke mana-mana, siap berkelahi dengan ayahmu.”
Horas merasa kurang nyaman dengan kata-kata Olan itu. Ia ingin cepat berlalu dan segera
melangkah. ”Aku jalan dulu,” katanya.
”Aku ikut,” kata Anggi.
”Heh, kita harus mengusir burung,” kata Olan.
”Mereka masih anak-anak burung,” kata Anggi. ”Biarkan saja mereka makan
padinya, tak akan banyak!”
Olan memandang kesal ke arah Horas dan Anggi yang melangkah cepat menuju rumah Gumortap di
pojok danau. Dari sana kini sayup-sayup mulai terdengar suara gondang bertalu-talu. Agaknya
Gumortap memang sedang di rumah tapi mulai berlatih main gondang. Gumortap adalah seorang
pekerja sawah yang tekun, pemain gondang yang baik, dan tentu saja, juru mesin dan juru mudi
yang baik.
Dan karena Gumortap ternyata sedang berlatih gondang, Horas dan Anggi pun pulang hampa
tangan. Anggi kembali menemani Olan mengusir burung-burung dari sawah mereka, sementara
Horas meminta bantuan abangnya untuk sama-sama menyampaikan kabar kepada ayah mereka, bahwa
Gumortap tidak bisa datang. Gumortap sedang berlatih gondang karena tiga hari lagi akan
disewa main gondang untuk pesta adat di seberang danau.
Ayah Horas mengarahkan tatapannya ke luar rumah, melalui jendela, ketika Horas dan abangnya
melaporkan hasil perjalanan Horas itu.
”Kau saja yang memanggil lagi,” kata Ayah Horas. ”Bilang sangat penting,
karena kapal akan membawa penumpang borongan nanti malam,” kata Ayah Horas kepada
abang Horas.
Abang Horas menoleh ke arah Horas dengan kesal, seolah menyalahkan Horas yang gagal memanggil
Gumortap dan ikut merepotkannya. Padahal semua orang sudah tahu sedang terjadi
ketidakcocokan antara Gumortap dan Ayah mereka. Ketidakcocokan itu konon hanya sebagai
pertengkaran mulut, tapi kemudian berlanjut saling pukul, sebelum keduanya dipisahkan orang
ramai di dermaga suatu sore.
Dan sejak itu, semua orang pun tahu bahwa Gumortap kemudian membawa-bawa belati di
pinggangnya, siap menikam ayah Horas yang dulu adalah majikannya. Apa penyebab pertengkaran
mereka sesungguhnya, tak banyak yang tahu. Sebagian kecil menduga-duga dan mulai percaya
bahwa penyebabnya adalah Gumortap yang menggelapkan uang hasil sewa kapal ke sebuah pekan di
seberang. Paling tidak itulah yang tergambar dari pertengkaran mulut mereka. Gumortap tidak
melaporkan seluruh uang masuk yang diperolehnya karena kebetulan ia membawa kapal Penjelajah
tidak disertai ayah Horas yang sedang mengikuti pesta adat ke kota.
Begitulah, karena Gumortap masih juga menolak ketika abang Horas kembali memanggil, ayah
Horas terpaksa turun sendiri dan sesorean bekerja keras membetulkan mesin kapal Penjelajah
itu. Dan mesin kapal tersebut kemudian dapat dijalankan saat para penumpang borongan
berdatangan. Ayah Horas dibantu dua kenek kemudian membawa kapal Penjelajah mengarungi malam
berombak, tanpa dukungan juru mudi Gumortap. Tapi yang mengesan kuat bagi Horas tentang hari
itu bukanlah penolakan Gumortap membantu ayahnya. Yang terus membayang adalah—belati
tanpa sarung yang telah dilihatnya terselip di pinggang Gumortap—di balik bajunya yang
berkibar suatu pagi di dermaga.
Enam hari sebelum kematian Gumortap
Kini Horas sedang berdiri di tengah kegelapan kamar. Dia baru saja menutupkan jendela. Ia
dapat merasakan tajamnya belati di tangannya ketika ia menggesekkan bagian belati yang tajam
itu ke jari telunjuknya. Karena merasa sakit dan khawatir berdarah, Horas menarik belati itu
dan kini mengelusnya dari gagang hingga ke hulu. Licin dan halus. Belati yang terbuat dari
baja itu menyebarkan hawa dingin yang meresap ke sekujur tubuhnya. Di benaknya melintas
sebuah bayangan mengerikan: saat belati tajam dan dingin itu berkali-kali menembusi perut
seseorang. Dan seseorang itu bisa saja…ayahnya!
Horas segera menyembunyikan belati milik ayahnya itu ke bawah bantal. Lamat-lamat telinganya
menangkap suara-suara memasuki ruang depan. Suara ayahnya dan beberapa orang lain. Entah
siapa yang datang bertamu. Horas mendengarkan dari balik pintu. Ayahnya akan marah bila
mengetahui Horas masih di rumah, tidak mengikuti para kenek untuk belajar menguasai mesin
kapal. Ayahnya sangat tidak senang bila anak lelakinya mengendap-endap di rumah dan
mendengarkan perbincangan orangtua.
”Kami mendengar lagi Pak,” kata salah seorang tamu itu.
”Banyak yang marah,” kata yang lain.
”Saya malah membentaknya!” kata salah seorang yang kelihatannya lebih tua,
barangkali seusia ayahnya.
”Dia kurang ajar. Berani mengumbar ancaman kepada orang tua,” kata yang lain.
”Bapak harus menegurnya, kalau tidak langsung ya melalui orangtuanya.”
”Bila perlu mendatangi rumahnya.”
”Jangan mendatanginya.”
”Ya, jangan mendatanginya. Perintahkan, akan saya panggil ia ke sini.”
”Kita paksa saja!”
”Bawa belati ke mana-mana, dan menyebut-nyebut nama Bapak dengan kurang ajar.”
””Katanya Bapak menghinanya.”
”Mana mungkin!”
”Bapak juga bawa belati, berjaga-jaga.”
”Jangan!”
Belum terdengar suara ayah Horas. Sementara keempat orang tamu ayahnya itu terus mendesakkan
kabar dan keinginan mereka.
”Eh, ada tamu,” kata ibu Horas yang tiba-tiba memasuki ruang depan itu dengan
kakak perempuan Horas.
“Baru dari pekan, Inang?” tanya salah seorang tamu itu.
Ibu Horas dan kakak perempuannya memang baru pulang dari pekan di desa sebelah. Horas ingin
keluar menjumpai ibunya dan menanyakan apakah sang ibu membelikan jajanan pesanannya. Tapi
kalau ia keluar, maka semua orang akan mengetahui keberadaannya yang sedang mengintip
mereka. Dan Horas juga tak sanggup berpura-pura, bahwa ia sedang baru keluar dari ruang
dalam dan muncul di ruang depan itu. Yang dapat dilakukannya adalah, segera mundur dari
balik pintu ke ruang tengah itu. Ia khawatir ibu dan kakak perempuannya akan memergokinya.
Horas pun masuk ke ruang dalam dengan langkah mengendap-endap. Kemudian ia bergegas ke pintu
samping dan keluar ke halaman. Saat itu ia mencemaskan belati yang tersembunyi di bawah
bantalnya. Belati itu adalah milik ayahnya yang selama ini tergantung di dinding kamar.
Belati itu sama bentuknya dengan belati yang terselip di pinggang Gumortap. Belati telanjang
dan berbahaya. Mudah-mudahan ayahnya tidak segera memerlukannya!
Hari kematian Gumortap
”Apa maumu?” tanya Gumortap ke arahnya. Langit sore sebagian memerah.
Horas memandang tajam dan menghampiri Gumortap. Napasnya menderu dan wajahnya panas terbakar
kebencian. Beberapa orang tua sempat ingin memegangi tangannya, tapi Horas berhasil
mengibaskan. Di sebelahnya, di kakinya, tampak ayahnya terkapar dengan perut berlumuran
darah. Beberapa orangtua berusaha menolong. Horas melihat sekilas, sang ayah baru menyadari
bahwa Horas juga berada di dermaga itu. Sang ayah memandang khawatir ke arahnya, seraya
mengatakan sesuatu. Namun Horas tak mendengar. Tatapannya nyalang ke arah Gumortap yang
sedang melap belatinya yang berlumuran darah dengan handuk kecil. ”Apa yang mau kau
lakukan heh?” Gumortap mendelik ke arahnya.
Horas tak menjawab. Ia kini menghunus belati telanjang yang dicabutnya dari pinggangnya, dan
sekarang ia tusukkan ke arah perut Gumortap. Gumortap tertawa sinis dan mundur selangkah.
”Anak gila!” umpatnya. Beberapa orang terdengar menjerit khawatir, entah
mengkhawatirkan siapa.
Horas terus merangsek, menusuk, menusuk, menusuk, hingga belatinya tertahan sesuatu yang
lunak seperti ombak. Ombak itu bergulung-gulung dan memercikkan sesuatu yang hangat dan
berdebur sampai ke telinganya. Tangan Horas kini berlepotan darah, darah seharum ombak
malam. Lalu Horas menangkap suara kaget dan rasa takut yang memancar bagai kilat dari
sepasang mata Gumortap yang terbelalak tak percaya. Belati dan handuk kecil terlepas dari
tangannya. Ia kini memegangi perutnya yang sudah sobek dan berlubang berdarah-darah.
Horas terus memandangi Gumortap dengan nafas menderu. Tangannya gemetar menggenggam belati.
Ia masih ingin menusukkan lagi belati tersebut ke perut Gumortap yang lunak seperti ombak.
Tapi Gumortap sudah terkapar mengerang-erang memegangi perutnya, di antara sebagian orang
tua yang kini berusaha pula menolongnya. Sesaat, Horas pun merasa baru saja menunaikan
tugasnya sebagai anak, seperti halnya melaksanakan perintah ayahnya mempelajari mesin kapal
Penjelajah, yang suatu saat akan dibawanya mengalahkan ombak.*
Audiobook
Anjing yang Masuk Surga
Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan, tapi kawin dengan seorang keturunan Arab
juga asal Solo. Karena itu ia bergaul dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon,
daerah permukiman keturunan Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke
Jakarta. Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi,
tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya sukses,
seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank, Bank Jerman, dan
seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga. Usamah sendiri memilih jadi
wartawan sebuah majalah berita terkemuka.
Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa. Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk
membeli tanah di sepanjang jalan kecil di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah
berderetan. Usamah juga ikut membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah
yang lebih murah di bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh
sebuah kali kecil. Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas. Sebagian
pekarangannya dipakai untuk memelihhara ayam. Peternakan ayam yang hanya 100 ekor itu memang
cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor dicuri orang. Karena itu seorang
sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara seekor anjing.
Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang sangat riskan, yang memelihara bisa tidak
disukai orang sekampung. Teman-temannya dari Solo pun ikut manyarankan agar Usamah tidak
memelihara Anjing. Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing
itu diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad. Tapi sebelum
memutuskan memelihara anjing itu Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat
Masjid al Azhar.
“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara anjing?” tanyanya, memberanikan
diri, maklum bertanya kepada ulama besar.
“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,” jawab Buya.
“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan ulama-ulama juga memelihara
anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan
Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah
anjing,” jelas ulama asal Minang itu.
“Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi. “Orang
Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang, termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan
kucing. Nabi Daud suka burung dan Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada
hadist yang menceritakan. Adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga,
hanya karena ia memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada pula anjing
yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul Kahfi yang melarikan
diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas izin Allah, tertidur selama 300
tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al Azhar itu, yang menceriterakan kisah para
pemuda beriman dan seekor anjingnya dalam Al Quran.
Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan persetujuan seluruh keluarga, memutuskan
untuk memelihara seokor anjing. Tak tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang
disebut German Sheppard yang diberinya nama Nero. Tapi baru berjalan satu setengah tahun,
anjing itu pun mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang
kampung, anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak
suka. Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan Nero. Tapi
kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara jenis Gaberman yang
diberinya nama Hector.
Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil, Faris, bersama pengasuhnya, Minah,
bermain-main di rerumputan pinggir kali, dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika
Faris ingin bermain-main di kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya,
tapi ia selalu disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan
mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing. Pada suatu hari, setelah selesai
belanja, barang-barang belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan ia kembali ke pasar
membeli barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh menunggu. Namun ternyata ada juga oramg
yang berusaha mengambil barang belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri
itu tidak sadar bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam
pencuri itu sambil menggonggong keras-keras.
Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak
mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah kepada Hector dan istri Usamah.
“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.
“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si pencuri.
“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika tidak mau mengambil barang
saya.”
“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang najis itu?” Ibu Usamah merasa
glagepan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang yang berkerumun sepertinya memahami
pertanyaan si pencuri.
“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong. Anjing juga tidak pernah mencuri.
Hanya manusia yang suka berbohong dan mencuri,” jawab Bu Usamah. Tapi karena tak ada
bukti bahwa barangnya telah dicuri, maka pencuri itu pun bebas.
Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri
ayam. Ia sempat membawa lari seekor ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman,
karena mendapat gonggongan Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai
tertangkap. Pencuri itu pun, setelah melapas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong.
Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan anjing di
bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk memukul Hector. Untung
Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk malah memarahi Usamah.
“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang, anjing itu pasti mati kami
hajar.”
“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar orang ini tanpa alasan sepagi hari ini?
Ayam saya di kandang ramai berkotek, tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian
ayam, sebelum punya anjing.”
“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu najis hukumnya? Apalagi memelihara.
Haram.”
“Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini sehat dan bersih, setia menjaga rumah
dan majikannya. Tak pernah mencuri dan berbohong, karena tidak bisa. Anjing itu seperti
malaikat. Hanya bisa menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah.
“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang sesat. Minta ampun pada Tuhan dong
karena melanggar ketentuan agama. Benar tidak pak haji?” tanya orang kampung itu
kepada seorang yang pakai kopiah putih di sampingnya. Orang yang ditanya itu tidak berkata
apa-apa, cuma mengangguk. Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang
kampung yang menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.
Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung itu, tidak ada lagi orang yang mencoba
mencuri ayam. Cuma, ada yang takut bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak
menggonggong jika ada tamu. Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah
bahwa rumah yang ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun
menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri adalah malaikat
yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk berkhianat atau bersikap munafik.
Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah dan keluarganya dan bahkan merupakan
teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama
anggota keluarga yang nonton TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang
terkecil. Dan Faris sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara.
Tapi kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau menjaga
rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang dicurigainya, baru
Hector menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat, mengurungkan niatnya.
Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga menonton TV. Faris sudah berangkat besar,
sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai
nonton TV, tiba-tiba Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah
ikut menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian
seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya keluar rumah.
Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga. Rupanya, Hector sudah
berhenti bernapas.
Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit
yang diikuti oleh anak-anaknya, terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan
suara tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang
yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas tahun,
padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan tahun. Inna lillahi
wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan kelak kita semua juga akan
kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk surga, seperti anjing para pemuda Ashabul
Kahfi.”
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih,
seperti manusia. Ia pun dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air
matanya. Ia kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat
akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga Usamah.*
Audiobook
Rokok Mbah Gimun
Ke mana-mana Mbah Gimun selalu tampak dengan rokok lintingan, yang terus menempel di antara
dua bibirnya yang tebal dan hitam. Rokok itu sangat besar dan hanya terbuat dari tembakau
kasar dengan kertas lintingan yang juga kasar. Mbah Gimun tidak pernah tampak mengisap rokok
yang ada di mulutnya itu. Rokok itu hanya dibiarkannya di sana dan terbakar begitu saja
sampai habis di salah satu sisinya. Di sisi yang lain, tembakau dan kertas lintingan itu
hanya hangus dengan warna hitam. Hingga bagian yang terbakar itu, selalu bengkok dengan
bentuk yang sangat tidak beraturan.
Sambil tetap membiarkan rokok lintingan mengepul di mulutnya, Mbah Gimun mengiris helaian
daun kelapa satu demi satu. Helaian itu terkulai begitu terpisah dari lidinya. Lidi yang
kekar dia serut beberapa kali dengan pisaunya, hingga tampak putih dan halus. Kalau bibirnya
mulai merasakan panas api rokoknya, atau kalau kepulan asap itu mulai mengganggu mata dan
hidungnya, maka dia pun berhenti sejenak, membuang puntung yang masih menyala itu ke mana
saja, lalu melinting lagi dan menyalakannya dengan bara api. Setelah itu dia kembali
mengiris helaian daun kelapa, sampai lidinya terkumpul cukup banyak untuk diikat menjadi
sapu.
Sehari-hari Mbah Gimun hanya membuat sapu lidi. Tiap hari juga selalu ada anak-anak yang
mengantar pelepah daun kelapa segar, atau helaian daun yang telah disisir dan diikat. Lalu
seminggu sekali pedagang datang mengambil sapu lidi yang sudah terkumpul. Kalau pedagang itu
tidak datang, maka Mbah Gimun sendirilah yang akan mengantar ikatan-ikatan sapu lidi itu ke
kota. Dalam sehari, Mbah gimun bisa membuat lima sampai enam ikat sapu lidi. Kalau dia
bekerja dari pagi sekali sampai larut malam, maka bisa sepuluh sapu lidi yang
diselesaikannya.
Bagi Mbah Gimun, pendapatan dari membuat sapu lidi itu lumayan. Dengan uang itu dia bisa
membeli beras, minyak tanah, gula, garam, dan yang paling penting adalah tembakau serta
kertas lintingan. Mbah Gimun tinggal sendirian saja di rumahnya yang terletak di ujung
kampung. Sejak istrinya meninggal beberapa tahun silam, anak-anak dan menantunya sebenarnya
ingin sekali memboyongnya. Tetapi Mbah Gimun selalu menolak.
”Kalau aku ikut kalian, cucu-cucuku itu akan batuk semua. Mereka akan mabok asap
rokokku yang sangit ini. Apa kalian ingin cucu-cucuku itu sakit batuk?” Begitu selalu
yang dikatakannya kalau anak-anak dan menantu itu memintanya untuk tinggal bersama mereka.
Padahal selama ini tidak pernah ada seorang cucu pun protes. ”Ya memang rokoknya Embah
itu baunya seperti itu,” begitu selalu cucu-cucu itu menjawabnya.
Pada suatu pagi yang mulai agak kering pada bulan Juli, Mbah Gimun kedatangan tiga orang tamu
yang tidak dikenalnya. Mereka berpakaian bagus-bagus, bersepatu bagus, membawa tas bagus,
dan naik mobil yang juga sangat bagus. Mereka tampak mendatangi rumah-rumah lain di kampung
itu, sebelum akhirnya masuk ke halaman rumah Mbah Gimun. Ketika Mbah Gimun mempersilakan
mereka masuk, orang-orang itu menolak. Mereka malah mengajak Mbah Gimun duduk di lincak
bambu di bawah pohon jambu di halamam rumah. Salah satu di antara tiga tamu itu
memperkenalkan diri mereka. Nama-nama mereka sulit untuk diingat apalagi diucapkan oleh Mbah
Gimun. Tamu yang satu lagi mengeluarkan bungkusan tembakau dan kertas lintingan, lalu
menyerahkannya kepada Mbah Gimun.
”Minggu depan ini kita akan memilih pak bupati baru Mbah!” kata salah satu tamu
itu.
”Iya, saya sudah diberi tahu Pak RT dan sudah diberi kartunya. Apa Mas-mas ini juga
petugas pencoblosan?” tanya Mbah Gimun.
”Benar Mbah, ini gambar calon pak bupati itu, nanti ditempel di sana ya Mbah?”
”Tetapi kok saya diberi tembakau banyak sekali?”
”Tidak apa-apa Mbah, sebab kami tahu Mbah Gimun suka merokok lintingan. Bukan hanya itu
Mbah, ini juga ada sedikit uang untuk tambahan belanja Mbah Gimun.”
”Kok sampeyan ini sudah tahu nama saya to?”
”Kan ada daftarnya Mbah. Tadi bapak yang rumahnya di depan sana itu yang memberitahu
bahwa inilah rumah Mbah Gimun.”
”O, ya terima kasih sekali, saya diberi tembakau, diberi uang lagi.”
”Tapi begini Mbah, nanti Mbah harus mencoblos gambar yang ini lo Mbah. Jangan yang lain
ya!”
”Pasti Mas, pasti, kan Pak Bupati yang ini yang telah memberi saya tembakau dan
uang.”
Setelah para tamu itu pergi, Mbah Gimun membuka amplop putih itu dan di dalamnya ada lembaran
uang limapuluh ribu rupiah. Mbah Gimun kaget tetapi senang. Limapuluh ribu itu berarti
pendapatannya selama seminggu. Lumayan. Uang itu disimpannya di antara tumpukan surat-surat
dan kartu-kartu. Mbah Gimun lalu membuka besek. Di dalamnya tampak tembakau yang cokelat
kehitaman dengan aromanya yang harum. Mbah Gimun menarik satu lembar kertas lintingan,
mencomot tembakaunya, melintingnya, menyalakannya dengan bara api dan menaruhnya di antara
dua bibirnya. Aroma harum tembakau mahal itu terasa menyentuh bagian paling dalam di
hidungnya. Baru kali ini Mbah Gimun merasakan ada tembakau seenak ini.
Baru sebentar dia menaruh lintingan di bibirnya, salah satu cucu laki-lakinya datang dengan
berlari sangat kencang hingga hampir menabraknya. Cucu itu memberi tahu, bahwa baru saja ada
tiga orang tamu datang ke rumahnya. Mereka memberi beras dan uang kepada bapaknya. Cucu itu
lalu memamerkan dua butir permen di telapak tangan dan satu yang sudah berada di mulutnya.
Katanya, permen itu juga berasal dari tamu yang datang ke rumahnya baru saja. Belum sempat
Mbah Gimun bertanya lebih lanjut, cucu itu sudah berlari dengan cepat meninggalkannya. Mbah
Gimun lalu melanjutkan pekerjaannya, sambil tetap membiarkan aroma asap tembakau yang harum
menyentuh bagian terdalam dari indera penciumannya.
Beberapa hari kemudian, Pak RT dan Tukijan juga datang. Mereka mengantar beras, gula, teh dan
lembaran uang duapuluh ribu rupiah. Tetapi yang dibawa Pak RT dan Tukijan gambar calon
bupati yang lain lagi. Kertas gambar itu tebal dan kaku, lebarnya seperti sajadah. Mbah
Gimun diminta mereka untuk menempelkannya di dinding, supaya ingat bahwa gambar itulah yang
harus dicoblos.
”Tetapi calon bupatinya kok ada dua Jan?” tanya Mbah Gimun heran.
”Bukan dua tetapi satu Mbah. Yang ini yang kiri ini bupatinya. Yang kanan
wakilnya.” jawab Tukijan dan Pak RT hampir berbarengan.
”Lalu yang harus saya coblos yang mana Pak RT?” tanya Mbah Gimun lagi.
”Salah satu saja Mbah. Mau dicoblos wakilnya boleh, bupatinya juga boleh. Tetapi jangan
mencoblos gambar yang lain!” jelas Pak RT.
”Iya Pak RT, tetapi yang dicoblos matanya atau mulutnya?” tanya Mbah Gimun lebih
terinci.
”Terserah Embah, tetapi yang paling sopan ya dicoblos baju jasnya saja. Kalau yang
dicoblos mata atau mulutnya kan kasihan Pak Bupatinya.”
”Ya kalau begitu saya akan coblos bajunya saja. Kalau yang bolong bajunya kan bisa
ditambal ya Pak RT?” kata Mbah Gimun.
”Lalu minggu depan ini Mbah, kita semua harus datang ke lapangan bola.”
”Ada apa lagi Jan?”
”Ada pembagian sembako lagi dan mudah-mudahan juga ada uangnya. Ada dang-dutnya lo
Mbah!”
”Ya, ya, saya akan datang nanti. Jam berapa Pak RT?”
”Sore, sekitar jam empat. Sebab pagi dan siangnya Pak Calon Bupati itu akan
keliling-keliling dulu untuk pidato. Kampung kita ini dapat bagian yang terakhir.”
Enam calon bupati dan wakilnya, semua membagi-bagikan uang dan barang. Mbah Gimun menerima
semuanya. Ada yang limapuluh ribu, duapuluh ribu, sepuluh ribu, tetapi ada pula yang sampai
seratus ribu. Tetapi yang seratus ribu ini kelihatannya hanya dikhususkan untuk Mbah Gimun.
”Pak Calon Bupati itu sendiri yang memberikannya langsung. Diselipkan di kantong saya
ini waktu salaman.” kata Mbah Gimun senang. Mbah Gimun juga menerima banyak rokok
tetapi langsung dibagikannya kepada anak-anaknya. ”Saya tidak suka mengisap rokok
pabrik. Sebab baunya seperti minyak wangi. Bau tembakaunya sudah tidak ada,” begitu
alasan Mbah Gimun.
Menjelang hari pencoblosan, Mbah Gimun tetap menyisir lidi dengan pisaunya. Rokok lintingan
itu juga tetap menempel di bibirnya. Hanya dia berpesan kepada anak-anak, agar menjelang
pencoblosan mereka tidak mengantar daun kelapa terlalu banyak.
”Nanti kalau pas coblosan tidak bisa diirat semua, akan layu. Kalau layu mengiratnya
alot,” katanya pada anak-anak itu.
”Mau nyoblos siapa Mbah nanti?” tanya anak-anak.
”Ya siapa saja. Sebab saya tidak tahu nama-namanya, dan tidak hapal wajahnya. Baju dan
pecinya juga sama kan?” jawab Mbah Gimun.
”Bukan nyoblos yang paling banyak ngasih uang Mbah?”
”Saya juga sudah lupa yang mana yang pernah ngasih uang paling banyak.”
”Nyoblos Pak Dipo saja Mbah. Dia kan pengusaha, jadi nanti kita semua makmur.”
”Yang pasti makmur ya bupatinya itu, bukan kita. Selamanya kita ini tidak akan pernah
jadi makmur meskipun bupatinya ganti-ganti.”
Sampai dengan berangkat ke tempat pencoblosan, sebenarnya Mbah Gimun masih tetap bingung.
Enam calon semuanya memberi uang, memberi beras, memberi tembakau, memberi teh, memberi
gula. Mbah Gimun berjalan beriring-iringan dengan tetangga-tetangganya, dengan anak-anaknya,
dengan menantu-menantunya. Mereka menyusuri jalan desa yang hanya dikeraskan dengan batu.
Pagi itu pohon-pohon tampak diam saja karena tidak ada angin. Di langit juga tidak kelihatan
ada awan. Karena masih pagi, udara terasa tidak terlalu panas. Di tempat pencoblosan sudah
ada banyak orang. Semuanya memakai baju bagus-bagus dan warna-warni.
Mbah Gimun memakai kain sarung, baju surjan hitam, sandal jepit, dan kepalanya ditutup udeng.
Dia mencari tempat duduk yang pas. Sebab hampir seluruh warga kampung yang melihatnya,
menawarinya tempat duduk. Dia lalu memilih duduk di kursi plastik di pojok belakang. Dari
saku surjannya, Mbah Gimun mengeluarkan kantong plastik berisi tembakau dan kertas
lintingan. Dia lalu melolos satu lembar kertas, mencomot gumpalan tembakau dan melintingnya.
Tetapi ketika lintingan itu ditaruh di mulutnya, dia kebingungan. Di rumah, biasanya Mbah
Gimun menyalakan rokok lintingannya dengan bara api dari dapur.
Melihat Mbah Gimun kebingungan, banyak warga kampung yang menyodorkan korek api gas. Rokok
Mbah Gimun lalu mengepulkan asap yang segera menyebar ke mana-mana. Baunya sangit dan keras.
Setelah panitia mengumumkan hal-ihwal pencoblosan, satu-per satu warga kampung dipanggil.
Tidak lama kemudian Mbah Gimun juga dipanggil, dilihat kartunya, dicatat, dan diberi kertas
suara. Mbah Gimun sudah tahu bagaimana caranya mencoblos. Sebab tahun lalu dia juga ikut
tiga kali pencoblosan seperti ini. Tetapi ketika itu yang dipilih pak presiden dan DPR.
Bukan pak bupati.
Di bilik pencoblosan, Mbah Gimun menggelar lipatan kertas suara yang baru saja diterimanya.
Di sana ada 12 wajah manusia yang sama-sama mengenakan jas dan kepalanya ditutup peci. Ada
yang tersenyum, ada yang tertawa, ada pula yang tegang dan cemberut. Beberapa kali Mbah
Gimun menyedot rokok lintingannya. Asap mengepul deras sampai menyembul ke luar bilik
pencoblosan. Mbah Gimun memungut rokok lintingan dari bibirnya. Bara api di ujung rokok itu
memerah. Dengan mengucap Bismillah, Mbah Gimun mencoblos 12 wajah dengan api rokoknya. Ada
yang dicoblos di jidat, ada yang di pipi, ada yang di mulut, di mata, di hidung. Mbah Gimun
tidak jadi mencoblos baju jas yang dikenakan oleh para calon itu. ”Sayang, baju
bagus-bagus begitu kalau dicoblos api rokok.”
Cimanggis, 2005.
Audiobook
Vampir
Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku.
Kami datang dari tempat yang sama, sempit, gelap, basah, merah. Tapi ia tak menginginkanku
karena ia kira aku menyusu ibu serigala.
Sebenarnya dulu aku tak pernah bercita-cita menjadi sekretaris. Jika ditanya apa cita-citaku
semasa kecil, aku selalu mengatakan ingin jadi dokter, seperti juga ribuan anak kecil
lainnya. Tapi saat aku tumbuh dewasa, ibuku mengamati sifatku yang rajin dan serba teratur.
Aku suka membuat daftar pelajaran, anggaran uang jajan, atau daftar belanja. Aku
tergila-gila pada pengelompokan. Di kamarku ada kotak-kotak khusus untuk kaset dengan aliran
musik berbeda. Aku bahkan tahu baju apa yang akan kupakai hari Jumat dua minggu mendatang.
Kata Ibu, “Kau lebih cocok jadi sekretaris ketimbang dokter.”
Selepas sekolah menengah aku pun masuk Akademi Sekretaris. Separuh alasanku adalah ingin
memaksimalkan potensiku, separuhnya lagi adalah karena untuk menjadi dokter aku harus
menyukai biologi, sedangkan satu-satunya yang kusukai dari pelajaran itu adalah klasifikasi
tumbuhan dan binatang. Lagi-lagi pengelompokan dan keteraturan. Pada akhirnya kusadari
pilihanku belajar di Akademi Sekretaris tidak salah karena aku lulus dengan nilai-nilai
gemilang.
Aku hidup di gua-gua pekat malam, terselimuti kabut abu-abu, tak kenal pagi dan embun. Aku
tak berani menantang cahaya karena aku tak seperti kalian semua. Aku terobsesi merah. Merah
yang tergenang menganak sungai beraroma ikan segar.
Aku haus darah.
Aku kupu-kupu hitam bersayap beludru, terbang ke dalam lorong-lorong dan terseret dengan
pusaran malam. Ia tak tahu penderitaanku, eranganku, gairahku. Ia menutup semua jendela
untuk mengusirku yang terseok kehausan.
Kini aku bekerja di sebuah perusahaan jasa konsultan. Aku selalu menyetrika jas kerja dan
rokku licin-licin agar terlihat serasi dengan sejuknya lantai mahogani kantorku dan
dindingnya yang bernuansa cokelat susu. Cokelat adalah warna klasik yang selalu terlihat
elegan. Ingin terlihat lebih profesional? Pakailah cokelat atau hitam. Lucu, dulu kupikir
warna gelap hanya untuk kekuatan jahat dan warna terang untuk kebaikan.
Kadang aku mencari tikus atau anjing atau apa saja. Aku terlalu lemah untuk membuka mata. Tak
bisa bertahan, aku begitu haus. Ah, andai aku bisa menukar jiwaku dengan
Darah!
Jabatanku di sini adalah sekretaris manajer pemasaran. Meja kerjaku tertata rapi tepat di
luar ruangan bosku. Namanya Irwan. Ia muda, tampan, kaya, cerdas. Tentu saja ada satu
kelemahannya: beristri. Baginya ini kelemahan karena ia harus mati-matian menutupi
hubungannya dengan beberapa perempuan (setidaknya begitu yang kudengar di hari pertamaku
bekerja). Bagiku ini juga kelemahan karena aku harus berusaha menjaga jarak mengingat
intensitas interaksiku setiap hari dengannya yang mungkin bisa menjerumuskan. Aku pernah
mendengar tentang perilaku seks di dunia kerja, tapi aku tidak pernah berselera melanggar
kode etik dan norma-norma.
Irwan terlahir dari keluarga kaya dan ini membuatku memaklumi sikapnya yang senang
bermain-main dengan kekuasaan. Ia sering memberiku tugas di luar yang seharusnya, seperti
memintaku membuat surat-surat permohonan untuk proyek sampingannya di luar kantor. Pernah
pula aku keluar kantor hanya untuk membayar tagihan-tagihan kartu kreditnya. Aku tahu aku
berhak protes, tapi untuk sementara ini aku memilih diam sambil mengevaluasi sejauh mana ia
bersikap tidak profesional.
“Ada acara sesudah jam kantor?”
Aku mengangkat kepalaku. Hari itu Irwan memakai dasi merah yang menyembul dari balik jas
hitam konservatifnya. Ada yang sangat salah dengan dasi itu. Mungkin warnanya yang kelewat
terang, sungguh tidak cocok dengan atmosfer kerja yang penuh warna-warna dingin.
Merah berhawa panas. Merah kadang menggumpal lengket dan tersangkut seperti permen karet.
Merah menuntut pengakuan, peng-aku-an, tak bisa menunda, tak bisa luruh di saluran
pembuangan.
“Saras?”
Aku menggeleng.
“Kalau begitu temani saya minum kopi.”
Jika bekerja untuk seseorang, kita akan terbiasa dengan kalimat imperatif.
Aku pun berusaha menerka makna lain di balik minum kopi. Yang ia maksud tentunya berada di
ruangan ber-AC sambil menikmati kopi tak berampas dalam cangkir, bukan minum segelas kopi
tubruk di warung. Yang ia maksud tentunya berada di kelas tertentu, dengan tujuan tertentu,
menjalin relasi atau networking mungkin. Menarik sekali untuk perkembangan karierku, tapi
mari kutegaskan lagi kalau aku tidak tertarik memperdalam relasi dengan laki-laki beristri.
Munafik.
Apakah ada konsekuensi logis jika aku menolak?
Ia menginginkan lelaki itu, tapi tak mau jadi orang pertama yang disalahkan.
“Dirut minta laporan khusus yang harus selesai besok,” katanya. “Ini
pekerjaan ekstra buat saya, jadi saya harap kamu bisa membantu.”
Irwan seperti membaca keraguanku dan mencoba menekankan bahwa ajakannya bersifat rasional dan
profesional, bukan sensual ataupun seksual. Setelah menimbang-nimbang, kuputuskan untuk
pergi bersamanya.
Ah! Ah! Aku saudara yang berbagi hangat denganmu di tempat merah sempit itu. Aku tahu di
sekolah menengah kau membaca buku porno murahan tentang sekretaris yang masuk ke ruangan
bosnya tanpa celana dalam. Kau perempuan murah rekah
Ayo marah! Tidakkah kau impikan semua kebinatangan di balik rokmu yang beradab?
Maka, pergilah kami ke sebuah kafe yang memutar musik jazz tahun 50-an. Bernaung cahaya
redup, kami duduk di sofa beludru merah yang begitu besar sehingga aku merasa bisa tenggelam
di dalamnya. Jika tak ada kopi, mungkin aku akan mengantuk. Mengapa Irwan memilih tempat
seperti ini untuk membicarakan proyek kantor?
Rumah bordil—
Kupu-kupu seperti aku memang senang remang-remang, bayang-bayang, halusinasi. Rumah meriah di
dalam hutan segala serigala. Kau tak akan tahu apa pun sebelum masuk ke dalam.
Kami berbincang selama dua jam, espresso berganti capuccino. Setengah jam ia membahas laporan
khususnya. Ella Fitzgerald masih merayu dengan suara emasnya, tapi aku menyimak dan mencatat
seperti layaknya sekretaris profesional. Lantas kudengar ia bertanya,
“Kamu masih tinggal dengan orangtuamu?”
Aku tertegun, lalu kukatakan aku tinggal sendirian. Orangtuaku berada di luar kota dan aku
anak tunggal. Ia bercerita bahwa ia juga begitu.
Kemudian dimulailah ritual yang berbahaya itu: cerita klise tentang perkawinan yang tidak
bahagia. Bahwa istrinya sibuk mengejar ambisinya sendiri, bahwa tak ada anak yang mengikat
kedekatan mereka.
Aku harus mengakhiri semua ini. Ia tengah mencari mangsa.
Aku juga. Adakah yang rela menyerahkan jiwa?
“Aku harus kembali ke rumah,” aku memutuskan.
Hari belum terlalu malam, tapi Irwan ingin mengantarku pulang. Kukatakan tidak perlu, tapi ia
memaksa.
Oke, sampai di luar pagar.
Laki-laki itu tahu kau tinggal sendirian.
Kau dan aku memang makhluk-makhluk kesepian. Aku si pengisap penyedot kehidupan yang sekarat
karena merah sudah nyaris habis punah berhenti titik.
Ia bertanya padaku apakah ia bisa ke kamar mandi. Jadi, aku biarkan ia masuk.
Masuklah, masuklah ke dalam pagar wahai para pencuri. Mari berlompat-lompatan, jangan
mengendap-endap. Lihat apa yang bisa kau cicipi di kebun buah. Aku ikut karena aku juga
pencuri, pencuri hidup dan mati, dan ’kan kujadikan kau
hantu.
Lalu ia duduk di kursi rotan konvensionalku, minum segelas air putih. Dibukanya satu kancing
kemejanya dan dilonggarkannya dasinya — dasi yang benar-benar salah.
Lihatlah leher laki-laki itu. Sukakah kau pada es krim vanila? Kecap kebekuannya dengan
lidahmu dan ia akan lumer dalam mulut.
Aku mendengarnya memanggil namaku. Ia seperti bergumam, tapi aku menangkap kata-kata
terakhirnya,
“Sebetulnya kita sudah saling tahu apa yang terjadi.”
Aku gemetar. Tiba-tiba kusadari ketakutan terbesarku terjadi. Aku pernah membayangkannya dan
karena aku sangat profesional aku tahu aku harus mendorongnya dengan tegas, mengusirnya bila
perlu.
Tapi aku merasa ia semakin mendekatkan tubuhnya padaku. Aku bisa mencium minyak wangi
bercampur aroma rokok yang menempel di rambutnya yang tercukur rapi. Aku seperti—
Tersedot?
Di pucuk es krim ada ceri bulat mengilat. Buah menggoda, menantang bahaya. Akankah aku jatuh?
Tapi aku begitu menginginkannya. Aku si pengisap penyedot kehidupan.
Lehernya begitu indah. Dan aku begitu haus
Darah.
Jam 6.30 pagi. Ponsel berbunyi.
“Halo, Saras?” suara wanita di ujung sana. “Jangan lupa nanti ingatkan
bosmu untuk rapat dengan klien jam 11. Ini berarti semua materi presentasi harus sudah siap.
Dia sudah memintamu menyiapkannya, ’kan?”
“Ia tidak pergi kerja hari ini.”
Bacalah ia dari belakang dan kau akan menemukan aku.
Jakarta, Juni 2004
Audiobook
Langit Malam
Detak yang lamban. Seperti kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas
tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan
beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke
dalam malam. Berjalan di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang
melenakan.
Kuingat kata-kata Ibu sore tadi. Di beranda tempat kami bisa minum teh seraya menyaksikan
kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, sore kali
ini menjadi lain. Setelah aku bercerita panjang, akhirnya Ibu berkata keras kepadaku seolah-
olah saja ia sedang disengat kalajengking.
”Anak dendang? 1) Kau mau menikahi anak dendang? Apakah Ibu tidak salah dengar?”
Aku menatap bola mata Ibu dalam-dalam. Sebuah danau tenang. Telaga yang tidak pernah
kehilangan kasih. Semenjak usia lima tahun, sejak Ayah meninggal karena penyakit yang
dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu hanya sendirian membesarkan aku. Anak satu-satunya.
Ibu yang kemudiannya melanjutkan bisnis Ayah di bidang konfeksi, memang tidak pernah
membiarkan aku hidup kekurangan. Sampai aku besar. Sampai aku menyelesaikan kuliah di
fakultas ekonomi. Sampai Ibu lebih mengharapkan aku membantu bisnis konfeksinya daripada
melamar pekerjaan lain.
Ah, bola mata itu serasa tak kuat untuk kulawan. bola mata tempat biasanya aku berteduh.
Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus mencoba
untuk menjelaskan.
”Ibu, anak dendang itu juga manusia. Aku telah menyelidiki segala sesuatu tentang
dirinya,” ucapku pelan, hati-hati, agar Ibu mengerti.
”Apa yang telah kau ketahui? Tentang ia yang selalu pulang subuh? Pulang dengan lelaki
yang selalu bertukar-tukar? Atau kegenitannya merayu laki-laki di pagurawan? 2) ”balas
Ibu sengit. Mulai sinis. Tak biasanya Ibu seperti itu.
Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ibu yang amat menyudutkan profesi anak dendang.
Hatiku terbakar. Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran.
”Cobalah mengerti aku. Tidak semua anak dendang seperti itu. Ibu. Aku telah
menyelaminya. Percayalah. Rabina itu perempuan yang baik.”
”O, jadi namanya Rabina?” Ibu memotong.
”Ya. Aku telah selami pribadinya, keluarganya, bahkan latar belakang apa pun saja dari
dirinya. Tidak ada yang menggoreskan cela, Ibu. Barangkali kenyataanlah atau keterdesakan
kerasnya kehidupan yang memaksanya memilih menjadi anak dendang. Karena hanya kepandaian
berdendang itu yang dimilikinya, dan kesempatan seperti itulah yang dapat diraihnya.”
”Ibu tetap tidak setuju!” jawab Ibu betapa kaku.
Banyak lagi yang kucoba jelaskan, tetapi Ibu tetap pada pendiriannya. Bahkan, semakin banyak
aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu.
”Perempuan pulang pagi!”
”Hidup tiada ubah bagai musang!”
”Mana ada waktunya mengurus keluarga!”
”Ibu tidak akan pernah setuju!”
Kalimat-kalimat yang terus mengiang. Bersipongang. Menyisik bersama angin malam yang tajam.
Menusuk sudut hatiku yang paling lemah. Aku terpojok.
Bayangan-bayangan itu membuatku tanpa terasa telah sampai di jantung kota. Aku duduk di tepi
trotoar, dekat sebuah lampu taman. Sebatang rokok kuselai. Asapnya membaur dengan cuaca.
Lelapat kudengar tiupan saluang 3) yang ditingkahi dendang 4). Berbuai-buai. Lapik gurau 5)
tidak jauh lagi dari trotoar itu. Di sebuah lorong toko yang sudah bertutup. Beralaskan
tikar pandan dan dengan sebuah pengeras suara sederhana. Di sanalah saluang tiap malam
digelar.
Dan suara itu. Pastilah Rabina yang tengah mendendangkannya. Suara yang sudah teramat
kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai
menggerayangi kegelisahan. Mengimbau. Lirih. Sayup. Seolah berpitunang. Membentur-bentur
pikiran yang kini sulit lepas.
Samar-samar kudengar lagu Palayaran 6) yang sangat kusukai. Bergema melantuni malam. Seolah
berlari menjauh menembus cakrawala. Bergendang-gendang. Memukul. Dan berulang- ulang datang.
Aku ingin ke sana. Ingin melihat senyum Rabina. Ingin menikmati rambut panjangnya, bulu
matanya, bibirnya. Aku ingin mendengar suaranya lebih dekat. Tetapi, kalimat-kalimat Ibu
tadi sore seolah-olah menahan gerak langkahku.
”Tak adakah pilihan yang lebih baik bagi seorang sarjana ekonomi? Untuk menjaga
martabat keluarga dari pandangan- pandangan sebelah mata?”
Selalu. Dan masih saja kalimat Ibu menghunjam bagai pisau-pisau yang berlepasan dari udara,
berburu ke arahku.
”Mengertilah, Ibu. Apa Ibu percaya bahwa perempuan-perempuan lain pun akan selalu lebih
baik daripada anak dendang? Ibu tentu lebih paham sesungguhnya,” jawabku tenang.
”Di samping berdendang, mereka adalah perempuan-perempuan yang berusaha melestarikan
kebudayaan. Pewaris, penjaga, dan penerus kesenian nenek moyang kita. Mengapa mereka harus
kita sisihkan, kita lecehkan dalam keseharian. Haruskah kita membunuhnya, Ibu? Membiarkan
mereka mati di saat mereka berusaha untuk tetap tumbuh. Kurasa Ibu tidak sepicik itu,”
terangku lebih panjang. Berharap Ibu tidak tersinggung dengan uraianku.
Tetapi, Ibu tidak lagi menjawab dan meninggalkanku tanpa berkata-kata. Namun, jelas kutangkap
dari gelagatnya, Ibu tetap tak sependapat denganku.
Suara itu masih sangat jelas. Dendang yang melirih. Kadang terkesan merintih. Meratapi malam.
Dari lagu yang satu ke lagu lain dialunkan untuk memenuhi permintaan demi permintaan rang
pagurau 7). Ratok Bonjo 8), Pariaman Panjang 9), Sirompak Taeh 10), Sawah Rawang 11), Tigo
Giriak 12), semua bergantian berlayangan menembus udara dan cuaca. Suara Rabina terdengar
seolah gambaran sebuah perahu yang terombang-ambing gelombang.
Kuingat pertama kali berkenalan dengan Rabina. Saat mula aku datang ke pagurawan. Sudut
matanya yang melirik ke arahku membuatku terpukau. Tiba-tiba serasa ada sesuatu yang tengah
datang menyerbu. Memburu dan mengepungku. Kemudian pada malam-malam berikutnya, aku mulai
mengikutinya berdendang. Kalau tidak di lorong toko yang sudah bertutup itu, tentulah ia
sedang memenuhi undangan di tempat lain. Tidak jarang, sejak singgalang 13) didaki, sampai
jalu-jalu 14) dipuhunkan, aku setia menungguinya. Pandangan-pandangan mata kami yang
diam-diam saling mencuri seakan telah bercerita banyak dan seperti ingin mengakui bahwa kami
telah saling menyukai.
Setelahnya kami mulai terjebak percakapan-percakapan yang hangat. Setiap berdendang pun
Rabina mulai menyapaku dalam pantun-pantunnya. Kadang aku merasa malu. Di saat lain aku
justru merasa bahagia.
”Ayah dan Ibuku sudah tua. Sudah tidak bisa berbuat apa- apa lagi. Sedangkan ketiga
adikku masih sekolah. Untuk itulah aku terpaksa berdendang tiap malam. Hidup memang keras
bagi kami. Aku tahu, banyak orang-orang yang punya pandangan miring terhadap pekerjaanku.
Tetapi, bagaimana lagi, aku harus membiayai keluargaku. Dan lagi, aku sama sekali tidak
pernah berbuat hal-hal yang melanggar norma-norma. Ah, biar sajalah. Bukankah kita punya
nasib masing-masing!” demikian bagian dari cerita Rabina kepadaku.
Banyak yang kuketahui ketika aku pun menjadi terbiasa berkunjung ke rumahnya. Sebuah rumah
kecil. Nyaris tak mempunyai kelebihan. Hanya gambaran dari keberantakan. Ruang- ruang
centang-perenang dan sudut-sudut yang tak rapi. Sebuah keprihatinan dari waktu-waktu yang
tak tersisa. Karena setiap malam Rabina berdendang, dan siangnya adalah waktu yang lewat
saja di atas ranjang. Istirahat. Untuk bersiap berangkat lagi malam harinya.
”Aku mencintaimu, Rabina. Bolehkah aku mencintaimu?” ucapku ketika satu kali aku
mengantarnya pulang setelah selesai berdendang. Jam empat subuh saat itu. Dan Rabina seolah
tak percaya. Diam. Menatapku lama-lama. Lalu menunduk.
”Mungkin kamu tak percaya. Tetapi, aku telah mengatakan yang sesungguhnya,”
ucapku lagi meyakinkan dirinya.
Rabina mengangkat wajahnya, mencoba menatapku lagi.
”Pulanglah. Sudah hampir pagi. Terima kasih sudah mengantarku pulang,” katanya
pelan. ”Aku istirahat dulu ya.”
Berat rasanya. Tetapi, aku mengangguk juga. Lalu pulang meninggalkan rumah Rabina.
Meninggalkan sekeping keinginan yang belum tuntas.
Namun, pada malam-malam selanjutnya pantun-pantun Rabina semakin gencar menyerangku. Tentang
rindu. Rasa cinta yang cemas. Sebuah kegelisahan terhadap hasrat yang takut bakal tidak
sampai. Atau tentang perbedaan-perbedaan status yang membuatnya seolah ragu untuk melangkah.
”Cobalah berpikir kembali. Ukur timbang matang-matang. Kamu akan menyesal memilih orang
seperti kami. Anak dendang. Perempuan yang mengekas hidup di tengah malam. Kamu juga tak
akan sanggup menepis ocehan orang-orang,” ucap Rabina di pertemuan kami berikutnya.
”Kamu berada di anjungan berukir megah. Sedangkan kami hanya orang kecil yang bermimpi
di kaki lima.”
”Jangan berkata seperti itu, Rabina. Aku juga hanya seorang laki-laki biasa yang kini
mencintaimu. Mencintaimu, Rabina!” ucapku memegang kedua tangannya. Menatap bola
matanya dan berusaha meyakinkannya.
Wajah Rabina mengeruh. Memendung. Tak kuduga, dua garis air bening tetes dari sudut matanya.
Bergulir. Jatuh menimpa jemariku. Aku mengusap rambutnya. Membenahi anak-anaknya yang
berserakan. Lalu aku mencium keningnya. Lembut. Sepenuh rasa cinta.
”Aku sayang kamu, Rabina!”
Sejak saat itu, Rabina selalu menunggu kedatanganku di setiap ia berdendang. Kegelisahan tak
dapat disembunyikannya bila aku belum datang ke pagurawan. Sejak saat itu pula kami mulai
melewati hari-hari bersama, tidak hanya ketika ia berdendang saja. Tetapi, pada waktu-waktu
tersisa, saat-saat senggang ia tidak ada jadwal undangan, kami akan menikmatinya berdua.
”Pinanglah. Pinanglah aku secepatnya!” ucapnya meminta.
Malam melilit. Aku masih di trotoar itu. Menyelai rokok lagi. Menikmati saluang yang masih
berkumandang. Mendengar suara Rabina. Aku ingin ke sana. Ke lapik gurau tempat Rabina
berada. Aku ingin mengatakan kepadanya, ”Aku mencintaimu, Rabina. Aku
mencintaimu!” Namun, kalimat-kalimat Ibu sore tadi terus memburuku. Membelenggu. Aku
ingin memberontak. Ingin berteriak.
Di langit malam, awan-awan diam. Cahaya bintang berkilauan memendar bias. Aku menatapnya.
Lama. Lalu aku berjalan. Meninggalkan trotoar itu. Adakah yang lebih berkuasa daripada
takdir Tuhan?
Payakumbuh, Agustus 2005
Catatan:
1) Orang-orang yang melagukan pantun-pantun dalam kesenian musik saluang. Biasanya dilakukan
oleh perempuan.
2) Istilah bagi tempat kesenian musik saluang berlangsung.
3) Alat musik tiup terbuat dari bambu (kesenian musik tradisi Minangkabau).
4) Pantun-pantun yang dilagukan.
5) Istilah, tempat kesenian musik sedang digelar.
6), 8), 9), 10), 11), 12) Judul-judul lagu dalam kesenian musik saluang.
7) Para pencandu atau penikmat kesenian saluang.
13) Lagu pembuka dalam kesenian musik saluang.
14) Lagu penutup dalam kesenian musik saluang.